CHAPTER 1

1K 9 0
                                        

Mentari bersinar terik siang ini, menyelimuti hampir setiap sudut kota London. Musim panas. Minggu ketiga di bulan Juni. Perkiraan cuaca pada salah satu televisi lokal menyiarkan, suhu mencapai tiga puluh empat derajat celcius. Tak heran jika panasnya sedemikian menyengat. Sebagian warga kota lebih memilih berlindung di dalam rumah nyaman mereka, demi menghindar dari sengatan matahari yang membakar. Sebagian lagi yang masih di sibukkan oleh aktivitas bekerja lebih memilih berlindung di dalam gedung ber AC. Tidak terkecuali, pengacara cantik berdarah Italia, Aleta. Bunyi ketukan ankle boot-nya terdengar seperti irama, beradu dengan lantai di halaman parkir gedung pengadilan tinggi Langkahnya bergegas, mengabaikan beban tumpukan berkas di salah satu lengannya. Bersemangat walau panas sedemikian menyengat. Puas karena hari ini pekerjaannya selesai lebih cepat. Sebuah kasus tentang tindak kekerasan yang dilakukan seorang pria terhadap anak tirinya. Dia sebenarnya puas pria itu mendapatkan hukuman yang setimpal. Akhirnya kini dia bisa melarikan diri dari pekerjaan kantornya. Pulang dan memanjakan diri, seperti rencananya. Mungkin berendam lebih lama untuk mendinginkan tubuh. Menghalau segala kepenatan yang meremukkan tubuhnya beberapa hari belakangan ini. Aleta menyelipkan dirinya dengan cepat di belakang kemudi, membawa Citroen Ds3 nya menuju rumah di pinggir kota yang telah Aleta huni bersama saudaranya dua tahun belakangan ini.Melintasi bangunan tinggi apartment mewah di pusat kota, tak ayal Aleta melirik dan membatin dengan iri pada mereka, yang berkantong tebal dan dengan mudahnya bisa mendapatkan semua fasilitas itu. Impian Aleta sendiri cukup sederhana, memiliki sebuah apartment sendiri yang berada tak jauh dari pusat kota, sehingga ia tak perlu berangkat lebih awal agar tidak terlambat masuk kantor atau merasa was-was ketika pulang terlalu larut. Sebagian waktunya benar-benar hanya habis untuk perjalanan saja. Aleta memasuki rumah berpagar tinggi di pinggir kota. Sebuah pos jaga dibangun disana, membantu kakaknya mengawasi rumah dan mengamankan dirinya. Iya, profesi kakaknya yang menuntut dirinya sendiri untuk membuat semua itu. Walaupun pada kenyataannya dia justru jarang berada di rumah. Tapi setidaknya Aleta merasa aman dengan adanya penjaga keamanan di gerbang depan rumah mereka Dia menggerai rambut coklat keemasan miliknya, membebaskan mereka dari belitan sanggul sederhana. Selanjutnya melepas sepatu, serta membuka kancing bajunya satu persatu. Kaki panjangnya terus melangkah menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian Aleta telah berada di dalam bathtub, di dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Menikmati serbuan air dingin yang menyegarkan seluruh panca inderanya. Dia memejamkan matanya penuh nikmat, gelembung sabun beraroma grape membantu merelaksasi dirinya. Jarinya mengusap dan memijat simpul tegang di tengkuk, bahu, lengan, kemudian bagian tubuhnya yang lain, sampai pada puncak bukitnya yang menegang karena sentuhan tangannya sendiri. Mengingat tubuhnya yang cukup lama tak tersentuh tangan pria, organ-organ intimnya seakan menjerit dahaga. Mereka semakin sensitif, hanya olehsentuhan- sentuhan ringan seperti itu membuat sel tubuhnya terjaga. Pria terakhir yang menyentuhnya adalah Gilbert, kekasihnya. Ya. Memang hanya Gilbert, pacar pertama dan terakhirnya. Walaupun mereka telah bersama semenjak kecil, karena keluarga Gilbert bekerja di perkebunan milik keluraga Aleta. Mereka sekolah bersama, ke gereja, bahkan bermain bersama. Aleta baru menyadari ketertarikan Gilbert kepadanya sebagai seorang pria dan wanita ketika Aleta lulus sekolah menengah pertama. Kemudian mereka resmi menjadi sepasang kekasih ketika Aleta berada di awal-awal semester di perguruan tinggi. Tak ada pria lain yang mengerti Aleta seperti Gilbert. Gilbert juga yang memperkenalkannya pada kehidupan seks dan cinta. Memikirkan hal itu, Aleta semakin merindukan belaian dan juga sentuhan pria itu di tubuhnya, walaupun pria itu telah menyakiti hatinya. Dia tetap tak dapat melupakan Gilbert dari ingatannya. Bertahun-tahun bersama, Aleta hampir yakin bahwa Gilbert adalah jodohnya. Pria yang akan menikah dan menghabiskan hari tua dengannya. Sampai akhirnya Aleta tahu, Gilbert mengkhianatinya. Mungkin mulai bosan atau karena menyadari jika perasaan cinta yang tumbuh di antara mereka berdua semakin berkembang ke arah yang berbeda. Wanita lain yang Gilbert temui mungkin lebih 'panas' dan membangkitkan hasrat pria itu. Terluka, Aleta memutuskan pergi dari kota kecil mereka untuk menghindar, sekaligus melupakan cintanya kepada pria itu. Jari Aleta terulur menyentuh celah di bagian dalam pahanya, tepat di daerah intinya, mengelus, memutar, berulang-ulang. Setiap simpul sarafnya seketika menegang, membuatnya mendesah menggelijang.Bayangan Gilbert muncul lagi, wajah tampan itu tiba-tiba menyeruak di antara buih sabun di bawah kakinya, tersenyum penuh hasrat kepada Aleta. Aleta memejamkan matanya lebih rapat, alisnya bahkan bertaut, mengernyit, membawa diri dan angannya mengembara pada setiap gambaran erotis yang ia miliki bersama Gilbert, saat menggapai titik klimaks yang dia harapkan. Detik berubah menit, kian panjang, dan miliknya mulai terasa kebas dan perih, Aleta segera menghentikan tangannya. Kesal. Kali inipun gagal, bahkan setelah mencoba hal itu, berpuluh-puluh kali, dia masih saja gagal. Bermasturbasi adalah bukan dirinya. Selalu merasa cabul dan malu, kemudian berakhir dengan menyerah. Dia keluar dari bak mandinya cepat-cepat. Pada saat bersamaan dering benda kecil menempel di dinding kamarnya mengalihkannya dari pikiran tentang hasrat dan pelepasan gairahnya. Aleta meraih gagang interkom, mendengarkan suara di ujung sana menyebutkan salam kepadanya. "Selamat sore Ms. Jovon, seseorang ingin bertemu dengan Anda." Kata petugas di gerbang depan. Aleta termenung sesaat, heran. Siapa yang mencarinya? Ia tidak memiliki terlalu banyak teman di kota ini. Sebagian hanya rekan seprofesi, dan hanya segelintir teman yang pernah mampir ke rumah ini. Aleta merasa lelah dan malas untuk bertemu siapapun. Dia menimbang apakah akan menemui tamu itu atau tidak. "Katakan untuk kembali besok siang, aku tidak ingin bertemu siapapun hari ini," jawabnya memutuskan. Sempat di dengarnya suara berat seorang pria di balik suara petugas tersebut. Menyela, dan mengumpat marah. Terdengar tamu tersebut memaksa ingin bertemu, dan lagi-lagi makian kasar dari pria tersebut ketika mendengar keputusan Aleta. Diletakkannya interkom ketempatnya semula, meraih handuk dan membungkus dirinya dengan cepat. Keingintahuannya pada tamu tak di undang di depan sana, membuatnya berpindah ke ruang disebelahnya, ruang monitor. Dia menekan beberapa tombol untuk menampakkan gambar kamera CCTV pos jaga di bagian depan gerbang rumah. Tampaknya kegaduhan telah mereda, sayangnya Aleta juga tak sempat melihat wajah pria itu. Sekilas bayangan seorang pria hadir, dalam setelan jas resmi biru tua, bahu lebar, tinggi dan tegap memasuki mobil mewah yang terparkir di depan gerbang. Sedetik kemudian mobil itu meluncur cukup cepat sebelum akhirnya menghilang dari pantauan kamera CCTV. Aleta mendesah, sedikit kecewa sekaligus bertanya-tanya siapa gerangan pria misterius tersebut. Menyesal seharusnya dia tadi menemuinya, tapi hari ini Aleta merasa benar-benar lelah, di tambah lagi kenangan akan Gilbert yang datang lagi mengusik hatinya, membuatnya merasa buruk. Luka hatinya terkoyak, sakit, mengingat lagi pengkhianatan Gilbert, membuatnya semakin membenci dan ingin melupakan pria itu dari pikirannya. Tapi sial, tubuhnya justru berkata sebaliknya, Aleta merindukan sentuhannya. Itu membuatnya kesal dan frustasi. Buruknya, Aleta adalah jenis wanita yang cenderung setia pada satu pasangan saja, sekaligus tipe wanita yang tidak mudah tertarik pada lawan jenis, atau dengan mudah dapat menjalani tawaran bersenang-senang banyak pria yang singgah padanya, cinta satu malam atau hubungan tanpa status yang jelas. Itu sangat bukan dirinya. Itu salah satu penyebab kesendiriannya hingga saat ini. Pikiran-pikiran itu terus saja memenuhi benak Aleta, membuat otaknya penat, hingga matanya semakin lelah dan perlahan mendorong batas kesadarannya ke alam mimpi. *** Riana belum kembali dari pekerjaannya di luar kota. Akhir pekan ini, sekali lagi, akan Aleta lalui seorang diri. Seperti biasa Aleta hanya akan menelpon ibunya di Tuscany, Italia, kegiatan rutinnya diakhir pekan. Kali ini ibunya mengeluh tentang sakit kaki, karena kelelahan, dan tekanan darahnya yang sedikit tinggi. Yang tak terlewatkan adalah, keluh kesah ibunya tentang perkebunan mereka, dan juga harapan ibunya agar salah satu anaknya mau meneruskan perkebunan anggur peninggalan keluarga mereka itu. Masalah-masalah yang sama, yang selalu menjadi topik pembahasan ibunya, dari waktu ke waktu. Jujur, itu mulai mengusik batin Aleta juga. Berharap nantinya ia akan menemukan jalan keluar terbaik bagi keluarga mereka.Siang ini suhu tidak lebih rendah dari hari kemarin. Bahkan mungkin lebih panas. Apakah panas mencapai hampir empat puluh derajat akan terjadi lagi di sebagian besar wilayah Inggris? Beberapa tahun yang lalu, cuaca ekstrim di musim panas seperti ini mengakibatkan badai panas, yang akhirnya merenggut beberapa korban jiwa. Semoga saja itu tidak terjadi tahun ini. Aleta membatin. Untunglah Aleta tidak berencana kemana-mana. Mengingat ini adalah hari minggu, ia telah menyetujui bertemu tamu misterius itu, hari ini. Jika memang pria itu benar-benar datang lagi. Dan tampaknya pria itu seorang yang selalu menepati janjinya. Terbukti di jam yang sama seperti sehari sebelumnya. Petugas di gerbang depan mengabarkan tentang keberadaan pria tersebut, yang masih bersikukuh ingin bertemu dengannya. Kemudian di sanalah pria itu dan juga saling memandang Tak dapat menghindar dari atmosfer yang begitu tegang di antara keduanya. "Saya Mackinnley Kenward. Paman dari Tristan Kenward." Ucap pria itu memperkenalkan diri. Membuat Aleta terpana, tidak hanya karena siapa pria itu sebenarnya, tapi juga pada penampilan pria tersebut. Pria dewasa, tinggi dan berotot, usia pertengahan tiga puluh, atau bahkan lebih. Menilik dari beberapa kerutan di sudut mata dan juga keningnya. Kaku dan juga arogan, bagaimana matanya menyipit memandang kepada Aleta, bahkan sudut bibirnya membentuk garis patah, mencemooh kepadanya. Hanya begitu saja, Aleta langsung terpancing emosi dan melakukan hal yang sama kepada lawan bicaranya, yang jelas-jelas sangat mengintimidasi dirinya, bahkan meremehkan Aleta, sedangkan mereka baru pertama kali bertemu. "Ada keperluan apa, sehingga anda datang menemui saya Mr Kenward?" Tanya Aleta sedikit mendongak, berusaha menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan pria di hadapannya tersebut. Aleta yang seratus tujuh puluh centi, namun masih harus mendongak ketika menatap pria tersebut. Itu sedikit tidak menguntungkan baginya. "Kurasa memang sebaiknya kita tak perlu berbasa-basi Ms. Riana Jovon. Aku sudah cukup muak mendengar sepak terjangmu di luar sana, jadi apa yang sebenarnya kau inginkan dari keponakannku, Tristan?" Tuduhnya tiba-tiba, dan tentu saja tanpa alasan yang jelas. Aleta sontak terkejut, sekaligus menyadari kekeliruan pria itu, yang menyangka Aleta adalah Riana saudarinya, sang model yang rupawan. Tapi tunggu dulu! Batin Aleta. Kenapa pria ini, yang katanya adalah Paman Tristan kekasih Riana, datang dan marah-marah mencari saudarinya. Adakah hal yang tidak Aleta ketahui pada Riana dan Tristan menyangkut hubungan mereka? "Jika bersikap barbar adalah kebiasaan Anda, saya mencoba memaklumi Mr. Kenward, walaupun itu terdengar kurang pantas bagi orang sekelas Anda." Sindir Aleta dingin. "Jadi tujuan utama Anda datang kemari adalah?" Aleta menunggu pria itu menyambung kalimatnya. Merasa puas pada reaksi yang ditimbulkan oleh kata-kata sindirannya. Mr. Kenward tampak semakin geram, namun menahan diri agar dapat mengontrol wibawa dan menjaga kata-katanya. "Memintamu menjauh dari kehidupan Tristan!" Tandasnya, singkat dan jelas. Aleta telah menduga hal itu, jadi sedikitpun dia tidak terkejut. Bahkan ia membalas kata-kata Mr. Kenward dengan sebuah senyum mengejek. "Apa kepentingan Anda dalam hal ini Mr. Kenward? Tristan pria dewasa, dan Anda juga bukan pengasuhnya, dia bisa memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya. Maaf saya merasa geli dengan permintaan Anda. Itu terdengar sedikit..." ia membuat sedikit jeda, lalu menambahkannya dengan ketus. "Picik!" Aleta bahkan sengaja tertawa kecil, mengejek pria di hadapannya. Pria itu melotot, terlihat marah, berusaha mencari cara untuk membalas kata-kata Aleta. "Tidak juga oleh sebuah tawaran menarik seperti ini." Pria itu mengeluarkan beberapa puluh lembaran uang dari saku kemejanya, menaburkan helaian itu di depan hidung Aleta. Hal itu membuat Aleta merasa kesal dan terhina, dan hampir saja melontarkan kata-kata kasar pada pria brengsek di hadapannya itu. "Tidak, Mr. Kenward. Saya dan Tristan saling mencintai, tak ada yang lebih berharga dari pada hal itu. Bagi saya dan Tristan, hubungan kami istimewa. Dan ambil kembali uang Anda. Saya tidak membutuhkannya." Entah mengapa Aleta mengambil langkah itu, berperan sebagai Riana dan bersikeras untuk menentang perlakuan Mr.Kenward. Brengsek! Beruang ini benar-benar menyebalkan! Batin Aleta menahan amarah di dadanya. Ia sama sekali tak bergeming menatap mata gelap itu, yang tampaknya juga belum akan menyerah dengan usahanya memojokkan Aleta yang dia kira adalah Riana. "Jadi apa yang sebenarnya kau inginkan Riana Jovon?" Tanya pria itu mencoba berdamai. Kata-katanya terdengar lebih tenang, namun masih tetap dingin dan mengintimidasi. "Tidak ada Mr. Kenward." Jawab Aleta dengan angkuh. "Ayolah Riana katakan saja! apa lagi yang perempuan sepertimu lakukan selain menjual kemolekkan tubuhmu demi uang, hah?" Pria itu terkekeh, tertawa sumbang. Terasa memekakkan telinga Aleta, membuat Aleta semakin membenci pria sombong itu. "Jaga ucapan Anda Tuan!" Hardik Aleta, menahan kepalan tangannya yang nyaris saja ia layangkan ke wajah pria menyebalkan di hadapannya tersebut. Ingat Aleta beruang besar ini bukan tandinganmu. Bisik hatinya menenangkan. "Saya rasa Anda mendapatkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya Mr. Kenward. Anda sama sekali tidak berhak menilai saya seperti itu. Anda bahkan tidak benar-benar mengenal saya." Ucap Aleta mencoba membela dirinya, atau lebih tepatnya harga diri saudarinya. Pria itu tampak berpikir, mengerutkan kening dengan wajah penuh spekulasi. "Saya sangat ingin mempercayai argumen Anda Nona." Pria itu menatap tajam kepada Aleta, menyusuri setiap jengkal tubuh Aleta, seakan menelanjanginya, mencari-cari sesuatu di wajah Aleta. Lalu matanya sedikit menyipit, sinis dan picik. "Mungkin Anda lebih tertarik pada kesepakatan saya yang lain?"

surrender to loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang