Volume 1

269 17 5
                                    

Bayangkanlah,
Kepalamu terasa ringan, tak memiliki beban seperti pikiran. Beban seperti perasaan, yang lama-lama hanya akan meruntuhkan dirimu kapan saja, dan dimana saja.

Bayangkanlah,
Dirimu merasakan kesempurnaan baru dalam hidupmu. Jiwamu terasa selembut kain sutra, dan seputih susu. Setiap kali kau menutup mata, bukanlah kenangan pahit yang muncul, akan tetapi rasa nikmat bagaikan seorang anak-anak.

Tidak ada lagi keraguan.
Tidak ada lagi kekhawatiran.
Tidak ada lagi kesedihan.
Kau merasa terlahir kembali.

Itulah, yang kurasakan sekarang, setelah para ilmuwan menemukanku kembali. Setelah para ilmuwan membawaku ke negeri sakura. Setelah mereka membangunkanku dari 200 tahun, yang hanya kuhidupi dengan terbaring seperti mayat bernafas.

Awalnya, Aku tidak mengira bahwa Aku dapat tertidur 200 tahun, setelah Aku mendaftar sebagai salah satu kelinci percobaan pada ilmuwan. Dan, sayangnya, waktu tersebut sudah memakan nyawa mereka duluan, sebelum Aku menanyakan mengapa mereka memilihku untuk dijadikan kelinci percobaan, dan juga alasan mengapa Aku rela menerima hal tersebut. Rasanya, Aku telah membodohi diriku sendiri, bukan begitu?

Tetapi, hal tersebut sudah kian lamanya terjadi, dan hampir semuanya kulupakan dengan tidak sengaja, alias diriku telah terkena amnesia. Aku lupa nama asliku, Aku lupa nama orang tuaku, serta dari mana asal diriku lahir. Aku telah lupa dengan semuanya.

Tetapi, ada satu hal yang sungguh menggangguku hingga hari ini, hingga diriku yang masih bernafas menatap langit-langit sore, menunggu matahari terbenam.

"Apa diriku?"

Hal yang menyebabkan mengapa Aku sungguh frustrasu dengan kehidupanku kini. Siapa diriku bukanlah hal yang harus dipermasalahkan. Identitas adalah hal kecil bagiku. Tetapi, kalau sudah menanyakan hal seperti apa sebenarnya diriku, itu hal yang sulit untuk dikatakan.

Aku ini apa?

"Kau adalah hasil percobaan, Misaki."

Apakah Aku seorang manusia?

Akan selalu ada jeda di setiap pertanyaan seperti itu.

"Bukan. Kau lebih spesial dari manusia. Bahkan IQ mu, bisa lebih dari 500."

Oh.

Sebenarnya, diriku sendiri tahu, mereka akan mengatakan hal yang sama berturut-turut, mengenai seberapa besar IQ ku, dan seberapa tinggi kemampuanku dalam bidang fisik. Padahal, itu bukanlah hal yang perlu dibesar-besarkan.

Aku sendiri, ingin sekali dianggap sama seperti manusia lain. Seperti seorang remaja perempuan, dan bukan seorang mastermind yang akan bekerja untuk membasmi kejahatan.

Aku masih ingin mememeluk sebuah boneka empuk, dan bukan sebuah pistol dengan peluru canggih, yang dapat melumpuhkan seorang manusia dibawah hitungan detik. Tetapi, walaupun Aku sudah berkali-kali mengatakan hal tersebut, selalu saja mereka akan menertawakanku, dan bilang bahwa itu lelucon imut dari seorang remaja berumur 19 tahun.

Hal tersebut membuatku bertanya-tanya, apa sebenarnya remaja berumur 19 tahun seharusnya lakukan dalam era teknologi canggih, seperti sekarang.

Waktu itu, Aku pernah bertanya hal semacam itu kepada seseorang yang mempunyai jarak umur yang tidak terlalu jauh dari umurku. Dan jawaban mereka adalah,

Alcohol
Pesta
Kuliah

Dan hal itu terus menerus teringat di dalam kepalaku, seolah-olah itu hal yang mengejutkan karena 200 tahun lalu, remaja seumuranku tidak diperbolehkan untuk menapakkan kaki di luar rumah sekalipun. Apa yang telah terjadi selama 200 tahun tersebut?

Aku menggeleng-gelengkan kepala, menghela napas sejenak, lalu melihat awan-awan, dan langit-langit senja dari atap gedung CCA. Tak terasa, ketika Aku melirik ke jam tanganku, ternyata sudah 3 jam lebih Aku berdiam diri disini.

"Lagi-lagi," ujar seseorang dari pundakku.

Aku menoleh kebelakang, "Inspektor Ryo, semua tugasku sudah selesai."

Pria jangkung berbadan sempurna tersebut menyeringai, sambil terkekeh.

"Gak, gue kesini gak nanyain lo hal kayak gitu," jelas Ryo santai, sambil berjalan ke sebelahku.

"Kalo gitu lo mau apa?" Tanyaku sambil menerawang jauh, dengan tatapan datar.

"Misaki... lo tau, 200 tahun itu jangka waktu yang panjang banget. Apakah lo merasa bahwa dunia sekarang ini, jauh lebih baik, atau buruk?" Tanya Ryo, sembari memainkan jarinya.

Aku meliriknya, sambil menyisir rambutku dengan jemari, "Ryo, dunia gue, dan dunia dimana lo tinggal udah beda banget. Dunia gue, dunia dimana tulisan tertulis di atas selembar kertas, dan bukan ketikan di atas layar komputer."

Ryo mengernyit, "artinya?"

"Dunia gue, adalah dunia dimana orang masih memakai kepala mereka, dan melakukan semua hal dengan tangan mereka. Sedangkan duniamu, adalah dunia dimana orang-orang sudah tidak memerlukan tangan mereka sendiri lagi, seolah-olah ciptaan tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi.

"Semua orang sudah bergantung kepada teknologi paling mutakhir, dan maju. Gue gak tahu seberapa jauh sains akan terus maju, seberapa pintar otak-otak ilmuwan yang berkerja untuk teknologi, tetapi buatan manusia bukanlah buatan tuhan. Hal tersebut begitu canggih, dan buatan manusia tidak akan sampai pada akhirnya, tidak akan pernah-"

"Itulah mengapa manusia hebat. Semua teknologi ini adalah keistimewaan yang perlu dihargai! Misaki, lo tahu, seharusnya lo merasa bahagia terbangun lagi dari tidur panjang lo," potong Ryo, sambil tertawa lebar disebelahku.

Aku hanya diam sementara, terus menatap jauh ke tempat dimana cahaya terbenam perlahan-lahan.

"Ryo, gue menghargai teknologi yang begitu maju. Tetapi, lo tahu, jangan pernah terhipnotis oleh kenyamanan teknologi. Teknologi dapat merampas akal sehat manusia dengan begitu saja. Teknologi juga dapat membahayakan diri lo sendiri. Hal tersebut bisa menguasai otak lo, membuat lo berpikir bahwa teknologi adalah segalanya. Padahal, teknologi itu bisa membunuh lo perlahan-lahan, bahkan disaat-saat yang konyol," jelasku panjang lebar.

Ryo dari tadi hanya memperhatikanku dengan tatapan bingung. Kemudian, Ryo mengusap-usap kepalaku, sambil tersenyum lebar.

"Kau memang seorang mastermind. Tetapi, apakah hal itu dapat terjadi? Manusia 'kan, lebih cerdas," celetuk Ryo dengan nada sarkastik.

"Lihat saja nanti," ucapku, sambil membalikkan badan, berjalan meninggalkan Ryo sendirian di atap gedung CCA.

Bodoh, batinku.

CCA: The MastermindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang