Langit sore di kampus Universitas Cahaya Nusantara terlihat mendung. Suara riuh mahasiswa yang berlalu-lalang mulai mereda seiring matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Di sudut parkiran kampus yang mulai lengang, seorang mahasiswa jurusan Teknik Mesin bernama Arka sedang berjongkok di samping motornya. Tangannya yang kokoh namun telaten mengotak-atik mesin yang tampaknya sedang bermasalah. Wajahnya serius, dahinya sedikit berkerut, mencerminkan konsentrasi penuh.Arka adalah tipe orang yang jarang bicara. Sosok pendiam ini lebih sering terlihat sendiri, baik di kelas maupun di luar. Ia merasa nyaman dengan kesendiriannya, terlebih di tengah kesibukan memperbaiki mesin yang menjadi pelariannya dari keramaian dunia.
Namun sore itu, kesendiriannya terusik oleh suara motor yang terdengar tersendat-sendat. Suara itu diikuti oleh tawa seseorang yang renyah, meskipun situasinya tampaknya jauh dari lucu. Ketika Arka menoleh, ia melihat seorang pria tinggi dengan rambut agak berantakan mendorong motor matic berwarna merah menyala ke arah parkiran. Wajah pria itu—yang belakangan ia tahu bernama Raka—penuh semangat, meski jelas-jelas ia sedang menghadapi masalah.
“Hai, bro! Motor lo rusak juga, ya?” Raka menyapa dengan senyum lebar. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan Arka, yang hanya mengangkat alis tanpa menanggapi.
Raka, mahasiswa Seni Pertunjukan semester lima, dikenal sebagai sosok yang ceria dan penuh energi. Sikap ramahnya sering kali membuat orang lain merasa nyaman, meskipun sebagian menganggapnya sedikit terlalu banyak bicara.
“Gue Raka, Seni Pertunjukan.” Ia memperkenalkan diri tanpa diminta, lalu menunjuk motornya. “Motor gue mogok, nih. Lo kayaknya ngerti soal mesin, bisa bantuin, nggak?”
Arka mendengus pelan, lalu kembali memusatkan perhatian pada motornya sendiri. “Bengkel deket sini banyak,” jawabnya singkat.
“Yah, bengkel udah tutup, bro. Lagian, gue yakin lo pasti bisa, kok. Nih, liat aja tangan lo, udah kayak mekanik profesional,” ujar Raka sambil menunjuk tangan Arka yang masih memegang obeng.
Arka mendongak, memandangi Raka dengan ekspresi datar. “Gue lagi sibuk.”
Raka tidak menyerah. “Ayolah, bro. Lo nggak tega ninggalin gue gini, kan?” katanya dengan nada memelas, meskipun matanya tetap memancarkan semangat.
Ada jeda sejenak. Arka menimbang-nimbang, tapi akhirnya mengalah. Ia mendesah panjang sebelum meletakkan alat-alatnya. “Oke, motor lo mana?”
Raka langsung berseri-seri. “Yes! Lo emang baik banget, bro! Ini motornya,” katanya sambil menunjuk kendaraan yang diparkir tak jauh dari mereka.
Arka bangkit, membersihkan tangannya dengan lap, lalu berjalan menuju motor Raka. Sekilas, ia memeriksa bagian mesin sambil mendengarkan penjelasan singkat Raka tentang bagaimana motornya tiba-tiba mogok di tengah perjalanan.
“Kayaknya masalahnya di karburator,” kata Arka sambil berjongkok dan mulai membuka bagian mesin. Tangannya bergerak dengan cekatan, sementara Raka berdiri di sampingnya, memperhatikan dengan mata berbinar.
“Gila, lo jago banget, sih! Gue aja nggak ngerti sama sekali soal beginian,” ujar Raka kagum.
“Belajar aja kalau mau ngerti,” balas Arka singkat tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaannya.
Raka terkekeh. “Gue lebih jago nari daripada ngutak-atik mesin, bro. Kalo lo butuh partner buat nari, baru deh gue bisa bantu.”
Ucapan Raka membuat Arka hampir saja tersenyum, meskipun ia cepat-cepat menyembunyikannya.
Beberapa menit berlalu, dan Arka akhirnya bangkit sambil mengusap tangannya. “Coba nyalain,” katanya.
Raka buru-buru duduk di atas motor, memutar kunci kontak, dan menekan tombol starter. Mesin motor pun menyala dengan suara halus.
“Wah, lo keren banget, bro!” seru Raka, penuh antusias. “Beneran, lo harus jadi mekanik profesional. Gue bayar, deh!”
Arka hanya menggeleng. “Nggak usah. Udah, gue balik dulu.” Ia berbalik, berniat kembali ke motornya.
Namun, Raka tidak membiarkannya pergi begitu saja. “Eh, tunggu! Lo belum kasih tahu nama lo, nih.”
Arka berhenti sejenak, lalu menoleh. “Arka.”
“Arka? Nama lo keren banget! Cocok sama lo yang pendiam tapi jago,” kata Raka sambil tersenyum lebar. “Makasih banyak, ya, Arka. Gue utang budi banget sama lo. Kapan-kapan gue traktir, deh!”
Arka hanya mengangguk kecil sebelum kembali ke motornya. Ia berpikir pertemuan itu tidak akan berarti apa-apa dan hidupnya akan kembali seperti biasa. Namun, ia salah.
Keesokan harinya, saat sedang makan siang di kantin, Arka mendapati dirinya didekati oleh Raka lagi. Kali ini, Raka membawa nampan berisi makanan, langsung duduk di hadapannya tanpa izin.
“Arka! Gue nggak nyangka ketemu lo lagi di sini,” ujar Raka ceria.
Arka mendongak, memandangnya dengan sedikit bingung. “Kantin ini emang tempat semua orang makan, kan?”
Raka tertawa. “Iya, sih. Tapi gue seneng banget bisa ketemu lo lagi. Jadi, gue beneran traktir, ya. Lo mau makan apa? Pesan aja, nanti gue bayar.”
“Gue nggak butuh ditraktir.”
“Tapi gue utang budi sama lo, bro. Masa nggak mau gue balas?”
Arka menghela napas, menyadari bahwa berdebat dengan orang seperti Raka hanya akan membuang-buang waktu. Akhirnya, ia mengalah. “Terserah lo.”
Obrolan mereka di kantin menjadi awal dari serangkaian pertemuan berikutnya. Tanpa sadar, Raka mulai sering menghampiri Arka—entah di kantin, di taman kampus, atau bahkan di kelas teknik yang jelas-jelas bukan tempatnya.
“Lo nggak punya kerjaan lain, ya?” tanya Arka suatu hari ketika Raka tiba-tiba muncul di bengkel kampus tempat Arka biasa menghabiskan waktu luangnya.
Raka hanya tertawa kecil. “Gue cuma pengen liat lo aja. Lagi ngapain, nih?”
“Perbaiki mesin.”
“Serius amat, sih. Lo pernah nggak sih ngelakuin hal spontan? Kayak, ya... nonton konser, misalnya?”
Arka memutar matanya. “Bukan gue banget.”
Raka mendekat, duduk di bangku kecil di samping Arka. “Lo harus coba, dong. Hidup itu bukan cuma soal serius-seriusan, bro. Kadang, lo perlu juga nikmatin momen.”
Ucapan Raka terdengar sederhana, tapi bagi Arka, itu seperti tantangan yang mengusik rutinitasnya. Sejak kecil, ia terbiasa hidup dengan disiplin dan keteraturan. Kehadiran Raka, dengan segala keceriaan dan spontanitasnya, perlahan mulai mengganggu—atau mungkin, mewarnai—hidupnya.
Arka tidak tahu apa yang membuatnya terus membiarkan Raka berada di sekitarnya. Mungkin karena ia tidak cukup peduli untuk mengusirnya, atau mungkin karena di balik sikap ceria dan cerewet Raka, ada sesuatu yang menariknya.
Bagi Raka, kehadiran Arka adalah sesuatu yang baru. Selama ini, ia dikelilingi oleh teman-teman yang serba ekspresif seperti dirinya. Namun, Arka adalah kebalikannya—serius, pendiam, dan sulit ditebak. Hal itu membuatnya penasaran sekaligus kagum.
Seiring waktu, mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama, meskipun tidak selalu dengan percakapan yang banyak. Kadang, cukup dengan duduk bersebelahan—Arka dengan tangannya yang sibuk memperbaiki mesin, dan Raka dengan cerita-ceritanya yang tidak ada habisnya.
Meski banyak perbedaan di antara mereka, satu hal yang pasti: pertemuan tak terduga di parkiran kampus itu menjadi awal dari hubungan yang akan mengubah hidup keduanya.
---
Hai, bagaimana dengan chapter pertama? ini merupakan cerita ke dua yang saya buat di wattpad, mohon dukungannya dengan cara memberikan vote. Saya menerima kritikan dan juga saran, silahkan berkomentar. Terimakasih .
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbeda, Namun Sama [On Going]
Teen FictionArka, mahasiswa Teknik Mesin yang pendiam, serius, dan cenderung introvert, tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah sejak bertemu dengan Raka, mahasiswa Seni Pertunjukan yang ceria, ekspresif, dan penuh energi. Mereka berasal dari dunia yang sa...