Indira

5K 446 10
                                    

High school has a special place in my life.

Kakiku berhenti melangkah saat aku menangkap gerbang tinggi abu-abu dari seberang jalan. Meski matahari sedang terik-teriknya, tubuhku malah merasakan desiran dingin. Bukan karena terpaan angin kering, melainkan luapan emosi setiap kali aku berada di lingkungan ini.

Setelah memastikan tidak ada kendaraan melintas, aku menyeberangi jalan.

Sekelompok pemuda sedang nongkrong di gerbang saat aku menyelinap masuk. Aku sempat terkejut melihat satpam yang menyapaku. Masih bapak itu! Pria paruh baya yang mungkin sudah bertugas sebelum aku masuk ke sekolah ini. Walau beberapa helai rambutnya telah memutih, senyumnya tetap seperti yang kuingat.

Memasuki taman depan sekolah, aku melambatkan langkah. Jalan menurun dari gerbang langsung mengantarkanku ke kantin. Rupanya tempat itu juga belum banyak berubah. Gerombol siswa berseragam putih-abu berdesakan di antara meja dan bangku panjang. Ada pula yang antre di depan stan-stan makanan. Sepertinya aku datang saat jam istirahat kedua berlangsung.

"Indira!"

Panggilan itu muncul saat aku berbelok ke jalan pintas di belakang kelas-kelas IPS. Aku menoleh ke berbagai arah. Tidak ada siapa-siapa. Namun, suara itu kembali menyerukan namaku dan kini aku melihat seorang pemuda menaiki tangga dari jalan di belakangku.

"Indira? Indira, kan? Kita sekelas dulu." Tanpa ragu, dia melebarkan senyumnya. "Kamu lupa? Kita temenan di Path."

Mataku terpicing; mengamati wajah asing itu. Sejak lulus SMA tujuh tahun silam, aku jarang bersua dengan teman-teman satu sekolah. Jangankan mengingat wajah, nama pun kadang lupa. "I have no clue."

Senyumnya dengan cepat memudar. "Khalid."

"Khalid?" Aku spontan terkesiap mendengar nama itu. Sial, bagaimana aku melupakan dia? "Khal? Ya ampun, maaf. Pangling banget lihat kamu. Gimana aku bisa tahu, foto profil di Path kamu pemandangan mulu."

Dia mencibirku. "Pangling? Gue makin ganteng, ya, sekarang?"

"Your confident hasn't changed much." Benar, sih. Salah satu hal yang membuatku nyaris tak mengenali Khalid adalah penampilannya. Dia semakin tinggi dan lebih terawat. Rambut pendeknya dibiarkan tertiup angin. Dengan gaya ini, Khalid cocok jadi model pria di katalog pakaian bermerek. "Lagi apa di sini? Bukannya kamu kerja di Jakarta?"

"Ada tugas di Bandung sampai minggu depan. Selagi sempat, gue napak tilas ke sini." Khalid mendahuluiku berjalan menuju kantin. "Kamu? Enggak kerja?"

Sebenarnya, aku mulai lelah menjelaskan keadaanku sekarang. Satu tahun lalu, aku masih bisa menjawab, karena aku masih bekerja sebagai staf di sebuah lembaga penelitian. Namun, satu dan lain hal mendorongku keluar dari sana.

"Single and unemployed." Khalid menganga saat mendengar jawabanku. "Not that bad, Khal. I have a job interview tomorrow, so, wish me luck."

Khalid mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi. "Gue lapar. Makan dulu, yuk, keburu mejanya penuh."

*

Aku dan Khalid hanya menjadi classmate sepanjang kelas X (setara dengan kelas satu). Bukan sekadar classmate, tetapi juga seatmate. Khalid juga belum setampan sekarang. Tubuhnya memang tinggi, malah kelewat kurus. Segelintir teman kami menjulukinya si Cungkring atau kurus-tinggi dalam bahasa Sunda. Namun, Khalid tidak lantas minder. Dia justru dikenal sebagai siswa paling easy-going, cerdas di kelas, bahkan berhasil masuk tim basket.

"Kamu enggak risi dari tadi dilirik sama dedek-dedek gemes?" tanyaku selepas jam istirahat. Kantin kembali lengang; hanya ada kami dan beberapa alumni dengan urusan lain. "Kasihan mereka jadi susah fokus belajar sekarang."

"Setidaknya mereka bangga punya alumni good looking," dalihnya, lalu menandaskan jus jeruk. "It's your treat, heh? Dulu, kamu suka traktir gue tanpa sebab."

Aku mendelik. "Go Dutch. Harusnya kamu yang traktir pengangguran kayak aku."

"Bercanda." Kemudian, Khalid beranjak dari kursi dan menghampiri stan tempat kami membeli makan siang. Ketika aku selesai dengan makananku dan akan membayar, Khalid membawaku keluar dari kantin. "Pesanan kamu udah dibayar."

"What—" Aku menutup mulut sebelum Khalid berubah pikiran.

*

Selanjutnya, aku dan Khalid mengadakan tur singkat. Karena kegiatan belajar-mengajar sedang berlangsung, kami hanya mendapati lorong-lorong sepi. Sesekali, kami berpapasan dengan siswa-siswi yang membawa tumpukan buku dari perpustakaan atau mereka yang berlari ke toilet dengan pakaian olahraga.

Kemudian, Khalid duduk di depan laboratorium komputer yang menghadap kolam ikan di depan kelas IPA. Sementara aku duduk di sampingnya.

"Kamu pengin balik lagi jadi anak SMA, enggak?" tanyaku.

Khalid termenung sambil melipat tangan di dada. Dia baru menjawab setelah pasukan siswa berseragam olahraga melintas di belakang kami. "Kadang-kadang, apalagi kalau kerjaan lagi banyak. Setelah dipikir ulang, jadi anak SMA enggak seberat kerja kantoran."

"Jadi anak SMA juga dapat uang saku terus." Aku terkekeh. "What do you miss the most?"

"Banyak. Kalau diceritakan semua, kita bisa nginep di sini tiga hari tiga malam," selorohnya yang kusambut dengan desisan. "Hmm, berhubung lagi sama kamu, gue jadi kangen masa-masa awal jadi anak SMA."

Aku mencondongkan tubuh ke arahnya. "Maksudnya, kamu kangen duduk semeja sama aku, Khal?"

Giliran Khalid yang sekarang menoyor keningku. "Bisa, bisa. Kalau enggak ada kamu, stok lagu di memori ponsel gue pasti enggak akan berkembang."

Kami bertatapan, lalu tergelak sambil lalu. Aku dan Khalid dulu sering bertukar stok lagu, sebab kami punya selera musik yang sama. Kami membuat kompilasi dalam CD, lalu bertukar flashdisk sampai dipenuhi virus. Aku bahkan masih menyimpan keping-keping berisi koleksi lagu pemberiannya.

The old, good days.

Thus, it took my feelings to another level.

Aku tidak tahu kapan persisnya perasaan itu datang. Yang kuingat adalah pagi-pagi saat aku resah menunggu kehadiran Khalid. Degup-degup tak menentu saat kami berbagi earphone untuk mendengar lagu. Atau perasaan kecewa yang kutelan berkali-kali setiap Khalid mengabariku tentang pacar barunya di kelas lain.

Mengingat perasaan itu mengantarkan penasaran ke dalam benakku. He's here. Aku menatapnya tanpa ragu dan Khalid membalasnya secepat kilatan petir.

After all this time, I've been wondering. And after all this time, I've pulled to keep it for myself.

Sepertinya, aku sudah memilih keputusan tepat untuk kami.

***

PercikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang