Digo's Pov
Saat aku kembali, camp induk sudah ramai dengan lalu lalang ambulans. Beberapa orang yang keluar dari barak darurat tampak diperban sana sini. Ada pula tangisan anak kecil yang menyayat hati.
Aku turun dari kendaraan tempur kami. Disambut oleh Dili yang telah sampai lebih dulu dari kami."Woy..nice shoot bro," sambutnya menepuk bahuku bangga
Aku hanya tersenyum simpul. Ternyata tidak mudah menjadi seorang sniper profesional. Aku baru saja membunuh dua orang perempuan. Perempuan men. Bukan laki-laki dewasa yang membawa senjata.
"One shoot one kill bro," ujar Letda Ugi menambahi.
"Mereka cuma dua perempuan men. Dan harus mati karna tembakan gw" desisku mengusap kepala frustasi
Bisa saja mereka hanya sangat takut pada ayah mereka. Seperti Sisi. Aku tidak akan bisa membayangkan jika salah satu perempuan yang kutembak tadi adalah gadis mata biruku. Berdosanya aku.
"Dua perempuan yang bisa ngebunuh dua lusin temen-temen lo" sahut Dili menenangkanku
"Gw nggak bakalan tahan dengan pekerjaan ini men. Gw nyerah" gumamku putus asa
"Digo!!! Kalo lo berhenti, siapa yang bakalan ngelindungin kita? Ngelindungin mereka? Juga gadis yang tadi dibawa Dhani itu?"
Gadis? Sisi?
"Sisi?"tanyaku cepat
"Gw nggak tau namanya. Yang jelas, kalo lo berhenti, detak jantungnya mungkin juga bakalan berhenti lebih cepat. Hari ini mungkin kios dagingnya yang dihujani misil. Besok? Lo nggak pernah tau Blue. Ini tanah konflik, satu menit setelah ini, bisa aja misil ngehancurin semua yang ada disini"
Kata-kata Dili sedikit melegakanku. Benar. Aku melakukan ini bukan tanpa tujuan. Tentu ayah dan kakek pun pasti punya tujuan yang sama denganku. Melindungi mereka yang percaya pada kita.
"Ndan.. gadis mata biru anda sedang mendapat perawatan. Kami sudah melakukan apa yang seharusnya kami lakukan. Gadis itu ada di barak 3 kalo komandan berkenan melihatnya"
Aku mengangguk pada Dhani. Tersenyum berterima kasih padanya. Kulangkahkan kakiku menjauhi barak satu, berjalan ke arah barak tiga. Tangis balita dan ratapan orang tua makin jelas terdengar. Ya Tuhan..bencana apa yang baru saja terjadi? Apa ayah dan kakek dulu juga menghadapi situasi semacam ini? Bagaimana mereka dengan gagah berani menghadapinya?
"Ehhmmm..aduh...Sa..."
"Sahiya" sahut gadis di depanku cepat. Matanya berkaca-kaca. Kutoleh ranjang di belakangnya.
For God Shake. Biadab!!! Bagaimana bisa mereka melakukan itu terhadap gadis malang ini? Sisi....
"Gimana Sisi?"
Sahiya menunduk. Memberiku jalan mendekati ranjang Sisi. Ada luka parah di kepala Sisi. Petugas medis terpaksa melepas jilbab yang menutupi kepalanya. Rambutnya panjang sebahu. Lurus berwarna coklat. Matanya tertutup sangat rapat. sebelah pipinya membengkak biru. Dua kakinya sedang diperban. Kutaksir ia mengalami patah di kaki kirinya. Belum kedua bahu dan lengannya. Damn!!!! Kubunuh orang yang melakukan ini terhadapnya.
"Frans!! Gimana keadaannya?" Tanyaku pada Frans yang berjalan melewatiku.
Frans mengamati tubuh Sisi. Meneliti luka di kepalanya.
"Semua sudah stabil Ndan. Gadis ini hanya perlu perawatan intensif." Ujar Frans melegakan
Aku menoleh Sahiya yang ikut menghembuskan nafas lega. Kudekati ranjang Sisi dan kunaikkan jilbab di lehernya menutupi kepala. Aku tidak ingin terlalu banyak orang yang melihat auratnya. Sahiya terhenyak dan membantuku membenahi kain berwarna putih dengan variasi bercak darah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU LANGITKU DI MATAMU
Fanficbagiku, hidup bukan hanya sekedar mencari dan berhenti setelah tiba pada tujuan. hidup adalah perjalanan dan proses bagaimana kita ditemukan. perbedaan adalah benang merah yang indah. seperti putih awan yang bertemu biru di langit negaraku. matamu b...