Plak!
Air mataku menetes tanpa sepengetahuanku. Haruskah seperti ini lagi?
"Kamu bisa memberi solusi?! Hah! Kalau kamu bisa mencari jalan keluarnya kamu bisa lepas."
Lepas...
Serr... angin berhembus pelan menembus tirai putih bersih disampingku. Kurasakan hangatnya sinar matahari pagi yang bersinar melewati celah - celah jendela.
Kata yang aku mimpikan. Kata yang selalu ingin aku realisasikan. Untuk sebagian orang kata itu terlalu biasa bahkan tidak ada artinya. Bagaimana mereka bisa melangkahkan kaki mereka tanpa rasa khawatir, takut, ataupun cemas. Mungkin aku dapat keluar dari rumah ini, tapi seolah dileherku terikat seutas tali tipis yang akan menemani setiap langkahku, dan... aku akan tetap kembali ke tempat ini.
"I...bu." Lirihku hampir tak terdengar sembari memegang pipi kananku yang terasa perih. Rasa sakit yang diterima pipi ini tak sebanding dengan hatiku. Inilah kenyataannya. Aku harus selalu terbangun setiap hari untuk menerimanya.
"Kamu berhak memanggilku Ibu jika kamu bisa menggantikan posisiku untuk mencari nafkah!" dengan mata membola Ibu kembali meneriakiku. Telingaku sudah terbiasa dengan amarahnya dan bahkan tubuhku sudah biasa mendapat luka karena kemarahannya.
"Apa yang harus... aku lakukan?" perlahan suaraku melirih. Aku merasa kalimat itu keluar dari mulutku karena aku sudah putus asa menahannya. Mungkin ini akan menjadi yang terburuk. Dan aku paham akibatnya.
"Lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan!" Ibu berbalik menuju kamarnya.
Aku tertunduk. Kupegang kaki Ibu sambil menangis meraung - raung. "Aku mohon. Aku tidak ingin melakukannya. Aku mohon."
Ibu melirik sinis kearahku tanpa membalikkan badannya. Dia menendang tanpa menolehku.
Buk.
Kepalaku terantuk dorpel jendela. Darah segar mengalir dari keningku. Air mataku masih terus mengalir tanpa aku bisa menghentikannya. Perasaan dibuang yang selalu aku nikmati setiap saat. Perasaan yang begitu perih. Bahkan aku selalu takut untuk dibuang kembali.
Brak. Tes.
Ibu membanting pintu keras sekali, kulihat darah menetes didepanku. Kutatap nanar darah itu.
Kenapa setiap pagi aku harus merasakan sesaknya dadaku? Merasakan nafasku yang tersengal - sengal dan hampir ingin ku tahan selamanya. Aku memimpikan kisah bahagia seperti layaknya cerita yang selalu berakhir bahagia didalam dongeng yang selalu aku dengarkan ketika aku kecil. Tawa yang selalu terdengar dirumah ini seakan lenyap begitu saja seiring aku bertambah dewasa.
Kuusap darah didepanku dengan telapak tanganku. Aku berjalan menuju kamar mandi. Membersihkan diriku. Masih untung seragam putihku tidak terkena bercak darah. Didepan cermin kamar mandi aku melihat diriku sendiri. Dengan mata sembab dan kening yang memar. Setelah mencuci muka, aku menempelkan handsaplast pada keningku. Aku menata diriku. Aku mencoba tersenyum didepan cermin.
Tes.
Air mataku menetes lagi. Semakin deras mengalir. Aku terperosot ke lantai. Tangisanku semakin menjadi. Aku membenci diriku sendiri yang tiba - tiba menangis. Aku benci tangisanku. Aku benci diriku karena tumbuh dewasa. Aku benci...
~
Kakinya melangkah perlahan menuju sekolah, SMU Cendana. Dia memegang tali tas punggungnya yang menggantung didepan sambil memandang jauh kedepan. Pikirannya jauh melayang. Membayangkan semua kenangan manis yang silih berganti terputar dikepalanya. Senyum simpulnya terukir dibarengi setetes air matanya. Dia menunduk. Menutup kedua matanya. Menghela nafas panjang.