CHAPTURE 6

14 1 0
                                    

Alice

Pagi ini aku masuk ke mobil fiat uno lamaku, memutarnya dengan mudah dan mundur dari jalan masuk. Memutuskan bahwa sepulang bekerja aku akan ke Bristol, menemui Earth. Melalui Kate Morice tetangga lamaku, dia telah memberiku alamat sekolahnya, Westbury elementary school. Mengajaknya duduk di sebuah kedai es krim sepertinya akan menjadi ide yang bagus. Aku membayangkan wajah cantiknya sekarang, dan begitu yakin bahwa gadis kecilku akan senang berjumpa dengan ibunya.

Di parkiran Maitre, aku memarkir mobilku diantara mobil Volvo dan mercedes maybach mewah. Dan aku merasa mobilku jadi tampak berkarat, sangat tidak cocok. Aku memutar mataku dan menyesuaikan kaca spion untuk menyisir bulu mataku dengan tabung maskara kecil dan percaya diri bahwa aku telah memakai celana jeans terbaikku dengan sweater rajut biru. Aku tidak perlu repot-repot mengunci mobil, karena tidak dalam bahaya untuk sebuah mobil tua dicuri disini.

Aku membuka pintu Maitre dan melangkah masuk. Mr. Blaire dengan memakai celemek dan sepasang kacamata berbingkai kawat memberiku senyum yang erat, aku menganggukkan kepala padanya.

"Ulasan dari seorang blogger bagai mimpi buruk, Al", keluhnya, "toko Maitre tidak ada bedanya dari sebuah tempat pemakaman"

Aku menghela napas.

"tapi eclairmu adalah yang terbaik di Cardiff, sir", kataku membesarkan hatinya. "atau dia hanya salah satu pesaingmu yang sengaja ingin menjatuhkanmu."

Tuan Blaire mengangguk. Dia tak membantah, ketika ia berputar kembali dan mulai berjalan menuju dapur, ke tempat para koki tetap memproduksi beberapa loyang sponge cake lembut yang diberi topping rasa tahilla vanilla dan pecan. Aku membawa satu tray penuh kreasi makanan yang dikemas cantik dan mulai menatanya di gerai meja. Kemudian entah sebab apa aku melihat keatas, dan mulutku kering.

Oh. My.

Prince Carlton? Apa yang dia lakukan disini? dengan setelan jas biru rumah mode dari Italia, Brioni, kemeja putih berdasi abu-abu dan sepatu hitam mengkilat. Aku pikir mulutku melongo ketika melihat Carlton masuk diikuti oleh lelaki dengan setelan jas dengan kerah terbuka dan mantel kulit selutut, rambut pirang dan mata gelap membara.

Tanganku mulai bergetar panik mengikuti irama jantungku, dan menjatuhkan nampan penuh makanan ketika aku benar-benar syok melihat Carl berdiri di hadapanku berpenampilan seperti seorang predator yang seksi. Dia tidak hanya tampan, dia adalah lambang keindahan pria, dan dia ada disini bersama temannya yang saat ini sedang menyeringai padaku.

Sialan besar.

Aku dan kedua tanganku yang ceroboh! Sekarang aku dalam posisi berjongkok, dan dengan cemas saat jari-jariku meraba lantai untuk mengambil kembali makanan yang jatuh di depanku, dan tangan yang panjang dan terawat membantuku untuk memungut. Aku sangat malu, sialan pada ketololanku.

Ketika aku mengumpulkan keberanian untuk melihat dia, dia memperhatikanku, tampak agak tertarik, tapi secara keseluruhan sopan. Aku pikir dia geli, mungkin coba menahan senyum, atau merasa kasihan , aku tidak tahu yang mana.

Tangan yang lembut menempatkan tanganku untuk berdiri, ketika jari kami bersentuhan, aku merasakan listrik statis menjalar melaluiku. Aku menarik tanganku buru-buru. Pasti gairah. Aku berkedip cepat, kelopak mataku menyesuaikan dengan detak jantungku.

"Maaf", aku tergagap, dan berkonsentrasi dengan keras untuk berdiri diatas kakiku yang tiba-tiba seperti jelly. Ajaibnya aku berhasil membawa nampan yang aku taruh diatas gerai meja. Aku senang aku memutuskan memakai jeans terbaikku pagi ini.

"Kejutan yang menyenangkan, Alice", suaranya hangat dan serak seperti karamel coklat.

Aku meragukan hanya suatu kebetulan dia ada disini, "Mengapa kamu disini?", bisikku, karena hanya itu yang aku dapat keluarkan.

TOXIC RELATIONSHIPWhere stories live. Discover now