Chapter 2: awal mula aku merasakan penyiksaan

721 5 0
                                    

Aku, Jeno, pria berusia 16 tahun, memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap tubuhku yang terbentuk dari rutinitas gym. Bahu, lengan, dan dada membusung, membuatku merasa kuat dan percaya diri.

Di kelas 1 SMA, reputasi Bu Indar sebagai guru Biologi yang galak sudah terdengar. Teman-teman kelas sebelah menggambarkannya sebagai "guru killer" karena kesabaran yang tipis dan kata-kata pedasnya. Namun, tidak ada yang berani membocorkan rahasia tentang hukuman misteriusnya. Tidak ada yang akan menduga dia akan menghukum murid dengan cara yang tidak biasa.

Hingga suatu pagi hari di kelas kami, Bu Indar mulai berjalan memutari kelas sambil memeriksa pekerjaan rumah kami. Saat menemukan buku kosong atau pekerjaan rumah yang tidak dikerjakan, dia marah. "Kamu tidak mengerjakan PR!" teriaknya. Lalu, dia mencubit dada kiri murid  dengan keras. Seperti yang kami semua saksikan, dia hanya mencubit murid laki - laki dan murid perempuan hanya ditegur.

Sampai detik ini, masih teringat kejadian tragis di minggu ketika sma kelas 1 tersebut. Bu Indar memeriksa pekerjaan rumah kami dengan sekelas dan memberikan hukuman sakral tersebut. Belasan teman laki-laki sudah dicubit dari ujung kelas. Mereka meringis kesakitan, wajahnya merah padam. Mulai dari murid laki - laki pertama di ujung kelas, suasana kelas sudah menjadi sunyi. Semua murid menjadi terheningkan, terkejut, pucat, dan tidak percaya. Aku takut, jantungku berdegup kencang.

Murid perempuan menutup mulut mereka, menahan teriakan. Ekspresi kesakitan terukir di wajah mereka. Aku dan Kevin teman dudukku yang di sebelah saling menatap, berbisik, "kenapa dicubit di bagian itu?" •Apakah karena bagian itu lembek dan sakit ketika dicubit?"

Teman-teman laki-laki yang dicubit menahan sakit, beberapa meringis dan mendesah. Aku merasa panik, tapi masih percaya diri.

Saat bu guru sudah semakin mendekat meja kami dan sebentar lagi akan memeriksa pekerjaan rumah, aku berbisik kepada Kevin, "Gue kan anak fitness, dicubit gak bakal sakit!" Aku tertawa cekikikan, merasa aneh dan lucu.

Tiba-tiba, aku teringat bahwa aku lupa meminta tanda tangan orang tua pada PR. "Mampuslah diriku!" Aku merasa panik, karena aku tahu aku akan mendapatkan hukuman yang sama dengan murid lain.

Dada kuatku pasti tahan," pikirku. Belasan teman kelas kami sudah meringis kesakitan dengan ekspresi yang berbeda - beda sebelum giliran aku.

Giliran diriku pun tiba. Bu Indar menatapku tajam, "Jeno, tidak ada tanda tangan orang tua disini!" Dia mulai mendekati aku dengan ekspresi serius. Aku merasa jantungku berdegup kencan, detaknya terasa hampir meledak. Jari tangan nya mulai mendekat ke arah dada kiri ku sambil memakai gerakan ingin menjepit, dan akhirnya Ibu ini mencubit dada atasku dengan keras. Rasanya sakit, geli, dan malu. Aku merasa terpukul dan tidak percaya. Kevin memandangku dengan simpati, tapi aku tahu aku harus menghadapi ini sendirian.

Aku terkejut, menahan napas. Jantungku berdegup lebih kencang, darahku memburu. Aku hampir mengerang, tapi kutahan. Aku tidak ingin menunjukkan kelemahan.

Rasa sakitnya tajam, seperti pisau yang menusuk. Aku merasa otot dadaku yang kuat itu terpencet, terhimpit. Aku menelan ludah, menahan rasa sakit agar tidak meringis atau menangis. Aku harus kuat, aku harus menunjukkan bahwa aku tidak takut.

Setelah itu, Kevin bertanya, "Gimana?"
Aku berbohong, "Biasa lah, lumayan aja," sambil mengelus bekas cubitan dan berusaha menyembunyikan rasa sakit.

Aku berbicara kepada teman-teman, "Biasa aja, aku kan jantan!" sambil berpose binaraga, mengeraskan otot tanganku dan menonjolka bisep di lengan kanan. Tapi, dalam hati, aku merasa terluka dan sakit.

Teman-teman terkejut, tapi aku tetap berbicara, "Gak sakit, gak sakit!" Aku berusaha menyembunyikan rasa sakit yang sebenarnya.

Aku juga bercerita ke teman-teman perempuan di meja sebelah "Lihat, gak ada efeknya! Aku kan anak fitness!" Mereka terkejut, tapi aku tetap berbicara, "Gak sakit, gak sakit!"

Teman-teman cowok pun terkesan nyinyir dengan menggelengkan kepala dan beberapa teman lain pura-pura cuek.

Teman-teman cowok pun terkesan nyinyir dengan menggelengkan kepala dan beberapa teman lain pura-pura cuek

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Namun, rasa sakit itu benar-benar tidak terduga. Otot dada kebanggaanku terluka. Aku merasa harga diriku sebagai laki-laki mulai tertantang. Tapi, aku tidak ingin menunjukkan kelemahan.

Komando Batalyon 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang