Part 6

132 4 0
                                    

Keesokan harinya semua berjalan baik. Tak ada tragedi apapun. Kami menguburkan jasad Naomi lalu hanya berkumpul dalam diam berharap Kak Kevin cepat sadar. Aku yang merasa bosan akhirnya izin pamit untuk keluar villa. Setelah hampir setengah jam meyakinkan mereka semua kalau aku baik-baik saja, baru aku bisa lolos berkeliling villa lagi.

Aku berjalan ke arah belakang villa tempat kemarin aku menguping pembicaraan Mang Ujang. Kali ini sepi. Aku melanjutkan langkahku lebih jauh lagi mengikuti feeling-ku. Mataku terhenti menatap sesuatu yang tergeletak di atas rumput. Aku membungkuk untuk mengambil benda itu. Kartu kematian. Kartu yang mengantarkan kita semua ke dalam permainan ini.

"Erghh.." suara rintih seseorang terdengar samar-samar olehku. Aku menoleh mencari asal suara. Perlahan kakiku melangkah menuju arah samping kanan villa kami. Sebuah gubuk kecil di samping villa baru kusadari keberadaannya hari ini. Kakiku terus melangkah dalam diam, mencoba mengendap.

"Neng Luna!" seseorang menepuk bahuku pelan tapi berhasil membuatku terlonjak kaget.

"Mang Ujang?" lalu aku menghembuskan napas lega.

"Ngapain Neng, ke sini?" tanya pria itu.

Aku menoleh ke gubuk tadi. "Itu gubuk siapa ya, Mang?" tanyaku.

Mang Ujang tertawa pelan. "Gubuk Mamang atuh. Emang selama ini Neng Luna pikir Mang Ujang tinggal dimana?"

Aku menatapnya tak percaya. "Hmm gitu. Tapi Mang, tadi saya denger suara orang kesakitan di dalam sana," ujarku lagi.

"Iya, itu istri Mamang tadi kakiknya ketusuk paku pas lagi beberes taman depan sana."

"Gak diobatin Mang?"

"Ini teh mau diobatin. Tadi Mamang nyari kain dulu buat ngiket lukanya."

"Boleh saya ikut, Mang?"

"Aduh jangan, Neng. Istri saya itu suka terganggu sarafnya, kadang suka ngamuk gak jelas makanya saya takut nanti Neng Luna kenapa-napa," ujarnya.

"Tapi, Mang—"

"Udah Neng masuk aja ya ke dalem, biar Mamang obtain lukanya dulu." Lalu pria tua itu pergi meninggalkanku sendiri. Aku akhirnya memutuskan kembali ke dalam villa lagi.

Malam beranjak dengan cepat. Besok pagi kami harus kembali ke Jakarta. Sekeras apapun aku menolak, mereka tetap memaksaku untuk ikut kembali. Pikiranku masih tak bisa tenang. Aku hanya berbaring di ranjang menatap langit-langit kamar. Ku lirik Yola di sebelahku yang tertidur pulas. Kembali ku rogoh saku celanaku untuk mengambil kartu tadi. Kubaca tulisan yang ada di sana, tulisan yang kami baca saat menemukan jasad Andre yang tergaantung di dapur.

Otakku sibuk merangkai cerita rumit ini. Dari malam saat Daniel meramal, hingga kematian Naomi kemarin. Benarkah Daniel pelakunya? Tanyaku dalam hati sambil terus mengamati kartu itu. Aku memikirkan kemungkinan itu. Kalau memang laki-laki itu pelakunya? Kenapa dia ikut menerkam kakakku? Karena dia dendam kakakku memojokkannya? Lalu kenapa dia tega membunuh Naomi? Kalau memang dia pelakunya, dimana Daniel bersembunyi beberapa hari ini?

Lalu aku mendata nama yang tersisa. Aku, Yola, Ega, dan Kak Kevin. Siapa selanjutnya? Aku terus memikirkaan segala kemungkinan dan kembali menatap kartu itu. Detik selanjutnya aku tersentak. Aku mengenal tulisan ini. Ya! Aku ingat tulisan siapa ini. Seketika aku duduk tegak dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Dia? Apa benar dia? Kalau dia benar pelakunya, apa motifnya? Siapa setelah ini? Kembali kuulang rangkaian kejadian hingga aku sadar, siapa korban selanjutnya.

Dengan cepat aku membangunkan Yola. "La, bangun La. Gue tau siapa pelakunya..."

Yola membuka matanya dan duduk menatapku penuh tanda tanya. "Siapa, Lun?"

The Death CardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang