Bab 1

42 0 0
                                    

"Bukankah itu Rini?" kata teman Sura yang bersama dengan dia menjaga mall ternama di Surabaya. Tangannya menunjuk televisi hologram yang berada di tengah massa di dalam taman. "Aku dengar permainan terakhirnya melawan seorang pebasket dengan kaki robotik."

"Tapi dia tetap menang," kata Sura dengan suara pelan. Tampilan di dalam kacanya menunjukkan pukul delapan malam.

"Hal itu akan memudarkan garis perbedaan antara pengguna prostetik dan manusia normal. Omong-omong, kau tidak menutup suaramu?"

"Aku suka seperti ini. Mengingatkan setiap orang yang mendengar bahwa kita adalah Elang Baja. Divisi kepolisian yang khusus menangani penyalahgunaan prostetik." Sura meraba helm hitamnya yang memantulkan cahaya bulan. Kelihatannya helm tersebut terbuat dari plastik. Jangan salah, materialnya cukup kuat untuk menahan serangan dari peluru berkaliber 50.

Setiap polisi yang berafiliasi Elang Baja diharuskan memakai kerangka berkekuatan. Mereka dilarang untuk mengganti bagian tubuh mereka dengan prostetik karena tujuan dari keberadaan mereka adalah menunjukkan bahwa manusia biasa tidaklah lemah.

Memang, sejak prostetik menjadi terkenal di Indonesia, banyak pekerjaan yang menggunakan mereka. Mulai dari pekerjaan fisik hingga pekerjaan kantoran yang mengharuskan setiap pekerjanya menggunakan implan otak untuk mengoptimalkan daya proses.

Sura melirik sebuah gedung di kejauhan yang nampak dari atap terbuka. Gedung itu tingginya menembus awan. Penangkal petir yang dipasang begitu kuat sampai tidak ada awan hitam yang menyala di dekatnya. Gedung itu adalah sebuah perusahaan. Ya, hanya terdiri dari satu gedung karena pabrik, kantor, hingga bandara udara pribadi muat di dalam ratusan lantai menuju langit. Terkadang beberapa pesawat mendarat di lantai-lantai tertentu yang memiliki hangar. Indutri Kerisalis namanya dan gedung itu adalah satu-satunya tempat pengembang prostetik di Indonesia. Tidak terletak di Jakarta, melainkan di Surabaya.

"Kau pasti Rini," kata seorang pria ketika menghampiri seorang gadis berjaket ungu.

Gadis itu hanya mundur beberapa langkah dari depan toko baju wanita dan menarik kerudungnya. Helm Sura yang langsung menyeleksi dua orang tersebut berhasil menangkap suara sang gadis yang terdengar gemetar. Sura langsung mendekati mereka, berniat melerai kejadian.

Sementara Sura mendekat, pria asing itu terus berusaha berada di depan gadis dan mengajaknya bicara. Senyumannya yang terus menerus dilemparkannya membuat Sura muak. Apalagi dia beranting-anting dan berambut mohawk dengan pelipisnya bersih dari rambut.

"Hei, tolong berhenti mengganggu gadis ini," kata Sura dengan suara tegas setelah mengaktifkan mode pengganti suara. Cahaya merah bergaris menyala di helm Sura, menandakan dia sedang dalam mode agresif.

Dalam jarak lima meter dari orang itu, Sura merasa perutnya dihantam sesuatu. Dia terpelanting dan kerangkanya menggores lantai, menimbulkan percikan api. Sura meraba perutnya dan merasa pelindung cair yang dikenakannya telah mengeras. Lalu dia merasakan angin malam menerpa wajahnya membuatnya tersadar helmnya pecah sebagian. Sura memaksakan dirinya berdiri sambil menutupi wajahnya. Tangan kananya berusaha meraba sarung pistolnya, namun hanya sarungnya saja yang terasa.

"Mencari ini?" kata pria itu dengan nada mengejek. Tangan kirinya memeluk leher gadis itu yang ternyata benar adalah Rini. Pistol yang digenggamnya menyala berwarna merah. Tampilan yang melayang di sebelah laras menampilkan kata "Ditolak".

"Jika kau kembalikan pistolku sekarang, aku berjanji tidak akan mematahkan tanganmu," kata Sura dengan tenang. Tak lama rekannya datang sambil menodongkan senapannya ke pria di depannya.

"Benda ini terkunci secara DNA, bukan? Tapi kamu tahu, mikroprosesor di dalamnya sangat bodoh." Ia menempelkan ujung larasnya ke punggung Rini. Sekilas Sura melihat warna pistolnya berubah biru dan hologram tampilannya menutup. Detik berikutnya suara ledakan disertai teriakan seorang gadis terdengar di dalam mall.

"Tidak!" teriak Sura dengan sekuat tenaga. Sura menerjang maju, namun pria itu menembaknya dengan mode kejut. Sura sekali lagi jatuh tersungkur dengan listrik mengaliri piston besi yang memberi sendi-sendinya kekuatan. Tampilan helmnya yang setengah rusak memberitahukan bahwa eksoskeleton yang dipakainya mati.

"Semua potensi itu, dan mereka menjadikan anjing suruhan? Aku pikir kau lebih baik dari ini, Sura. Dia tidak membuatmu seperti ini. Namaku Obitus, jangan lupakan itu." Pria itu lari ke dalam kumpulan toko sambil membawa pistol Sura yang basah karena darah.

"Jansen! Tembak dia!" Jansen, rekannya, langsung lari menerjang kerumunan yang menyerbu pintu keluar. Ketika dia berhasil menembus, ia mengaktifkan mode kekuatan melalui panel di lengan kirinya dan melesat lari lebih cepat dari mobil.

Sura merangkak ke tubuh Rini yang mungil dengan susah payah. Ia masih merasakan listrik ratusan ribu volt mengaliri tubuhnya. Bagaimana mungkin manusia normal bisa secepat itu? Pikir Sura. Jaraknya lima meter antara dia dan pelaku.

Sura membuka kotak pertolong pertamanya yang disimpan di punggung, mengeluarkan penjepit dan dengan seksama, mengeluarkan peluru dari punggung Rini. Rini mengerang dengan lemah, mukanya pucat dan keringat membasahi rambutnya.

Melalui alat scanner di telapak tangannya, Sura menyinari tubuh Rini untuk pengecekan penuh. Lalu hologram berbentuk tubuh Rini perlahan bangkit. Hologram itu menunjukkan aliran syaraf Rini dan menyeleksi bagian yang terputus akibat peluru. Mulai dari luka yang dekat pinggang hingga ke ujung kaki, syaraf yang ditunjukkan dengan warna kuning memudar warnanya. Muka Sura langsung diliputi oleh keputusasaan.

"Jansen," Sura memanggil dengan bisikan. " Rini lumpuh."

Tiba-tiba sebuah ledakan memecahkan suasana yang bisu. Sura langsung memeluk Rini, berusaha melindunginya. Kobaran api menyembur dari pertigaan di depannya. Tak lama, ledakan demi ledakan terjadi. Kadang dekat, kadang jauh. Terkadang disertai teriakan. Yang terakhir tepat di toko baju yang Rini hendak masuki.

Sura menatap api yang mewarnai lantai kuning dengan wajah mengerenyit. Asap mulai membentuk kabut dengan atap terbuka sebagai jalan keluarnya. Dengan sebisanya, Sura menutup luka Rini dengan kapas, lalu melepaskan eksoskeletonnya. Dengan menggendong Rini, Sura berjalan menuju pintu keluar. Setiap gerakan kaki mengingatkan tiap otot di dalam tubuhnya bahwa ia belum lama terkena senjatanya sendiri.

Evolusi Manusia di Titik TertinggiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang