Jauh sebelum lulus SMA, gue sudah kesulitan buat ketemu Indira. Terutama sejak kami masuk jurusan berbeda. Selama di kelas X, gue dan Indira jadi tim solid gara-gara duduk satu meja. Dia sangat berbakat dalam materi hafalan, sedangkan gue lihai dengan pelajaran eksak. Ranking kami pun selalu berdekatan.
Cuma, gue enggak bakal nyangka bakal suka sama Indira.
Siang ini, waktu lihat dia kelayapan di sekolah, gue girang bukan main. Dari cara jalannya yang masih sama, gue tahu kalau itu teman sebangku gue. Indira masih seperti yang dulu—dia cuek sama pakaiannya. Sweatshirt dan jin, serta rambutnya diikat kuda. Satu yang berbeda, wajahnya sekarang mulus; bebas jerawat.
Indira makin terlihat makin dewasa.
Sayang sekali kami baru bertemu lagi sekarang.
"Jadi, sambil cari kerjaan, kamu ngapain aja?" Gue bertanya.
"Baca ulang beberapa buku favoritku. Jadi turis di Bandung—I haven't explored this city that much." Indira menghela napas panjang. "I'm trying to reach my zen mode, too."
"Mode apa?"
Indira menyandarkan salah satu sisi tubuhnya ke dinding. "Aku capek. Kuliah empat tahun ternyata menyita banyak hal. Pekerjaan sebelumnya juga membosankan. Penginnya istirahat dulu, tapi kamu tahulah ekspektasi keluarga dan lingkungan terhadap sarjana seperti apa. Go get a job or get lost."
Kali ini, gue merasa Indira masuk ke topik serius. "Lalu, apa yang membuat kamu kelihatan lelah?"
Keningnya mengernyit. "Khal, most of my girl friends are getting married. Even expecting their first child. Aku mulanya cuek dan masih bisa kasih ucapan selamat sana-sini. Tapi, saat kami berkumpul, aku sadar kami sudah berada di dunia yang berbeda. Obrolan kami tidak sama seperti dulu.
"I found myself playing with my smartphone, sedangkan mereka mendiskusikan hal-hal seputar kehidupan sebagai istri dan ibu. Meski mereka bilang, 'Indira, nikmati hidup kamu sebelum menikah kayak kita', it feels... irritating."
Gue mengangguk-angguk sambil memikirkan apa yang sebaiknya gue katakan. "Kamu lagi kejar target buat nikah atau gimana?"
Respons Indira, tanpa gue duga, cukup mengejutkan. Dia memberi tatapan penuh selidik—seolah ingin menceburkan gue ke kolam. Namun, setelah satu menit yang panjang, dia kembali mengambil napas untuk menenangkan diri. "To be honest, Khal, gue lagi alergi sama orang-orang yang sedang berhubungan serius."
"Kamu baru putus?" Gue menembak tanpa basa-basi.
Indira mengulum bibirnya. Dia merunduk sambil menggerakan kaki. "Long short story, it was a mess. That is why I wanna reach my zen mode. Semacam detoks buat hati dan pikiran."
Selain sama penampilan, Indira juga cuek sama hubungan asmara. Dia enggak pernah dekat sama cowok—selain gue—pas SMA dulu. Menurutnya, pacaran semasa sekolah juga hanya buang-buang waktu. Emang nanti kamu bakal nikah sama dia? sungutnya tiap kali gue pedekate sama cewek.
Makanya, gue memilih buat memendam perasaan suka gue sama dia. Nyiksa, sih, tapi setidaknya enggak ada yang tersakiti.
"Kalau kamu alergi sama hubungan serius, kenapa kamu masih ngobrol sama gue sekarang?" tanya gue penasaran. Dia pasti tahu. Dia memberi komentar pada foto yang gue unggah di Path dan Instagram tentang acara itu.
Indira menoleh. "Ada beberapa orang yang enggak bikin aku alergi, kok. Termasuk kamu. Aku sampai hafal tipe cewek idaman kamu kayak gimana. Ternyata enggak berubah, ya, sampai tunangan kemarin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Percikan
Short StorySepasang teman sebangku semasa SMA bersemuka setelah tujuh tahun berpisah. Dalam pertemuan singkat ini, keduanya kembali mempertanyakan percik yang pernah ada. *** [based on "I Almost Do" by Taylor Swift] © 2015 Erlin Natawiria