Volume 2

203 19 17
                                    

Hari sudah menjelang sore, dan matahari sudah mulai terbenam. Sembari berjalan balik kedalam gedung perkantoran, atau yang sebenarnya markas mafia-mafia muda yang sudah pensiun, Aku memutuskan untuk memanggil teman-temanku dari divisi 1, mengajak mereka makan malam bersama. Handphone elektronik serbaguna, yang terpasang di telingaku membunyikan nada sambung beberapa kali. Kakiku mengetuk-ngetuk lantai, tak sabar menerima jawaban dari teman-temanku. Beberapa menit kemudian, terdengar suara wanita separuh baya dari telepon.

"Oi, Misaki! Tumben nelpon," ucap Rina. "Kita lagi santai nih, ada rencana?"

Aku tertawa kecil, "Gini, gue pengen ngajak kalian makan malem bareng. Sebenernya, gue belum tahu tempat makannya dimana. Kalian aja yang milih, asalkan bukan bar. Hahaha."

Rina terkekeh dengan suara beratnya dari telepon, "Weh, teman, tentu saja. Divisi pertama selalu siap untuk makan malam. Bagaimana kalau masakan Prancis? atau masakan Jepang, kayak biasanya?"

"Gue mau nyoba yang baru," ujarku sambil menyeringai gembira.

"Hohoho... kalau begitu kita bakalan ngebut ke restoran Prancis tengah kota. Kumpul sekarang, di depan gedung CCA, lo bonceng si Ryo," kata Rina, sambil memutus sambungan telepon.

Belum saja Aku mengatakan bahwa Aku tidak memberitahukan Ryo soal ini, permainan dimulai begitu saja. Aku menghela napas pelan, berlari kecil menuju lift, dan turun menuju lantai pertama. 3 menit berlalu, dan akhirnya Aku menapakkan kaki di lantai pertama. Berjalan cepat menuju halaman depan gedung CCA, sambil memutar-mutar kunci motor 900 SD Big Mono Bike baruku yang dibelikan oleh CCA, sebagai kendaraan untuk bekerja. Pekerjaanku bukan lain dari mengejar, lalu membunuh mafia bercatatan kriminal lebih dari 150.

Sesampainya diluar, Rina, Takamine, Gisera, Makoto, dan Ryo sudah berada di teras halaman depan gedung CCA, menyapaku bersamaan. Rina menepuk pundakku, sambil tersenyum lebar melihatku akhirnya keluar dari sarangku juga.

"Akhirnya, kita bisa makan bareng sama cewek cantik. Ayo, jalan," komentar Rina, sambil berjalan bersama, menuju motorku. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku, sambil berterima kasih soal pujian Rina kepadaku.

Rina adalah wanita berumur 24 tahun, dan telah bekerja sama dengan divisi pertama selama 5 tahun. Ia sudah mengenal Ryo lebih baik, daripadaku. Ia juga seorang analis terpercaya bagi CCA, dan telah menyelesaikan 74 kasus pembunuhan. Ia juga mengaku bahwa dirinya adalah perempuan bisexual.

Ryo menghampiriku yang sedang menstarter motor hitamku, sambil memakai jas hitam yang selalu saja dipakainya pada saat bekerja. Motor menyala dengan mulus setelah beberapa kali percobaan, dan siap untuk dikendarai.

"Gue yang nyetir," ucap Ryo dengan getir. Aku hanya mengangkat satu alis, bingung dengan ulah Ryo yang tiba-tiba saja berubah.

"Hah?! Nggak, lah! Ini motor gue, gue yang nyetir. Enak aja, lo!" decakku sambil naik ke atas motor tanpa ragu-ragu. Aku menoleh ke arah Ryo, yang melihatku dengan penuh amarah. Gue hanya bisa menghela napas, tidak mau kalah.

"Cepetan naik, atau lo gak bakalan gue ajak makan malem! Cepetan!!" decakku makin lama semakin membentak. Ryo menghela napas perlahan, pasrah. Aku menyeringai kecil dibalik helmku.

"Semerdeka lo aja. Yang penting, gue makan," kata Ryo terdengar begitu sedih. Aku terkekeh mendengar nada bicaranya yang berubah 180 derajat.

Motor kugas begitu kencang, sesaat Ryo mengiyakan perintahku untuk berpegangan erat. Dalam hitungan detik, kami sudah berjalan begitu cepat, dan melebihi kecepatan aturan berkendara. Motor berjalan mulus di atas jalan layang beraspal di malam hari. Aku bisa merasakan wajah Ryo terkubur dalam punggungku, dan kedua lengannya berpegangan erat pada pinggangku. Sepertinya, Ryo memang takut dengan kecepatan tinggi. Atau mungkin, sebenarnya Ia hanya penakut.

CCA: The MastermindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang