1

44 3 0
                                    

Charles de Gaulle, 19 November 2017.

Delina melengos lelah, jarum jam ditangannya menunjukkan pukul delapan malam. Sadarlah ia jam ditangannya masih menunjukkan waktu Indonesia bagian barat. Kalau ia tidak salah hitung, harusnya sekarang masih pukul 2 siang.

Delina menggendong ranselnya dengan pasrah. Tubuhnya terlalu lelah untuk merengek. Ia sudah terbang sejauh sebelas ribu lima ratus delapan puluh kilometer. Walaupun lelah, senyumnya masih terkembang. Sekarang kakinya telah resmi menginjak lantai bandara Charles de Gaulle. Dan dia tidak bisa lebih bahagia dari ini.

Hall kedatangan bandara seharusnya menjadi tempat paling membahagiakan di semua bandara. Ia menengok ke sekelilingnya, melihat seorang ibu sedang menggendong bayinya yang sedang merengek. Wajah si ibu bule tadi terlihat letih, pertanda habis melakukan perjalanan panjang sepertinya. Namun raut wajahnya berubah tatkala ia mencapai pintu dan melihat sesosok lelaki berdiri menunggunya disana. Membawa setangkai mawar merah yang masih segar, dan sebuah senyuman hangat. Delina berani bertaruh lelah si ibu tadi akan sekejap hilang.

Sementara dirinya? Ia sendiri. Ya, memang awalnya itulah yang ingin dilakukannya dengan pergi ke benua biru ini. Menyendiri. Setelah melewati pemeriksaan pasport oleh petugas keamanan bandara, Delina segera mengantri di depan conveyor belt, menunggu koper ungu kesayangannya tiba. Setelah melihat kopernya, tanpa basa-basi ia langsung menarik koper besarnya. Dan cerobohnya, koper itu mengenai lengan atas seorang bapak.

"I am sorry, sir. I didn't mean it."

Namun bapak tadi hanya memandangnya tajam. Tanpa membalas permintaan maaf Delina. Delina tidak peduli. Ia ingin segera tiba di Paris. Ia segera berjalan, tersenyum sekilas ke arah tulisanBienvenue en France yang menyadarkannya bahwa ia sekarang sudah di Perancis! Delina mengikuti tanda RER B, Paris par train, yang tertulis besar-besar di pintu keluar.

Sampai di depan mesin tiket otomatis yang berwarna hijau, Delina kebingungan setengah mati. Mesin itu hanya mau menerima uang koin, sementara uang yang ia punya hanya berupa lembaran kertas. Ia celingak-celinguk. Lalu dengan nekat menghampiri seorang bule. Nampaknya masih seusianya.

"Excusez-moi, parlez-vous anglais?" Delina mencoba mempraktekkan bahasa Perancisnya yang dianggapnya masih abal-abal. Lelaki tadi menoleh, menyemburkan rasa lega di hati Delina karena ternyata laki-laki tadi mengerti.

"Oui. Can I help you?"

Delina nyengir kuda, "I don't know what to do. That ticket machine just wants coins. But I don't have any. Is there any place to change the money I have with Euro coins?"

Laki-laki itu menatapnya datar, dan menunjuk sebuah mesin tak jauh dari tempat mereka berdiri. Sebuah mesin penukar uang.

"Oh, hehehe. I didn't see that one. Thank you very much!!"

Delina segera memasukkan selembar uang 10 Euro nya ke dalam mesin, dan tak berapa lama muncullah keping-keping koin Euro yang segera dipungutnya. Delina lalu membeli tiket seharga 9,5 Euro itu, kembali ke mesin hijau tadi. Setelah mendapatkan tiketnya ia segera bergegas menuju peron.

***

Paris, 19 November 2017.

Angin November yang berhembus di kota Paris jauh lebih dingin dibanding yang Delina kira. Ia segera merapatkan syal merah mudanya. Setelah check in di sebuah hotel dekat Gare de Lyon, ia segera keluar. Tak mau menghabiskan sore hanya duduk berdiam di dalam kamar. Senja di The City of Lights terlalu sayang untuk dihabiskan dengan hanya berleyeh-leyeh.

Jarak dari hotelnya ke Eiffel tower hanya 4 kilometer, dan Delina memutuskan untuk berjalan kaki saja. Lagipula siapa yang mau melewati sunset dari puncak menara Eiffel, kan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lost in France, Lost in YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang