Miki: Tapi... Nyamuk Jantan Tidak Minum Darah

4.4K 512 64
                                    

Miki bisa jadi bukan cowok dengan penampilan cukup menonjol yang bisa membuatnya dengan mudah diidentifikasi dari sekumpulan laki-laki lainnya. Predikat 'Best-looking Guy' bukan hal main-main, tentu saja, tetapi sepertinya cowok sangat-panjang sejenis Adrian akan lebih mudah ditemukan dalam keramaian dibanding dirinya. Panjang apanya? Panjang badannya, lah.

Namun apa bisa dikata, akhir-akhir ini Miki merasa keberadaan Rere menjadi jauh lebih gampang disadari dibanding biasanya. Sepintas, Rere itu aslinya bukan termasuk ke dalam golongan wanita menonjol. (Menonjol sih sepertinya Ratu? Wah!)

Terkecuali, kalau faktor pembedanya termasuk efek samping kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin jika terlalu lama seruangan bersama Rere. Akibat dari kebanyakan dihina dan disindir; Miki beri tahu saja, guys.

Akan tetapi, berkat adanya sikutan dan bisikan Adrian setiap Rere berada dalam RPA (Radius Pantauan Adrian), Miki bagai memiliki alarm-berjalan menanggapi keberadaan Rere, berbentuk temannya sendiri. Contoh riilnya, seperti saat ini.

Miki yang sedang berjalan santai menuju lobi terganggu oleh sebuah tarikan--pelan, tetapi cukup bertenaga untuk membuatnya tergeser ke samping--pada tas gitar yang tersampir di punggungnya. Sekolah sudah kosong. Lobi dibanjiri sinar matahari sore yang mendatangkan kantuk. Yang ada pikiran cogan tersebut, hanya secepatnya pulang ke rumah, atau mungkin membeli mie ayam sebentar di warung depan.

Rencana sempurnanya hancur lebur oleh satu tarikan yang sudah jelas dilakukan Adrian, sebab sedari tadi cowok itu yang jalan bersamanya. Sialnya lagi, Adrian malah menghampiri Rere yang sedang duduk sendirian di lobi.

"Hai Re, masa ngelihat lo gua jadi inget tai, ups," sapa Adrian riang, "sendirian amat, dah."

Ngalus, batin Miki.

Rere terkekeh. Ia melebarkan tangan kanannya ke udara kosong di sampingnya, berpura-pura melingkarkan lengannya pada bahu seseorang. "Nggak, kok--Ini ada pacar gue."

Si cowok berkacamata ikutan tertawa. Ia menempati kolom di sebelah Rere. Eits, bukan kolom di hati cewek itu. "Kok nggak pulang-pulang, lu?"

"Nunggu dijemput," Rere menyilangkan kaki, "biasa."

"Ratu ke mana? Waks, gua liat lu seringnya sama Ratu doang, sih."

"Udah pulang."

"Hm," Adrian nyengir kecil, membenarkan letak kaca matanya. Ia tiba-tiba berkata, "Eh Mik, lu sini duduk napa! Nggak enak banget ngeliatnya berdiri sendiri gitu."

Miki sebisa mungkin mengumpulkan tenaga dalam dan menembakkan keris Empu Gandring dari lirikan tajamnya ke arah Adrian. Gua. Mau. Pulang.

Bagaimanapun juga, ia tetap duduk di dekat kedua temannya, sekalipun sambil menggerutu. Mereka bertiga diam tanpa suara seperti orang tolol selama sekitar satu menit penuh.

Akhirnya Adrianlah yang duluan memecah keheningan. "Kok, lu nggak dijemput-jemput, Re? Udah malem gini, loh, gua kasian sama lu."

Rere mengangkat bahu. "Macet kali, deket lampu merah."

"Bisa jadi," Adrian mengangguk. "Eh Re, lu tahu nggak, kenapa mobil berhenti di lampu merah?"

"Karena macet?"

Cowok itu menggeleng.

"Karena peraturannya?"

"Salah."

"Karena... Direm?" Miki menebak.

"Bukan."

"Takdir?!"

Lo Baik Sih, Tapi... [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang