HERO(IN)

9 1 0
                                    

Bayu berjalan sempoyongan menyusuri gang gelap. Satu puntung rokok tersisa separuh. Ia hisap kuat-kuat rokoknya, merasakan asap melewati paru-paru, lalu dibuang. Cukup mengurangi rasa sakit. Wajah lelaki itu babak belur. Darah tak berhenti menetes dari pelipisnya yang terluka.

Sore tadi Bayu nekat mencuri sebungkus heroin dari bandar narkoba. Hasilnya? Dia pulang dengan keadaan kacau. Bahkan kaus satu-satunya yang ia punya robek, basah dengan darah. Dia sangat butuh uang sekarang. Keinginannya untuk sakau mendorongnya melakukan hal gila. Merampok. Satu motor merapat tak jauh darinya, parkir di depan sebuah warung makan sepi. Ia tersenyum tipis. Skenario kotor terbentuk di kepalanya. Dengan hati-hati Bayu melangkah mendekati motor itu. Sang pemilik sedang sibuk menyantap makanan. Bagus, artinya ia tidak akan menyadari keberadaan motornya saat ini. Bayu mengeluarkan obeng kecil, lalu dimasukkan dan diputar-putar sambil mencoba memicu mesin. Akhirnya, menyala.

Tanpa peringatan, Bayu langsung tancap gas meninggalkan gang sempit itu. Dari kejauhan si pria gendut yang sadar motornya tiba-tiba menghilang meneriaki kasar. Bayu tertawa lepas. Ia tidak peduli dengan nasib pria gendut itu, yang terpenting dirinya akan segera menikmati sensasi puas dari pengaruh narkotika.

~~~

"Berapa?"
"2 juta doang."
"Nambah dikit nggak bisa?" Bayu berusaha menawar.
"Nggak bisa, bro. Kalau ada STNK-nya baru bisa. Udah segitu pas. Nih."

Lelaki kurus bertopi hitam itu memberikan tumpukan uang kepada Bayu. Dengan kecewa ia menerimanya. Dua juta. Cukup untuk bayar sewa dan membeli barang sedikit. Ia pergi meninggalkan tempat motor bekas itu. Pulang ke apartemennya. Tidak. Bukan apartemen elite yang kalian bayangkan. Hanya bangunan rusak bertingkat 5. Orang-orang yang senasib dengannya juga tinggal disana. Pencuri. Pengedar. Pembunuh. Sampai manusia terbuang ada disana. Toh, Bayu betah-betah saja. Dirinya tak lebih buruk dari mereka semua.

Joko si pemilik gedung berbaik-hati memberikan tempat tinggal kepada Bayu dan adiknya, Rama, setelah kabur dari peristiwa pembunuhan bapaknya. Penampilan Joko sangat sederhana. Kaus kutang berwarna pudar dengan celana pendek. Pria itu bilang ia sangat membutuhkan kaki-tangan sekarang. Dan Bayu sepertinya bisa diandalkan. Joko memberinya sebuah pekerjaan yang menantang: menjadi pembunuh bayaran. Selama 4 tahun tercatat Bayu sudah menghabisi puluhan orang tak bersalah. Rasa kemanusiaannya lama menghilang. Demi uang, ia rela melakukan apa saja.

***

"Abang," Muka polos Rama menyambut dari balik pintu.

Bayu mengusap kepalanya. Ia melangkah masuk kedalam, lekas menyerahkan sekantong kresek penuh makanan instan ke Rama. Menguap lebar-lebar. "Udah makan?"

"Udah. Bang, dicariin Om Joko,". Rama melapor.

"Ngapain lagi?"

"Nggak tahu. Katanya penting." Jawab Rama. Ia berlari kecil ke dapur, menata makanan di atas lemari. Bayu menggerutu malas. Sebulan ini Joko belum memberinya pekerjaan. Pasti orangtua itu menuntutnya sekarang. Bayu berbalik lagi menuju kantor Joko.

Asap rokok mengepul dari dalam ruangan. Joko beserta dua pengawalnya menatap lurus ke Bayu. "Apa kabar, nak?"

Ia menghisap rokoknya lagi.

"Baik. Ada kerjaan lagi?" Tanya Bayu langsung kebinti.

Joko tertawa kecil. Kharisma pria itu mampu membuat orang bekerja padanya sampai mati. Ia mendekati Bayu. Menyerahkan sebuah file berkas. "Targetmu kali ini petinggi polisi bintang tiga. Keberadaannya mengancam bisnisku saat ini. Dia tak segan-segan membocorkan rahasia bisnisku jika aku tidak memberinya uang setiap hari. Tugasmu sederhana. Tangkap dan bunuh dia, jangan sampai tertangkap."

Bayu mengangguk tanda mengerti. Setelah menerima file itu ia keluar ruangan. Menyiapkan pistol di balik kausnya.

***

Awan hitam berarak di langit. Malam ini mendung. Bayu bergerak gelisah. Hampir satu jam ia menunggu dari balik mobil. Seharusnya Letnan Kusumo sudah keluar dari kantornya. Namun, pria itu tak kunjung muncul. Ia teringat satu bungkus kecil barang yang ia beli tadi. Cepat-cepat ia melintingnya di atas kertas. Lalu dibakar. Ia hirup dalam-dalam aroma itu. Rasa nikmat langsung menghajar tubuhnya. Bayu bergetar merasakannya. Baru-baru ini Bayu menjadi pecandu narkoba. Dan favoritnya adalah putau. Efek dari kecanduan ini memberikan rasa kepuasan berlebih pada dirinya. Rasa puas yang tak pernah ia dapatkan seumur hidup. Sebenarnya bahaya juga pakai saat bertugas. Namun tadi pagi ia sempat sakau. Daripada kesakitan lagi lebih baik ia teler.

Masih dalam pengaruh obat-obatan, Bayu keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berjalan masuk ke kantor Letnan. Di dalam beberapa pria berpakaian ala polisi sibuk mondar-mandir. Matanya yang berair melirik meja Letnan. Lelaki tua itu duduk manis sambil mencatat sesuatu. Bayu tersenyum lepas sebelum seorang polisi memergokinya. "Kamu teler, ya?"

Bayu mengangkat bahu, mengejeknya. Sekejap kemudian Bayu mengeluarkan pistolnya dan menembaki seisi kantor secara random. Tidak tinggal diam para polisi itu balas menembak. Hujan peluru terjadi secara sengit. Mungkin mereka tidak menyangka mendapat sambutan semeriah ini darinya. Polisi yang bertanya tadi tertembak kepalanya akibat ulah Bayu. Bukan masalah besar, ah. Ia berlindung di balik meja, lalu membidik Letnan Kusumo yang hendak lari.

DOR!

Satu timah panas menembus kakinya. Letnan mengaduh kesakitan. Bidikan Bayu berganti ke petugas polisi lain. DOR! DOR! DOR! Tembakannya membabi-buta menghujani mereka. Darah merah terciprat kemana-mana. Meski teler, keahlian menembak Bayu di atas rata-rata. Bahkan polisi yang berada 10 meter jauhnya bisa dia bidik dengan sempurna. Tanpa disadarinya satu peluru bersarang dibahu berkat tembakan seorang polisi junior. Refleks ia memegangi bahu.

"Anjing!" Serunya setengah sadar.

Tersisa empat polisi disana. Mau tak mau ia harus kabur. Sambil sempoyongan ia berlari keluar. Tidak peduli anggota yang tersisa terus menembakinya. Rasa sakit di bahu cukup untuk menyadarkannya.

***

Dengan telaten Rama mengompres bahu Bayu. Sepanjang hari adiknya diam. Sekedar menyapa tidak. Hanya cemberut saja.

"Kamu marah sama abang, dek?"

Rama tetap diam. Saluran televisi menayangkan tentang insiden penembakan dikantor Letnan tadi malam yang dilakukan Bayu. Pasti sketsa wajahnya sudah menghiasi beberapa kantor polisi di sekitaran Jabodetabek. Bodohnya dia. Pasti kali ini ia tidak bisa keluar apartemen dengan tenang lagi.

Pintu apartemennya terbuka. Joko dan lima anak buahnya merangsek masuk. Raut wajahnya terlihat tenang. "Selamat pagi, Bayu."

Bayu mengangkat kepala. "Tindakanmu tadi malam sungguh hebat, nak. Tidak ada yang berani terang-terangan menyerang kantor polisi sepeti kamu. Hebat, hebat." Ucap Joko sambil bertepuk tangan. Sempat Bayu menyengir kecil. Namun hilang saat Joko menyeret adiknya keluar. "Sayang sekali tindakan heroikmu itu membuat para polisi makin curiga dengan gedung ini."

"A-apa?"

"Seperti perjanjian, orang-orang yang mengancam bisnis dan keselamatanku harus mati. Tidak peduli itu anak kesayangan sekalipun."

Dengan santainya Joko menodongkan pistol ke dada Bayu. "Ada permintaan terakhir?"

"BANGSAT JANGAN APA-APAIN RAMA! RAM LARI, RAM!" Bayu berteriak sejadi-jadinya saat dua anak buah Joko memegangi tangannya. Rama yang berada dipelukan Joko hanya menangis. Memohon-mohon agar diampuni. Joko makin tertawa lebar melihatnya. "Tenang. Adikmu tidak akan kubunuh. Mungkin akan kulatih menjadi pembunuh juga, atau kujual ke luar negeri."

"ANJING!!"

DOR!

Tanpa basa-basi lagi Joko menembakkan pistolnya ke dada Bayu. Sekejap kemudian Bayu merenggang nyawa. Mati. Joko menepuk-nepukkan kedua tangannya bagai habis melakukan pekerjaan kotor. Senyum puas mengembang. Rama menghambur ke mayat kakaknya. Ia mengguncang-guncangkan badan Bayu, berpikir kalau tindakannya bisa membangunkan Bayu. Joko mengacak-acak rambut Rama. "Percuma, nak. Kakakmu sudah menjadi bangkai sekarang."

Joko menoleh kearah lima anak buahnya. "Buang dia. Jika dibiarkan bau busuknya bisa mengganggu."

Mobil van berwarna hitam merapat dipinggir sungai. Dua orang lelaki berbadan besar bersusah payah menggotong mayat Bayu yang terbungkus selimut dari bagasi. Lalu dengan seenaknya dibuang ke dalam sungai. Secara perlahan mayatnya mulai hilang ditelan air. Tenggelam menuju dunia bawah. Bersama dendam dan dosanya. Entah sampai kapan akan berhenti.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Well, I Think The World Is Not Always White?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang