(01) Dipermainkan oleh Kesakitan

10.3K 447 6
                                    

Aku mengutak atik game yang kumainkan. Tidak perduli raungan dan pekikan kekesalan ditimbulkan saudara akibat ulahku kian menjadi. Yang kuinginkan sekarang adalah rasa sakit di kepala menghilang, mungkin penyebabnya dengan cara memainkan game online kugeluti ini.

"Stres kamu?!" jerit saudara bungsuku tepat di telingaku. Tepat, sampai telingaku berdenging.

Kuhentikan utak atik, kutolehkan kepala mengintip celah bahu. Mendelik tajam pada wajah saudara kembar menahan amarah, karena kulit mukanya berubah merah. Bukannya aku yang justru marah bukan dia?

"Bisa nggak kamu tidak teriak-teriak di telingaku. Bisa tuli aku!" gerutuku kemudian terhenyak melihat dirinya mematikan komputer tanpa meng-save terlebih dahulu. "Hey!" protesku tidak terima.

"Sebaiknya kamu istirahat bukan haha-hihi di depan komputer! Bisa-bisa aku melenyapkan komputermu beserta isinya. Kamu mau?!" ancamnya selalu tidak main-main.

Kutelan saliva tertahan di tenggorokan, tak kuat mendengar ancamannya sebentar lagi bakalan dilakukan. Mau tak mau, aku beranjak dari tempatku. Pantatku jadi tepos mengakibatkan diriku tidak mau duduk untuk sementara waktu ini.

"Makanlah dulu. Aku sudah siapkan di meja," katanya tanpa mau aku berbalik.

Seharusnya aku bermain bukan beristirahat di atas kecaman auman keras saudara kembar identik. Aku yang sulung saja begitu terhasut pada ancamannya yang bungsu, bisa hanya jebakan atau langsung menohok jantung. Beda sekali dengan saudara kembarku telah pergi menetap jauh dari kami. Alasannya, tidak ada hak lagi tinggal di rumah ini. Rumah yang bukan tempatnya berteduh.

***

Kuraih gelas berisi air bening yang penuh, kutandaskan sampai habis setelah meminum obat pereda rasa sakit selama ini kuminum bertahun-tahun.

Rasa sakit di kepala maupun sekujur tubuh menyakinkan aku bahwa hidup ini diakibatkan kesalahan orangtua kemudian tertuju padaku. Pantas saja ada yang bilang, kesalahan orangtua pasti menimpa ke anak. Dan itu adalah aku.

Padahal aku ingin menjelajah dunia, keinginanku terdahulu. Sayangnya tidak tercapai. Akibat kesehatanku yang tidak baik semakin menggerogoti darahku. Aku pun tidak mampu mengonsumsi obat-obatan itu lagi kalau bukan kehendak saudara selalu ada di sampingku.

Sembari menghela napas panjang, bisa kulihat saudara kembarku berbicara dengan sepupu manisku. Memang sangat manis, karena dia satu-satunya perempuan di dekat kami. Walau yang tengah tidak menyukai kehadirannya, karena begitulah ... anak sepupu kami merupakan anak angkat tak diharapkan hadir.

Meski begitu, aku sungguh menyayanginya. Ada secercah kebahagiaan terbesit, yaitu perasaan melebihi seorang Adik. Namun, aku punya logika bahwa aku tidak boleh melakukannya. Memang, karena tidak pantas mendampinginya. Walaupun, Oma telanjur memberikan ultimatum di keluarga ini. Boleh menikahi sepupu termasuk sepupu angkat.

Kembali lagi karena tak diharapkan hadir yang dikatakan saudara kembar di bawahku, si tengah. Jangankan dia, saudara bungsuku juga tidak terima aku nikah dengannya. Tidak cocok juga karena kesehatanku yang memburuk. Kalimatnya sangat suka menusukkan belati tepat di jantung dan ulu hati, karena dialah satu-satunya memiliki cara bicara yang sinis.

Kutatap saudara sepupuku yang melihatku, lalu tersenyum sendu. Aku tahu, aku tidak boleh melakukan itu. Aku pun beranjak dari sana, melenggang pergi ke mana pun aku mau.

Seandainya bisa, kuinginkan sekali lagi ada kehangatan di rumah ini sebelum semuanya direbut disebabkan keharusan benar-benar menjadi candu.

Aku benar-benar sakit.

To be continued....

***

27 Agustus 2015

Sick Enough to Die [Ren's Story] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang