Chapter 1

2.7K 266 22
                                    

###

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

###

"Nggak.."

"Kamu pembohong, Ay!"

"Aku gak ngelakuin itu."

"Aku benci kamu Ayas...."

"Dia bohong!"

"Kamu jahat Ayasha.."

***

"Nggak!"

Ayasha terbangun dengan nafas memburu, ia menatap gusar sekelilingnya.

Namun setelah beberapa saat dilanda rasa cemas, Ayas lantas tersadar.

Tadi itu, mimpi?

"Hah.." Ayas mengusap kasar wajahnya yang sudah dibanjiri keringat dingin.

Saat hendak bangkit untuk mengambil air minum, gerakan Ayas tertahan ketika merasakan tangan hangat yang melilit erat perutnya.

"Cya.." ujarnya melirih.

Putri dari Ayas itu nampak nyaman tertidur sambil memeluk perutnya, kemarin tengah malam, gadis remaja itu tiba-tiba datang dan meminta untuk tidur bersama.

Ayas termenung, mulai menelisik setiap inci wajah sang anak, hingga untuk sepersekian detik ia tanpa sadar terlarut dalam lamunan.

Sampai pada saat ingatan masa lalu yang mendadak menyeruak, memaksa masuk memporak-porandakan perasaannya.

Tak bisa dipungkiri, pahatan wajah putrinya selalu mengingatkan Ayas pada pria yang paling ia benci, namun sialnya juga sangat ia cintai.

Mengingatkan Ayas tentang luka di masa lalu yang pernah pria itu torehkan pada hatinya yang bahkan masih membekas sampai detik ini.

Suaminya.

Entahlah, masih pantaskah pria itu ia sebut suami? Bahkan setelah semua yang terjadi.

Ayasha tak tau, karena faktanya sampai akhir tak pernah ada kata cerai di antara mereka walaupun sudah bertahun-tahun berpisah.

Ayas kembali memandangi wajah damai sang anak yang tengah terlelap.

Menyusuri setiap inci wajah itu, Ayas berkali-kali mengucap kagum dalam hati tentang betapa miripnya sang anak dengan ayahnya.

Ayas bahkan sangat yakin, jika sekali saja pria itu melihat wajah Ceisya, dia pasti akan berlutut dan meminta maaf untuk semua tuduhannya 15 tahun silam.

Walau begitu, Ayas tak menyesal meskipun wajah putrinya lebih mirip sang ayah. Karena wajah itu juga merupakan bukti kuat atas identitas sang anak yang sempat dipertanyakan.

Cup

Satu kecupan singkat Ayas hadiahkan pada kening putri kesayangannya itu.

"Sayang, bangun yuk. Udah pagi."

Hai, PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang