Bab 3: Dilema

760 29 12
                                    

Mulai hari ini kita pacaran!

“Hah?” Rachel mendongak, lalu menyesali apa yang sudah dilakukannya. Bisa-bisanya dia tidak melihat betul-betul wajah cowok yang menyatakan cinta padanya, malah langsung mengiyakan.

Bego! Apa yang gue pikirin sampai salah fokus gitu? Wajah Lionel dan Jason sangat jauh berbeda.

“Tapi Kakak salah orang. Aku ….”

“Aku nggak salah orang. Itu kamu. Bener, itu kamu. Jadi jangan beranggapan kalo aku salah orang lagi,” potong Lionel, tanpa mau mendengarkan ucapan Rachel.

“Aku sebenarnya ....” Rachel enggan melihat wajah Lionel.

“Nggak ada tapi-tapian. Kamu udah menerimaku. Jadi jangan harap lepas dariku sebelum aku yang melepaskanmu. Paham?”

Rachel hanya menelan ludah. Kata-kata Lionel terdengar menakutkan. Bisa-bisanya dia terjebak dengan cowok itu. Ini gara-gara Rachel kebelet mau ke toilet sambil memikirkan Jason yang sedang bersama cewek kelas sebelah. Padahal selama ini dia lebih dari siap menjadi cewek Jason. Saking tidak tahan, ditambah perasaan tumpang tindih, tanpa sadar tangannya ditarik seseorang ke pojok dekat tangga. Rachel langsung mengiyakan pernyataan itu. Dia kira Jason, ternyata Lionel Davin, wakil ketua OSIS yang terkenal karena kepintaran, ketampanan, dan keangkuhannya.

Sekarang status Rachel resmi menjadi pacar Lionel. Apakah sebuah kesalahan, keberuntungan, atau keberkahan menjadi pacar Lionel? Dia tidak tahu. Yang dia tahu, Lionel idola cewek di sekolah. Si Gunung Es yang sulit ditaklukkan dan tidak pernah menunjukkan emosi.

Hari itu, ketika jam pelajaran usai, Rachel langsung pulang. Dia tidak mau jadi bahan wawancara teman-temannya. Lebih baik menyingkir dari sekolah secepatnya. Sampai di rumah, dia melemparkan sepatunya sembarangan, lalu menuju ruang keluarga. Kedua orang tua dan adik satu-satunya masih belum pulang. Dia berjalan ke sofa dan mengempaskan tubuh. Membuat sofa berderit hebat karena mendapat entakan tiba-tiba.

“Apa yang harus gue lakuin? Cewek-cewek di sekolah pasti bakal nyiksa gue karena merebut idola mereka.” Rachel melemparkan tas sembarangan dan mengacak-acak rambutnya. Besok dia akan menjadi cewek paling banyak musuh di sekolah. Itu sudah pasti. Dia tidak yakin bisa pulang hidup-hidup atau dengan keadaan tubuh utuh. Dia sering menyaksikan bagaimana mengerikannya cewek-cewek kelas dua belas.

“Kenapa harus Lionel, bukan Jason? Kenapa juga bilangnya pas gue lagi nggak konsen? Dia yang bego, apa gue, sih?”

Tiba-tiba ponsel Rachel berbunyi. Ada pesan dari teman sekelasnya: Rachel, lo harus buka Instagram sekarang juga!

Rachel segera membuka Instagram lalu terkejut saat melihat foto Lionel dan dirinya terpampang dengan jelas.

Rachel membaca kata-kata yang tertulis di posting-an itu: Gunung es yang selama ini tidak terjamah, tinggi, dan angkuh, akhirnya mencair diterpa cahaya lilin yang lemah.

Setelah itu, Rachel melihat kolom komentar yang sudah ratusan. Padahal baru diunggah beberapa menit lalu, tapi sudah menjadi trending topic di sekolah.

Selama beberapa menit, Rachel membaca komentar di sana. Berbagai tanggapan datang hampir bersamaan. Ada yang marah, mengancam, histeris, kecewa, dan berbagai reaksi lain. Intinya, tidak ada yang melegakan. Rachel men-scrool hingga bawah, dan jantungnya terasa berhenti berdetak. Komentar dua paling bawah ada nama Lionel. Rachel segera membacanya.

Ingat! Apabila kalian mengusiknya, merasa nggak nyaman atau terganggu, kalian akan berhadapan denganku. Aku nggak akan pernah memaafkan siapa pun jika terbukti menyentuh seujung rambutnya saja.

Rachel histeris sambil mengacak-acak rambutnya, karena tepat di bawah komentar Lionel, ada komentar Jason. Rachel segera membaca dua kata yang ditulis cowok itu: Selamat, Rachel.

***

Mulai hari ini kita putus!

“Heh?” Rachel membeku hampir semenit penuh sebelum menggerakkan kepala. Garis-garis wajahnya ditarik sedemikian rupa, sehingga menampilkan ekspresi tidak percaya. Sementara wajah Jason terlihat tidak menunjukkan apa pun, masih memesona seperti biasa: mata sipit, alis hitam lebat di atas kulit putih, dan senyum menawan.

“Jangan bercanda, deh. Nggak lucu, tahu!” Rachel memandang Jason serius. Mengapa di siang bolong seperti ini, tidak ada petir, tidak ada hujan, Jason mengatakan hal menyeramkan?

Jason balas menatap Rachel dengan dingin. “Aku ingin mengakhiri hubungan kita hari ini. Jangan bertanya alasannya, karena aku hanya ingin berakhir. Ini yang terbaik, percayalah.”

“Tapi kenapa mendadak gini?” kata Rachel dengan napas tercekat. Dia menahan diri agar tidak menangis.

“Ini yang terbaik dan pilihan tepat untuk hubungan kita. Percayalah, aku tidak ingin menyakitimu. Aku melakukan ini karena peduli.”

“Kamu bilang cinta tapi mutusin? Apa itu disebut cinta? Apa itu yang dibilang nggak ingin nyakitin?”

Ketika Jason membuka mulut, Rachel kembali berkata, “Aku nggak ngerti sama jalan pikiranmu. Selama ini, kukira aku mengenalmu, tapi kenyataannya nggak. Aku cuma pura-pura tahu, sedangkan kamu manfaatin itu dengan pura-pura mencintaiku.”

“Bukan begitu, Rachel. Dengarkan aku dulu sebelum ….” Jason berusaha membela diri, tapi Rachel telanjur kalap untuk mendengar pembelaan apa pun.

“Kenapa kamu lakuin ini? Apa kamu punya hati? Apa kamu Jason yang kukenal?” Rachel kembali memburu Jason dengan segerombolan pertanyaan, membuat remaja yang duduk di kelas sepuluh itu gelagapan, tidak tahu harus menjawab mana terlebih dahulu.

Jason menarik pergelangan tangan Rachel. “Tidak bisakah kamu dengar ucapanku sampai selesai sebelum menyimpulkan?” geramnya.

“Aku nggak peduli! Aku benci! Aku benci wajahmu yang seperti malaikat tapi berhati iblis! Aku benci semua yang ada padamu, Jason!”

Jason menghela napas, alisnya bertaut, mulutnya terkatup rapat. “Rachel, dengarkan aku!”

Rachel menatap cowok itu dengan wajah terluka, kecewa, dan tidak percaya. “Jason, kamu tega bentak aku begitu?” bisiknya dengan mulut bergetar, lalu menangis.

Jason kembali menghela napas. Posisinya benar-benar terjepit dan tidak mengenakkan. Apa pun yang dilakukannya pasti salah. Jason tahu, dalam keadaan seperti ini, Rachel tidak bisa diajak bicara dengan kepala dingin.

Akhirnya Jason hanya membiarkan Rachel menangis sambil mengusap-usap puncak kepala cewek itu, membiarkannya menumpahkan segala emosi.

“Rachel, jangan menangis lagi, aku mohon,” pinta Jason sambil mengusap air mata di wajah cewek itu. “Aku tidak ingin kamu seperti ini. Jika kamu menangis, hatiku terasa sakit. Kamu tahu kan bagaimana aku selama ini?”

“Kalo kamu nggak lakuin dan bilang kayak tadi, aku akan berhenti nangis.”

Jason menatap Rachel dengan wajah bimbang. Dia harus melakukan ini meski menghancurkan semuanya. “Aku benar-benar tidak bisa. Maaf harus mengatakan ini. Aku harus pergi.” Jason menyentuh wajah Rachel untuk terakhir kali. Dia pun berlalu dengan segenap kenangan dan cinta yang akan selalu tumbuh di hatinya.

Tiba-tiba Jason hampir terjungkal ketika kepalanya dihantam cukup keras. Dia membalikkan tubuh dengan cepat. “Kenapa kamu selalu melakukan itu? Kenapa kamu selalu memukul kepalaku dengan tas?”

“Aku nggak peduli! Aku bener-bener nggak peduli!” ucap Rachel sambil memegang tas sekolah hijau mudanya itu. “Aku benci segala tentangmu! Pergi aja sana! Pergi jauh-jauh! Nggak usah kembali!”

Sejak kejadian itu, hubungan Jason dan Rachel benar-benar berakhir. Tiap kali Jason berusaha menemui Rachel, cewek itu bersikap anarkis dan kejam. Pernah Jason dilempar sepatu, disemprot merica, atau diteriaki maling dan cabul. Namun, Jason pantang menyerah, dia akan membuat Rachel mengerti dengan pilihannya. Dia akan membuat Rachel menerima keputusan ini tanpa memusuhinya. Sudah cukup sulit tanpa ada Rachel di sisinya, ditambah rasa benci, mungkin bisa membuatnya gila.

Hari itu hujan turun lebat. Rachel baru saja selesai rapat PMR di sekolah ketika melihat Jason berdiri di depan kelasnya. Rachel menatap Jason sekilas, lalu masuk kelas tanpa melirik cowok itu, seolah mereka tidak saling kenal. Mereka sama-sama tahu kalau hari itu tepat tiga bulan hubungan mereka kandas.

Jason mengikuti Rachel ke kelas yang sudah sepi. Rachel berusaha mengabaikan Jason dengan pura-pura mengambil botol minuman di tas. Jason berhenti di depan kelas sebentar, lalu mulai berjalan ke arah Rachel.

Setelah Jason sampai di hadapan Rachel, dia langsung menyambar lengan cewek itu. Jason yakin, Rachel pasti akan melemparkan botol itu padanya kalau tidak cepat dicegah.

Jason berkata pelan, “Besok aku akan pergi dan tidak tahu kapan kembali. Aku ikut Papa ke Thailand atas permintaan Nenek. Ini yang ingin kukatakan tiga bulan lalu tapi baru tersampaikan sekarang.”

Botol minuman yang dipegang Rachel jatuh, tutupnya terbuka, dan airnya tumpah. Rachel membalikkan tubuh, menatap Jason terluka. Sebenarnya, dia masih menginginkan Jason. Meski selama tiga bulan ini dia bersikap jahat, itu semata-mata karena dia hanya merasa kecewa dan ingin membalas Jason sebelum benar-benar memaafkannya. Dia tahu, Jason pasti akan memaafkan apa pun yang dia lakukan terhadapnya.

Rachel benar-benar kehilangan Jason, kehilangan yang sesungguhnya.Walau hubungan mereka berakhir, Rachel masih bisa melihat Jason, bertemu setiap hari, menyiksanya, atau melakukan hal menyenangkan. Semua itu masih bisa dia terima meski tidak memiliki status pacaran lagi. Namun, ketika Jason pergi jauh dan tidak tahu akan kembali, semua terasa benar-benar berakhir.

Rachel menyadari Jason memang mencintainya. Jason memutuskan hubungan agar tidak begitu kehilangan saat mereka berpisah. Hanya saja, saat hari itu tiba, sakitnya masih tetap sama. Malah lebih menyakitkan karena tidak menghabiskan waktu yang tersisa.

Itu kejadian dua tahun silam, ketika Jason benar-benar pergi dari hidupnya.

Hari ini, ketika gerimis diam-diam membasahi jendela, wali kelas masuk bersama murid baru.

Mata Rachel tidak berkedip memandang murid baru tersebut. Meski wajahnya sedikit berubah menuju garis-garis kedewasaan, tapi bagaimana mungkin dia lupa dengan senyuman, mata, bibir, cara berjalan, suara, dan semua yang ada pada cowok itu?

Ketika guru mempersilakan anak baru itu duduk di sebelahnya, Rachel masih tidak tahu harus melakukan apa. Bagaimana bisa Jason yang satu tahun di atasnya tiba-tiba sekarang menjadi kelas sepuluh? Bagaimana bisa Jason datang begitu saja dan duduk di sebelahnya? Begitu banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban.

Namun Rachel diam, takut membuka suara. Dia hanya menatap dan memperhatikan Jason, hingga cowok itu berkata dan tersenyum. Senyum yang hanya Jason perlihatkan kepada Rachel.

“Sampai kapan kamu akan seperti itu, Rachel? Tidak rindu memukul kepalaku lagi?”

The Boy with the Hidden HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang