Chapter 4

135 38 4
                                    

Sejak bel istirahat tadi Anchika sama sekali tak beranjak dari kursinya, ia senantiasa menelungkupkan kepalanya dalam lipatan tangan.

Rasa pusing yang mendera membuatnya merasa sangat lemas.

Ia cukup menyesal karena ngeyel untuk pergi ke sekolah hari ini. Toh ujung-ujungnya dia malah tak bisa fokus pada kegiatan pembelajaran karena kepalanya terasa begitu sakit.

Ditambah Rara masih marah padanya membuat beban pikiran Anchika semakin banyak saja.

Sejak pagi Rara terus mengindarinya. Anchika mencoba bicara pada sang sahabat, tapi Rara selalu menghindar.

Anchika sudah kehabisan cara untuk membujuk Rara, dan itu membuat rasa bersalahnya semakin besar.

Anchika menegakan badannya saat merasa ia butuh tempat yang lebih nyaman untuk mengistirahatkan tubuhnya, ia bangkit berniat untuk tidur sebentar di Uks.

Wajah Anchika sekarang benar-benar pucat seperti mayat hidup. Kulitnya yang berwarna kuning langsat bahkan tak bisa menutupi wajah pucatnya.

"Awss shh." Anchika meringis saat denyutan di kepalanya malah semakin menjadi.

Dengan tenaga yang tersisa, Anchika berusaha berjalan keluar kelas untuk mencari seseorang yang bisa ia mintai bantuan untuk mengantarnya ke Uks. Ia merasa tubuhnya tidak akan cukup kuat untuk sampai di Uks seorang diri.

Teman-temannya sendiri sudah pergi ke kantin sejak tadi, sementara ia beralasan membawa bekal untuk menghindari mereka. Ia sedang berusaha memberi Rara ruang.

Tangan Anchika bertumpu pada media apapun yang ada di dekatnya, saat sedikit lagi ia mencapai pintu kelas seorang pemuda tiba-tiba masuk dan mendapati Anchika yang berjalan tertatih, terdengar merintih sambil memegangi kepalanya.

Pemuda itu yang sadar ada yang tidak beres bergegas mendekati Anchika. "Hey! Ada apa denganmu?" tanyanya panik melihat wajah pucat Anchika.

Anchika yang sudah berada di ambang kesadarannya tidak lagi memiliki tenaga untuk menanggapi kekhawatiran si pemuda, tubuhnya tiba-tiba oleng.

Bruk

Anchika terjatuh tak sadarkan diri.

"Anchika!? Hey!" pekik si pemuda yang kini semakin cemas.

Ia melihat sekeliling, merasa tidak memiliki pilihan lain ia memutuskan untuk menolong Anchika. Ia dengan mudah mengangkat tubuh Anchika, membawanya ke luar kelas dengan tujuan saat ini adalah unit kesehatan sekolah.

Pemuda itu bahkan mengabaikan siswa-siswi yang mulai ribut membicarakan mengenai dirinya yang menggendong Anchika.

Di perjalanan, pemuda itu tidak sengaja berpapasan dengan para sahabat Anchika yang baru kembali dari kantin. Mereka terlihat terkejut menyaksikan kondisi Anchika yang dibopong oleh seseorang.

"Angkasa!"

Angkasa Rassya Dananjaya--pemuda yang menggendong Anchika itu menghela nafas pelan. Semua ini pasti akan berakhir merepotkan.

Sudah pasti ia akan diintrogasi habis-habisan oleh para sahabat dari gadis dalam dekapannya ini.

Laura yang pertama kali sampai di hadapan Angkasa langsung memeriksa keadaan Anchika.

"Apa yang kau lakukan pada adikku, Asa!?" tuntut Laura panik menahan langkah Angkasa.

Angkasa mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apapun padanya."

Tak langsung percaya, Laura beralih menatap Saga yang kebetulan tengah bersamanya. "Ga, bisa tolong bantu gendong Kal?" tanyanya.

Mendengar itu membuat Saga meringis pelan, pasalnya cidera kemarin masih belum sepenuhnya pulih. Saga malah menatap Arru yang selalu mengekorinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hai, PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang