Segera mungkin aku menutup telinga, menahan segala gejolak emosi yang kuharuskan mendobrak pintu yang mengurungku ini. Hatiku nyeri mendengar semuanya. Semuanya menyesak ke relung hati yang seakan dingin membeku, menandakan sebentar lagi aku kehilangan keceriaanku.
Suara-suara keras membangkitkan bantingan keras di sebelah kamarku. Aku tahu siapa yang menempati kamar sebelahku. Aku tahu siapa dia.
"Cukup, Pa, Ma! Sampai kapan kalian berteriak tidak jelas di malam hari!!"
Lengkingan masuk ke sela-sela pintu kayu berubin marmer. Ruangan klasik dipenuhi poster-poster game kesayanganku menghilangkan kekalutan sering kuraih demi mendengar bisik-bisik teriakan di luar kamarku.
"Aku muak dengan kalian! Apa kalian bisa sadar bahwa di sini bukan cuma aku di rumah ini! Di sini ada Ren, Pa!" jeritnya seperti mengeluarkan emosi sempat ditahan ketika kedua orangtua kami menampakkan batang hidungnya di rumah ini. "Dan Mama, kapan pun Mama mau, silakan keluar dari sini. Cari tempat lain buat menuntaskan kemarahan kalian!"
Ucapannya memang menusuk sekali. Satu dua kali saja aku bisa menahan ocehannya, tapi malamnya aku terlena penuh penyesalan. Kutahu dia juga menangis. Tangisan penyesalan dan serba salah.
Tubuhku otomatis gemetar. Aku tidak kuasa menahan diri demi mendengar sayup-sayup dan pecahan kaca di lantai. Sepertinya pecahan itu membungkam mulut seseorang kusayangi.
Cepat-cepat kubuka pintu dan menatap nyalang seorang paling kubenci kehadirannya. Orang yang dulu mengharapkan kami berada di kandungannya, serta merawat kami penuh kasih sayang setelah kami lahir. Tiga orang dengan wajah nyaris sama dengan orang akhirnya menampar pipi saudara bungsuku.
"Ma, apa yang kamu lakukan?!"
Ah, ini bukan suaraku. Suaraku belum sempat kukeluarkan dikarenakan sekujur tubuhku terasa sakit dan gemetar. Mana sanggup aku mengutarakannya. Lama-lama aku terhuyung sebelum menuntaskan uneg-uneg. Menurutku, ini suara tegas milik Papa. Papa yang selalu menjaga kami walau jarang ada di rumah.
"Jangan kekanakan, Ma!" teriak Papa memancing diriku merangkul bahu saudaraku. "Kita datang ke sini bukan untuk bertengkar. Aku mengajakmu ke sini demi anak sulung kita!" Papa menoleh ke arahku. "Ren?"
"Pa?" Sial! Suaraku sempat tersendat. "Aku ...."
"Hentikan, jangan bicara dulu." Papa meraihku ke dalam pelukan, nyaris aku menahan napas. Bisa kulihat, Mama menatapku nanar lalu memalingkan muka. "Papa rindu padamu, Nak. Tubuhmu makin kurus dan kantung matamu juga menghitam. Kamu baik-baik saja, 'kan?" Kuintip wajah Mama yang kaget mendengar pernyataan Papa. Dengan tetesan air mata, kulepas dekapan hangat Papa dan menghampiri Mama.
"Ma," panggilku. "Ren kangen Mama."
Tetesan itu berubah menjadi linangan air mata. Derasnya air muncul di pelupuk mata menandakan aku, anaknya, telah membuat Mama menangis. Oh, sungguh ini bukan mau aku.
"Berhenti," isaknya membuatku berhenti sebelum melangkah tiga langkah ke arahnya. "Lebih baik kamu pergi!" tolaknya menghancurkan impianku.
"Ma!" teriak dua orang kusayangi, Papa dan saudara kembarku.
Aku termangu di tempat, membeku total akibat penolakan Mama. Cukup sudah, aku tidak kuat lagi. Akhirnya aku berlari melewati arah sebaliknya, bukan ke arah kamarku. Tapi, ke arah pintu keluar di mana guyuran hujan menyambutku. Tidak kuperdulikan teriakan dan jeritan membahana orang-orang di belakangku. Aku benar-benar tidak mau melihat mereka.
Impianku ketika melihat mereka pulang, akhirnya kudapatkan lewat Papa. Dan Mama? Seinci pun dia tidak mau melihatku. Dengan tega juga, Mama malah menampar saudara kembarku.
Kuputuskan cukup sampai di sini.
[Sick Enough to Die (02) End]
***
27 Agustus 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Sick Enough to Die [Ren's Story] ✔️
General FictionAku, Renald Alastair. Berhari-hari sering merasakan sakit. Jika diperbolehkan, bisakah aku memeluk Mama terakhir kalinya dan melihat kedua saudara aku tertawa bersama-sama? Bila disetujui, betapa senangnya diriku. Terima kasih, Tuhan, sudah mencipta...