Hatiku hancur sehancurnya. Merasa ditolak itu menghancurkan semua hati, otak dan tubuhku. Semua hilang tidak berbekas termasuk kehangatan kudapatkan dari Papa. Kehadiran saudara juga telah lenyap. Tidak ada kubutuhkan lagi.
Akhirnya aku berjalan tanpa arah, sudut maupun ujung. Tidak ada singgahan bisa meringankan diriku telah pergi. Hanya derasnya air hujan inilah mampu meredakan amarahku hingga hatiku hancur.
Buliran air tertangkap di hadapanku, membuyarkan pandangan mata. Rabunnya jalanan di depan, tidak bisa menghentikan langkahku.
Tepukan ringan di bahu refleks membuatku berpaling ke arah sebaliknya. Wajah identik penuh senyuman mengantarkan ke dalam ruangan penuh kedambaan dan kekaguman. Mata coklat bening nyaris melumpuhkan syarafku. Otakku jadi berdenging, membawaku ke alam. Dunia nyata tempat di mana aku ditinggalkan sementara.
"Kamu kenapa bisa?"
"Sejak tadi aku mengawasi rumah sekalian mau menjenguk. Tidak sangka, kamu keluar tanpa mendengar perintah mereka yang tidak bisa mengejarmu akibatnya derasnya hujan dan petir bersahutan," jelasnya lengkap dengan senyuman terukir di bibirnya.
Mau ketawa, tidak bisa. Mulutku terasa kaku, dan mengunci layaknya gembok tiada pembukanya. Setelah itu, aku merasakan tubuhku menggigil. Kepalaku pening, tak sanggup melihat bayang-bayang saudara tengahku yang menyipit ke arahku. Mempertanyakan keadaanku.
"Ren, lebih baik kita masuk mobil. Kamu mesti dibawa ke Rumah Sakit." Tempat itu? Aku menggeleng lemah, menandakan tidak. "Jangan membantah, Ren. Yang dibutuhkan tubuhmu adalah obat."
Hentakan tangan dan gemeretak gigi memadu dengan gusi memunculkan hasrat buat marah. "Jangan menyuruhku atau memerintahku. Ini tubuhku, milikku! Seenak jidatnya kamu membawaku ke sana padahal aku tidak suka!" Oh, ini kepalaku serasa mau pecah. Kupukul keras kepalaku agar sakitnya mereda, namun tak kunjung berhenti malah menjadi-jadi. "Arrgh," geramku bersimpuh di tanah basah.
"Ren! Kumohon dengarkan aku!" Kedua tangannya menggenggam tanganku yang terus menerus memukul kepalaku, menahannya agar tidak terjadi lagi. "Lihat mataku, Ren!" Mendongak melihat matanya sama seperti milikku, aku terdiam. "Bila kamu tidak mau ke sana, biar aku merawatmu walau fasilitasnya sangat berbeda dengan rumah inti. Tapi, aku pastikan kamu sembuh di tanganku."
"Tapi ...."
"Jika terjadi penolakan, kupastikan kamu kubuat pingsan tidak sadarkan diri dan membawamu ke tempat tidak kamu sangka. Pilihanmu yang mana?"
Sejujurnya, aku menolak keduanya. Tapi, pilihan terakhir lebih mengerikan daripada pilihan pertama. Aku menimbang di mana aku pilih, aku malah mendapati diriku berada di ambang batas. Aku pingsan.
***
Elusan hangat di pipiku membuatku mengerang lirih. Jempolnya pernah kurasakan sejak kecil. Dan aku tidak tahu bagaimana cara menggambarkannya.
Kubuka mataku sekejap, namun cahaya entah di mana membuatku kembali mengerjap dan membiasakan diri. Aroma tercium, sepertinya bau obat-obatan. Oh, sekujur tubuhku jadi sakit tiada henti. Hampir memekik keras kalau bukan ada yang menahan tanganku yang ingin menyentuh kepala.
"Sadarlah, Nak."
Suara itu adalah suara familier. Telanjur membuka mata, bisa kulihat ratapan kasih ditunjukkan untukku.
Oma?
Aduuh, ngomong pun aku tidak bisa. Nyaris seperti bisikan tanpa didengar. Namun, Oma bukanlah orang tidak teliti. Dia tersenyum sambil mengelus rambutku berwarna hitam.
"Oma senang kamu sudah sadar, Nak."
Aku di mana?
"Di Rumah Sakit."
Ingin kubangkitkan tubuhku, tapi terhalang sesuatu. Tangan lembut Oma juga infus bersarang di lengan kananku. Ada suara tik-tik-tik yang kukenal, tapi aku malas mengetahuinya karena aku bukanlah orang mengerti bidang Kedokteran.
Kulihat Oma sendu, meminta penjelasan sebaik-baiknya sebelum aku murka dan siap mengempaskan semua barang-barang. Bisa jadi, aku mencabut infus di tanganku ini. Juga ... apa? SELANG OKSIGEN?! Memangnya aku separah apa?
"Otak. Kamu kena kanker otak, Nak. Dan ginjal satunya pun tidak berfungsi jadinya Oma menyarankan dokter melakukan operasi pengangkatan ginjalmu." Oma menangis. "Sekarang ginjalmu tinggal satu."
Separah itukah penyakitku?
Ingin sekali meraung, menolak apa yang terjadi dalam hidupku. Betapa menginginkan hidup sehat, ternyata aku harus membawa kesalahan orangtuaku ini ke tubuhku. Apa salahku, Tuhan?
Kukira tempatku di sini, tetap saja tempatku ada di Rumah Sakit ini.
Hidup benar-benar seakan mematikan impian dan harapanku.
To be continued....
***
27 Agustus 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Sick Enough to Die [Ren's Story] ✔️
Fiksi UmumAku, Renald Alastair. Berhari-hari sering merasakan sakit. Jika diperbolehkan, bisakah aku memeluk Mama terakhir kalinya dan melihat kedua saudara aku tertawa bersama-sama? Bila disetujui, betapa senangnya diriku. Terima kasih, Tuhan, sudah mencipta...