Bab 6: Surat Misterius

415 24 7
                                    

Mahar berjongkok untuk mengeratkan tali sepatunya, kemudian memandang pagar setinggi dada dengan wajah serius. Pagar itu awalnya bercat putih, tapi warnanya pudar karena sering dipanjati orang-orang. Di sana, ada bekas sepatu, bekas sandal, jejak telapak kaki, bekas telapak tangan, dan kotoran lain. Di bawahnya tersandar kursi plastik merah yang digunakan untuk memanjat.

Dia mengambil ancang-ancang dan mulai berlari. Semakin kencang. Ujung kakinya menghantam dinding. Mahar melayang melewati pagar dan mendarat mulus di halaman sebelah. Rumah Rachel.

Mahar melakukannya hampir setiap hari, dan itu dia anggap sebagai olahraga tambahan untuk melatih otot kaki. Begitu juga dengan Rachel, tapi bedanya, cewek itu lewat dengan cara naik ke kursi yang diletakkan di kedua sisi. Sering Mahar mengerjai Rachel dengan menjauhkan kedua kursi saat Rachel di atas pagar, membuat cewek itu menjerit histeris sambil mengata-ngatainya dengan berbagai kutukan. Mahar hanya tersenyum penuh kemenangan sambil berjalan ke dalam rumah, meninggalkan Rachel yang terus berteriak-teriak histeris.

Mahar memasuki pintu kecil bercat hijau muda di bagian samping rumah Rachel, yang langsung mengantarkannya pada ruangan keluarga yang didominasi warna putih. Mahar berjalan menuju kursi dan melempar tubuhnya ke sana. Rachel yang sedang mendengar musik melalui headphone terlonjak kaget. Ekspresi Rachel tidak terkontrol, membuat Mahar ingin tertawa. Namun, dia urungkan karena ada hal serius yang ingin dibicarakannya.

“Lo tahu ini apaan?” tanya Mahar sebelum Rachel mencaci makinya. Mahar mengeluarkan beberapa kertas dari dalam saku jaketnya. Sebagian terlihat masih baru dan sebagian lagi sudah kusut serta kekuningan.

Rachel menatap kertas di tangan Mahar selama beberapa saat. “Emangnya apaan?”

“Yah, ngapain juga lo balik nanya. Gue nanya ke lo, tapi lo nanya ke gue. Terus gue harus nanya ke siapa coba?”

“Mana gue tahu. Yang jelas lo udah ganggu gue belajar. Nggak lihat gue lagi serius belajar termodinamika?”

“Ini kertas ucapan ulang tahun. Gue nggak tahu pengirimnya siapa, yang jelas ini udah keempat kalinya. Gue baru kasih tahu lo sekarang karena barusan gue nerimanya lagi.”

“Ulang tahun lo? Bukannya masih beberapa hari lagi?” tanya Rachel. Dia membetulkan posisi duduknya agar lebih dekat.

Mahar memberikan surat itu. Rachel membacanya perlahan sambil memperhatikan setiap huruf yang tertulis. Ucapan itu ditulis tangan memakai tinta kuning. Kata-katanya hanya berupa kalimat ucapan biasa, tapi di setiap surat selalu tertulis seperti ini:

Terima kasih telah mewarnai hariku dengan senyumanmu, meski aku hanya selalu menatapmu dari kejauhan. Jika waktu memungkinkan, aku akan memperkenalkan diriku yang sebenarnya. Terima kasih, Mahar. Terima kasih telah menunjukkanku cara berbeda untuk mencintai seseorang. Selamat ulang tahun.

Rachel selesai membaca empat lembar surat itu dalam waktu kurang dari tiga menit. Dia meletakkannya di meja dan memandang Mahar beberapa saat, lalu memperhatikan surat itu lagi dengan wajah merenung.

“Gimana?” tanya Mahar tidak sabaran.

Rachel tak langsung menjawab. Cewek itu meletakkan jarinya di pelipis, lalu memandang Mahar dengan serius. Mereka saling pandang selama beberapa saat sebelum Rachel membuka suara. “Cie … yang ada penggemar rahasianya.”

“Rachel, gue serius! Lo tahu kira-kira siapa pengirimnya?” ucap Mahar dengan kening berkerut, seakan tidak mengerti dengan sikap Rachel. Mahar merasa kalau Rachel mengetahui sesuatu, tapi tidak mau mengatakannya. Dia mengenal watak dan sikap Rachel bila menyembunyikan sesuatu.

Cewek itu menggeleng dengan wajah datar, sehingga Mahar semakin curiga. “Gue nggak tahu. Lo mulai nerima ini beberapa tahun lalu? Setelah itu rutin tiap tahun?”

Mahar mengangguk cepat. “Bener. Ucapan ini tiba tepat tiga hari sebelum gue ulang tahun. Gue nemu di kotak surat tua depan rumah. Awalnya gue pikir cuma kerjaan orang iseng, makanya nggak ngasih tahu lo. Setelah dipikir-pikir lagi, nggak mungkin kerjaan orang iseng ngirim ginian tepat waktu selama beberapa tahun.” Mahar menghentikan ucapannya, memandang Rachel sungguh-sungguh. “Jadi lo beneran nggak tahu?”

Rachel menggeleng, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Hazel yang duduk di kursi. Mahar mengikuti arah pandang Rachel dan baru sadar kalau ada orang lain. Dia tidak melihat kapan Hazel datang dan duduk di sana.

Merasa diperhatikan, cewek yang selisih umurnya satu tahun dari Rachel itu balas memandang mereka. “Kenapa kalian memandangiku seperti itu?” tanyanya dengan  wajah tidak suka.

“Jadi?” tanya Mahar menggantung kalimatnya. “Hazel?”

Rachel menggeleng. “Bukan dia. Cuma ….”

“Ada apa?” buru Mahar. Dia merasa kalau Rachel berusaha membuatnya penasaran. Sebenarnya apa yang disembunyikan Rachel? Siapa sosok pengirim surat itu? Apa mungkin Hazel?

“Nggak, yang jelas itu bukan Hazel. Gue tahu betul sifat Hazel, dia nggak akan lakukan hal kuno seperti itu.”

“Maksudnya?”

“Gue nggak tahu, Ru. Tapi gue pernah lihat gaya menulis seperti ini. Sayangnya gue lupa di mana dan siapa yang nulis. Nanti gue ingat-ingat dan cari tahu. Kalo udah ingat, gua bakal kabari lo secepatnya.”

“Yakin?” tanya Mahar penuh selidik. Dia merasa Rachel mengetahui sesuatu yang tidak ingin diketahuinya. Apakah mungkin surat ini berasal dari orang yang dikenalnya?

“Emangnya ada apaan, sih? Wajah kalian serius gitu.” Tiba-tiba Hazel berdiri di hadapan mereka dan langsung mengambil kertas yang tergeletak di meja. Hazel membaca sepintas kemudian meletakkannya kembali.

“Kuno,” gumam cewek yang bernama lengkap Hazel Aurora itu sambil duduk. “Kalo aku jadi cewek yang menyukai Kak Mahar, aku akan bilang langsung. Begitu kan, Rachel?” Hazel melontarkan tatapan penuh arti ke arah kakaknya.

“Apa maksudmu?” tanya Rachel.

“Ya, seandainya aku menyukai Kak Mahar, aku akan terus terang, bukan pakai cara kuno begini.” Hazel bangkit dari kursi, berjalan ke arah Mahar, lalu mencium cowok itu. “Lembut dan hangat.”

Ekspresi Rachel seperti direbus hidup-hidup menyaksikan adegan panas itu. “Kau!”

“Kenapa? Cemburu?” tanya Hazel.

“Cemburu?” balas Rachel seolah tidak percaya dengan pendengarannya. Itu hal yang tidak masuk akal yang pernah dia dengar. Buat apa juga cemburu?

“Ya, cemburu. Kalau nggak, kenapa bertingkah seperti itu?”

“Aku nggak cemburu!”

Rachel bangkit, hendak meninggalkan ruangan, tapi langkahnya tertahan ketika mendengar ucapan Hazel. “Kamu nggak akan bisa dapetin semuanya sekaligus. Jika menginginkan singa, kamu harus siap-siap kehilangan gajah dan garuda. Perempuan ditakdirkan hanya memiliki satu laki-laki dalam hidupnya, kecuali kamu terlahir sebagai cowok.”

“Aku sebagai laki-laki pun hanya menginginkan satu perempuan dalam hidupku,” timpal Mahar sungguh-sungguh.

“Apa maksud kalian?” tanya Rachel membalikkan tubuh dengan cepat. “Jadi kalian berpikiran kalau gue pengirim ucapan itu? Mustahil! Gue tahu pengirimnya, tapi jangan harap gue akan kasih tahu. Soal cemburu, gue udah punya Jason, bukan … Lionel. Cum, pas lihat itu, gue ngerasa ada yang salah. Seakan kalian nuduh gue pengirim surat sialan itu! Dan kalian berpikiran kalo gue serakah, menginginkan tiga cowok sekaligus?” Rachel berlalu meninggalkan ruangan.

“Kenapa kamu tahu kalau bibirku lembut dan hangat? Bukankah tadi kita nggak benar-benar ciuman?” tanya Mahar dengan menaikkan sebelah alisnya ketika Rachel sudah menjauh. Dia kembali membayangkan adegan tadi, sebenarnya Hazel hanya mendekatkan wajahnya, sehingga mereka terlihat seperti berciuman.

“Sebenarnya, aku pernah,” ucap Hazel terputus sambil menurunkan pandangan. Sepertinya dia tidak berani menatap langsung mata Mahar. Cewek itu mulai gugup. Berbeda dengan sikapnya yang berani tadi.

“Kapan? Aku nggak ingat.”

“Waktu itu Kakak tertidur di sofa, kemudian aku ….”

“Jadi, kamu?”

“Maaf, aku hanya penasaran seperti apa rasanya. Aku sering lihat di drama. Jadi aku ingin mencobanya. Habisnya tidur Kakak waktu itu imut, sih, jadi aku langsung berpikiran ke situ. Jangan salahkan aku, salahkan diri Kakak sendiri yang tidur dengan wajah seperti itu.”

Mahar memasang wajah bingung, kemudian sebaris senyum samar mulai tampak. Dia tertawa seolah ada yang lucu. “Maksudnya, kamu jadiin aku kelinci percobaan?”

Hazel tersenyum.

Mahar menghentikan tawanya, memandang tajam ke arah Hazel. “Jangan pernah lakuin untuk yang kedua kalinya! Kamu tahu siapa yang aku suka, kan? Kamu akan terluka jika menyukaiku.”

Hazel menatap Mahar tanpa berkedip, lalu tersenyum. “Aku bukan orang yang gampang nyerah, kok, Kak Mahar.”

The Boy with the Hidden HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang