Zoo selalu memiliki segalanya-kesempurnaan, kesuksesan, bahkan cinta. Aku? Aku hanyalah bayangannya, seseorang yang terlupakan.
Namun, malam itu, ia memintaku melakukan satu hal. Menyelesaikan sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Aku b...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Off pov
Wanita tua itu berjalan perlahan mendekat, membawa sebungkus bekal makanan yang kubuat pagi ini. Tangannya yang mulai keriput menggenggam erat bungkusan itu seolah takut lepas. Saat tiba di sampingku, ia duduk dengan tenang, membuatku menurunkan kaki yang sedari tadi kupeluk erat ke dada. Aku menoleh, memperhatikan setiap gerakan kecilnya ketika ia membuka bekal dan mulai menyendok makanan.
Hening. Hanya suara sendok yang bersentuhan dengan wadah plastik yang terdengar di antara kami.
"Ini enak," katanya, tanpa menoleh padaku, suaranya datar seperti biasa. Seolah pujian itu sekadar formalitas, tanpa benar-benar memuji.
Aku diam, menatap kosong ke depan dengan pikiran yang melayang entah ke mana. Luka yang selama ini kupendam terasa semakin dalam, namun entah kenapa aku tak bisa marah. Hanya ada kekosongan di dalam diriku.
"Kapan kau belajar memasak seperti ini?" tanyanya tiba-tiba, masih tanpa ekspresi.
Aku mencoba tersenyum tipis, meski senyum itu terasa hambar. "Aku hanya meniru apa yang kulihat dan mencobanya sendiri," jawabku lirih, sedikit menyeringai.
Keheningan kembali menyelimuti. Wanita tua itu terus menyendok makanannya, sementara aku menahan keinginan untuk menundukkan kepala. Sampai akhirnya ia kembali berbicara, kali ini dengan suara yang sedikit bergetar.
"Kenapa kau membiarkan dirimu kelaparan?"
Aku tertawa kecil, meski tawa itu tak bertahan lama. "Nenek juga melakukan hal yang sama, bukan?" balasku, mencoba menyembunyikan rasa perih yang tiba-tiba menyeruak.
"Aku sedang makan sekarang, kan? Apalagi yang kau inginkan?" Balasnya.
namun kemudian tiba-tiba saja, ia mulai menangis.
"Nenek... ada apa?" tanyaku terkejut, suaraku bergetar melihat air mata yang mengalir di pipinya.
Ia menoleh padaku, matanya basah penuh kesedihan. "Jangan pernah bilang lagi kalau seharusnya kamu yang berada di posisi Zoo..." Suaranya bergetar di tengah kalimat, memecah keheningan yang sejak tadi menggantung di antara kami. Aku terdiam, tak mampu berkata apa-apa, seolah kata-kataku hanya akan menambah luka yang tak kasat mata di hatinya.
Aku mencoba menelan ludah, namun terasa begitu pahit. Ada sesuatu yang mengganjal di dadaku, membuat napasku terasa berat.
"Nenek... Off tidak bermaksud..." Suaraku pecah, seperti daun kering yang remuk di injakan kaki. Kalimatku menggantung di udara, terhenti saat tangis nenek pecah semakin keras.
Tanpa peringatan, ia menarikku ke dalam pelukannya-erat, rapuh, namun penuh makna. Untuk sesaat, kehangatan itu mengalir ke tubuhku, seperti selimut di malam yang dingin. Sentuhan itu adalah sesuatu yang langka, sesuatu yang tak pernah benar-benar kumiliki. Kasih sayang yang selama ini hanya terasa bagai bayangan, selalu ada tetapi tak pernah bisa kugenggam.