"Tidakkkkkk !!!"
Geraman frustasi terdengar dari arah ruangan dilantai dua. Pemilik ruangan itu terus saja mengumbar sumpah serapah ribuan kali. Disana, dalam Ruangan yang sederhana di desain dengan apik, warna dinding perpaduan coklat dan abu-abu memberi kesan teduh. Namun tata ruangannya begitu buruk. Sebab ruangan itu dipenuhi beberapa barang yang teronggok tidak elegan dilantai kamar. Belum benda-benda rusak yang berceceran dipenjuru ruangan. Kapal pecah bukan sesuatu yang tepat untuk menggambarkan ruangan bernuansa manis ini. Sebab kekacauannya diluar dugaan.
Sang pemilik ruangan adalah remaja labil bersurai Hitam legam seleher. Gadis yang mengamuk sejak pagi buta, gadis yang tak mampu mengontrol emosinya. Dan saat ini dia terus mengusir pria tua yang tak henti meminta belas kasihnya.
"Aku mohon tenanglah dulu. Dengarkan penjelasan Ayah !"
Pria setengah baya itu memohon dengan sikap siaga. Takut bila terkena lemparan barang putri kedua untuk kesekian kalinya. Sebagai seorang perempuan perangainya memang tidak terlalu mencerminkan, sang ayah terlalu mengenal si putri bungsu.
Amukan ini semua memang atas dasar kesalahan keputusannya yang sepihak untuk mengganti calon mempelai dalam sebuah pernikahan. Pernikahan atas dalih balas budi kepada sang penolong. Awalnya memang bukan si gadis yang menjadi calon mempelai wanitanya, melainkan sang sulung. Namun ketika semua hal telah dipersiapkan sang kakak kabur bersama kekasihnya entah kemana. Hal inilah yang membuat si bungsu harus menelan pil pahit atas perbuatan kakaknya dengan menggantikan posisi perempuan yang lebih tua tiga tahun darinya tersebut. Namun tentu saja si adik menolak mentah-mentah dan mengamuk. Ya, kenyataan yang luar biasa tak terduga.
"Ayah mohon, Peony. Undangan sudah disebar. Semua persiapan sudah selesai. Besok adalah hari H. Ayah tidak tahu harus bagaimana lagi, ayah tidak mau menanggung malu"
Bukan sebuah anggukan yang didapat pria malang itu dari Peony. Namun justru sebuah sepatu keds yang menimpa kepalanya, Pria yang tak sigap itupun langsung terjembab dan pingsan karena kepalanya terbentur lantai.
***
Ruangan putih berbau khas, jangan lupakan si putri bungsu yang turut ada disana. Menunggui sadarnya sang ayah atas perbuatan tidak terpujinya. Iris mata Aquanya memandang sayu. Jelas ada rasa bersalah yang terus membuatnya kian terbebani. Dia tak mau kehilangan untuk yang kedua kali. Jemari lentiknya terus menggenggam kedua tangan sang ayah. Menyalurkan kehangatan dari kulit ke kulit.
"Pe-ony ?"
Suaranya memang lihir namun melihat sang ayah sadar itu adalah sebuah anugrah sendiri. Bahkan Peony tak sadar bila pendengarannya menajam berkali lipat.
"Ayah, syukurlah"
Ada setitik air mata yang hendak menetes namun berusaha gadis itu paksakan agar tak membasahi pipinya.
"Peony maafkan ayah, Ayah terlalu memaksamu. Mungkin besok ayah akan menanggung semua rasa malu sendirian. Ayah sangat malang hidup didunia ini. Seandainya ada malaikat yang mau menolong ayah dari segala kemelut hidup. Ayah pasti akan bersyukur"
Sebenarnya Peony sudah tahu bila Ayahnya sedang berusaha membangun sebuah drama picisan untuk membuatnya terharu. Namun Peony tak mungkin sebodoh itu untuk termakan siasat laki-laki tua itu.
"Aku setuju"
Seolah tak memiliki luka dikepalanya, pria itu terlonjak dari pembaringan dan melotot kearah putri keduanya.
"Kau bilang setuju ?"
Sejak kapan ayah idiotnya berubah tuli ? Apa gara-gara kepalanya terbentur lantai ?
"Ck, kenapa aku harus mengulang kalimat itu ? Atau ayah lebih suka jika aku tarik kembali-"
"Eh, tidak ! Aku tahu jika kau adalah anak Ayah yang baik hati"
KAMU SEDANG MEMBACA
We are Marry but it's all only a Lies (The End)
RomanceMenikah untuk mengganti mempelai wanita yang kabur, dan parahnya lagi itu adalah kakaknya sendiri. Peony frustasi, tapi tak bisa berbuat apapun ketika dia harus menerima masa mudanya kandas oleh sang Suami yang tak lebih dari manusia patung Es. kehi...