4- Day One

202 15 6
                                    

Aku membuka mataku, rasa pusing menyerang kepalaku. Ah, sial. Ini pasti gara-gara aku kurang tidur. Siapa yang tidak capek jika setiap hari hanya tidur dua jam, kecuali lelaki itu. Semua karena dia yang begitu gila untuk mengajakku berlatih setiap hari.

Lelaki itu memang penuh ambisi, jadi aku mendebatnya pun akan percuma. Toh, mendebatnya justru akan membuat nyawaku di ujung tanduk. Tok! Tok! Oh God, baru saja dipikirkan, orangnya sudah muncul. Tak perlu aku membukakan pintu, dia pasti akan membukanya terlebih dahulu.

Sosok lelaki dengan pakaian serba hitam muncul dibalik pintuku. Wajahnya memang tampan, kelewat tampan. Matanya menatapku dengan tatapan lembut serta seringainya. Kuakui dia cukup sempurna, tapi tetap saja aku tidak mau berdekat-dekatan dengannya.

"Wow princess, kamu sudah bangun?" tanyanya dengan nada mengejek. Cih.

"Retoris sekali," balasku singkat.

"Aghna! Lihatlah! Kamu masih memakai pakaian tidur lengkap dan belum mandi, kamu gadis macam apa sih? Malas sekali," tegurnya. Kini posisiku dan Jasiel hanya beberapa centi, mata kami saling menatap tajam.

Aku mendengus sebal, aku mengarahkan pisau di tanganku ke lehernya. Aku belajar cukup banyak darinya untuk mengancam partnernya sendiri. Meskipun, aku tahu dia akan memutar pergelangan tanganku dan balik mengancamku.

"Sudahlah, hentikan. Tanganku sakit," protesku seraya menarik tanganku yang dicengkeramnya. "Kamu mau kita kalah? Hentikan."

"Kamu yang memulainya," bisiknya tajam. Aku memegangi pergelanganku yang terasa sakit akibat cengkeraman Jasiel. "Cepatlah mandi. Aku menunggumu di depan kamarmu, kita akan berlatih sebelum duel nanti."

"Tak bisakah kita berhenti berlatih? Ini membuatku bosan, melakukan gerakan yang sama berulang kali," gumamku pelan.

"Jangan banyak protes!" brak!

Aish, memang susah berurusan dengan lelaki itu. Aku segera mandi, aku tidak akan membuang-buang waktu saat di dekat lelaki itu. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya jika dia sudah bosan, bisa saja dia mendobrak pintu kamar mandi dan menyuruhku cepat.

Hal itu pernah amper terjadi. Untung saja, waktu itu aku sudah selesai berpakaian.

Aku mengikat rambutku tanpa menyisakan sehelai rambut. Sempurna.

"Kau sudah selesai?" aku nyaris memekik, gila. Sejak kapan lelaki itu berada di kamarku? Sudahlah.

***

Pandangan semua orang kini hanya tertuju pada satu objek, siapa lagi jika bukan Senate. Dia tengah berpidato tentang visi misi akademi ini dan menjelaskan semua aturan dalam duel kali ini. Pria itu tampak sangat bersemangat mengingat rambutnya yang sudah beruban.

Berbicara tentang Senate, ini mengingatkanku tentang kejadian waktu itu. Yah, kata-kata aneh yang diucapkan Senate masih membuatku penasaran setengah mati. Aku sudah berusaha mengabaikannya, tapi gagal, rasa penasaranku jauh lebih tinggi.

"Hey! Aku bosan," bisik Jasiel tepat di daun telingaku membuat telingaku sedikit geli. Aku melirik Jasiel yang tampak bosan dengan pidato panjang lebar dari Senate.

"Kamu bosan? Kalau begitu kamu bisa menyuruh Senate untuk berhenti bicara dan mempercepat duel." Aku menantangnya. Aku yakin dia tidak akan berani melakukan hal sekonyol itu.

"Senate, bisakah kau berhenti bicara dan memulai duel ini?" mataku membulat sempurna begitu mendengar kata-kata yang baru saja terucap di bibir Jasiel. Bodoh sekali.

Semua orang di ruangan ini sudah mengalihkan pandangan pada Jasiel. Bahkan, Senate sudah berhenti berbicara dan menatap tajam jasiel.

Aku melirik tajam Jasiel, dia tampaknya tidak mempedulikan lirikanku. "Kamu yang menyuruhku," bisik Jasiel sangat pelan.

Terserah kau, Jasiel.

"Wah! Wah!" Suara tepuk tangan dari Senate menggema di ruangan ini. Firasatku mengatakan ini bukan sesuatu yang baik, termasuk padaku. "Tampaknya, Jasiel Oz begitu bersemangat ya? Bagaimana sesuai usul Jasiel, kita mulai duel ini sekarang. Dan kalian, Jasiel Oz dan Aghna Valerie silahkan memulainya. Kalian akan melawan..."

Senate menggantungkan kalimatnya dan membuat semua orang menanti dengan cemas. Dan sesuai dugaanku, ini buruk. Aku harus memulai pertandingan ini. Bukan, aku bukan takut kalah. Hanya saja, aku hanya ingin memperhatikan gerakan lawan-lawanku terlebih dahulu.

"Johan Andrean dan Daniel Jeco."

Mereka? Tidak terlalu susah untuk permulaan.

"Mengapa mudah sekali?" kata Jasiel pelan namun jelas di telingaku.

"Jangan sombong. Tahu-tahu saja kau mati saat melawan mereka," ejekku. Meskipun dalam hati aku menyetujui kata-kata Jasiel jika lawanku begitu mudah.

Aku dan Jasiel menaiki arena diikuti dengan kedua lawan kita. Pandanganku sempat beralih pada Jasiel dan kutemukan tatapan mengejek darinya. Jasiel benar-benar meremehkan kedua orang itu. Sedangkan, kedua orang itu sudah memasang kuda-kuda.

Aku mengeluarkan belatiku dan memasang kuda-kuda.

"SENATE! Kau sedang mengejekku? Apakah ini lelucon? Mereka? Mereka lawanku? Apakah tidak ada yang lebih sulit?!"

Aku tercekat mendengar kata-kata Jasiel barusan. Dia benar-benar gila. Dia mengatakan hal itu di ruangan ini dengan lantang, tanpa basa-basi. Kulihat dua orang di hadapanku tampak kesal dengan kata-kata Jasiel. Yah, siapa yang tidak kesal?

Aku mengalihkan pandangan pada Senate yang hanya menggeleng kepala menanggapi Jasiel, juga sebuah senyum simpul yang entah apa artinya.

Brak! Aku terpelanting. Sial. Mereka curang, belum ada aba-aba tapi mereka sudah menyerang. Lelaki berambut pirang berdiri di hadapanku, Johan Andrean. Seringainya tampak mengejekku. Wow, dia mengejekku? Lucu.

Aku melirik Jasiel yang juga terpelanting tidak jauh dariku. Lawannya sudah siap dengan tongkat panjang yang dibawanya sedari tadi.

"Aku akan melakukannya dengan lembut, Aghna." Suara Johan menggema di telingaku. Euh, itu menjijikan. Lelaki ini jauh lebih menjijikan dibanding Jasiel.

Aku bangun dengan cepat. "Tak perlu lembut denganku, Johan."

Bugh! Aku menendang wajahnya dan membuatnya terpelanting. Sudah kubilangkan, jangan lembut denganku. Entah sejak kapan, Jasiel sudah ada di sampingku.

"Well, lawan kita sangat tidak sabaran," candanya yang sama sekali tidak lucu.

Johan dan Daniel ada di hadapan kami dengan tatapan marah, terutama Daniel. Apa yang dilakukan Jasiel sampai berhasil membuat Daniel berapi-api?

"Kau tahu? Daniel sangat marah padaku, karena tongkatnya kupatahkan," bisik Jasiel pelan. Pantas saja. Bukan Jasiel namanya, kalau tidak membuat orang kesal.

"Wow," pujiku.

"Hey! Ada apa dengan wajahmu, Dan? Kau rindu tongkatmu? Atau kau mau memakai tongkat yang sudah terbagi menjadi dua itu?" ledek Jasiel disertai suara tawanya yang menggelegar di ruangan ini. Daniel tampak makin emosi dengan ledekan Jasiel yang tampaknya begitu menyindirnya.

"Daniel, kau yakin aku harus melawan Aghna? Hey! Aku tidak tega jika harus melakukan hal kasar pada perempuan," ucap Johan dengan nada mengejek. Dia meremehkanku? Bukankah sudah kubilang jangan bermain lembut denganku. "Aghna, tenang saja. Aku tidak akan terlalu kasar padamu."

Aku dan Jasiel memasang kuda-kuda dan siap melawan dua orang yang tampaknya sudah berani mati melawan kami. Terutama Johan yang sudah secara terang-terangan menghinaku.

Aku menendang Johan, Jasiel menonjok Daniel. Aku menghajar Johan, tanpa memberinya waktu untuk menyerangku balik. Lihat saja, dia tampak kewalahan menangkis seranganku.

Tanganku memutar tangan Johan ke belakang dan mengunci gerakannya. Kuarahkan belatiku tepat di lehernya, tepat di dekat nadinya.

"Kau bilang jangan terlalu kasar?" bisikku dari belakang. "Kau bahkan belum menyerangku. Ah, atau kau sengaja tidak mau menyerangku?"

Mortem Clone (Aghna Valerie)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang