Pukul 16.00 WIB
Aku berdiri sambil mengacakkan pinggang di depan cermin. Jari telunjukku ku ketukkan di pinggang sambil terus berusaha melakukan sesuatu yang sangat ngetren saat ini.
Mengangkat alis sebelah.
Ini gara gara dio, tetangga sebelah rumahku yang sering sekali mengangkat sebelah alisnya saat aku mengajaknya berbicara. Dan juga karena cerita cerita yang aku baca di wattpad, saat pemeran cowok menatap cewek sambil mengangkat sebelah alisnya, pemeran cewek pasti selalu berfikir itu keren.
Yah, jadi kupikir ini lagi ngetren.
"Aby" nah itu Dio, dia memanggilku dari kamarnya.
"Hmm" aku bergumam tanpa minat sambil terus menatap pantulan diriku di cermin, terlihat gadis dengan rambut hitam legam dan mata bewarna coklat sedang mengangkat dagu dengan wajah dan bibir mengkerut sambil menggerak gerakkan alisnya. Ah, susah sekali.
"Woi by" suara Dio naik satu oktaf, kini lebih terdengar seperti seruan ibu ibu hamil.
"Abyana!" Panggilan terakhirnya membuatku berdecak lalu berjalan mencak mencak mendekati jendela.
"Ap----hhhaaa" bibirku tenganga saat menyadari dio sedang berdiri bertelanjang dada dan mengacak-ngacak rambut basahnya dengan handuk kecil.
"Anjir bang! Lo pakek baju dulu kek. Ternodai mata gue nih"
Dio sedikit terkejut, kemudian ia menyeringai menatapku. Tidak mau kalah, aku membalas tatapannya dengan sengit. Kemudian tawanya berderai sebentar dan dia menatapku lagi sambil tersenyum.
"Terpesona eh?" ucapnya, kemudian ia melanjutkan tawanya yang terdengar seperti tawa kakek lampir itu.
Secepat kilat pipiku bersemu merah karena malu, aku membalikkan badan namun tetap bertahan pada posisi ku di ambang jendela.
"Pake baju dulu !" Aku meneriakinya tanpa mau berbalik dan mengahadapkan pandangan padanya.
"Hahahahah, udah" jawabnya sambil terus tertawa. Aku membalikkan tubuhku lagi agar menghadap kearahnya dengan bibir yang terus manyun beberapa meter, eh kepanjangan?
Memang sih dia ganteng. Tapi tetep aja nyebelin, minta di nikahin dasar. Eh?
"Ntar malam jadi nginap sini?" Dio bertanya setelah tawanya yang seperti tawa kakek lampir itu berhenti. Sekali dalam dua minggu, aku selalu nginap di rumah Dio karena mama akan ke bandung untuk pekerjaan. Keluarga ku dan keluarga Dio sangat dekat, dan dio sudah seperti saudaraku. Iya, saudaraku.
"Nggak, mama jadinya pergi besok" jawabku datar.
"Besok gue udah berangkat...." ucapan Dio tertahan, dia seperti menantikan respon dariku.
Aku mengernyit kemudian menatapnya heran sambil berusaha mengangkat sebelah alisku, semoga saja hasil latihanku tadi tidak sia-sia.
"HAHAHAHAHAHAHAHAHA" Dio malah tertawa melihat reaksi ku.
Sial.
Aku mengerucutkan bibir sebal, kemudian menatapnya datar lagi. Kewibawaanku harus kembali.
Tawa Dio terhenti kemudian di tariknya nafas kuat dan di lepaskannya dengan pelan, dia melakukan itu berulang ulang selama tiga kali. Dia mau lahiran?
"Ke Jerman" sambung Dio, kini wajanya juga ikutan datar, mendengar ucapannya serasa secuil dari hatiku tercubit. Umurku dan Dio berjarak satu tahun, sekarang dia sudah akan kuliah, katanya kedokteran di Jerman. Dan besok adalah hari keberangkatannya. Semenyebal apapun Dio, dia sudah seperti abang kandung ku sendiri, apalagi aku adalah anak tunggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denisha Iris Abyana
Teen Fictionsemua orang memang akan pergi, tapi kamu malah pergi disaat aku kira semuanya baik baik saja. kamu malah pergi, dan dari jarak yang jauh kamu merusak semuanya.