TRUTH

333 11 0
                                    

Harapan mereka terkikis. Ternyata dia hanya pulang untuk membuat mereka lebih merindukannya.

"Ya, aku hanya di sini sampai liburan selesai."

Claire menggoyang-goyangkan kakinya, kemudian duduk dengan kedua tangannya memeluk lutut. Dia memandang jauh ke depan, dan tertawa sendiri.

"Haha, aku baru tahu betapa lucunya masa kanak-kanak kita. Terjun dari tebing, bayangkanlah!"

Claire tersenyum, senyum yang dingin. Matanya terus menatap kosong. Sebegitu banyakkah perubahan pada dirinya?

Seakan membaca pikiran kedua sahabatnya, Claire menyambung, pelan.

"Kita telah tumbuh, dan akan beranjak dewasa. Kita tidak bisa bersama selamanya. Kita memiliki kehidupan masing-masing."

Benar. Dia berubah. Sangat berubah.

Kini tak ada lagi putri yang egois dan membenci keluarganya, karena telah memisahkannya dari ibu kandungnya. Tak ada lagi putri yang sensitif, yang membenci ayahnya hanya karena sang Duke memperkenalkannya pada seorang ibu tiri. Tak ada lagi putri yang ceria, yang nekat, yang bersahabat.

Yang ada hanyalah sosok kosong yang dingin, dengan kata-kata realistis , kata-kata yang menyakitkan. Ini bukanlah putri mereka. Dia hanyalah sosok kosong tanpa impian.

Claire bangkit dan berjalan tegap, perlahan. Menegaskan darah bangsawan yang mengalir dalam dirinya. Tak ada Claire yang berlari sesuka hatinya dan terbang bebas mengepakkan sayap indahnya. Tak ada lagi Claire. Masihkah ada yang lebih buruk dari ini?

☺☺☺

Beberapa hari berlalu sejak kejadian itu. Noire terbangun mendengar suara isakan. Dia keluar dari kamarnya lalu emandang lurus ke arah jendela kamar sang putri. Bahkan jendela itu pun berubah, terkikis oleh sang waktu. Tapi...mengapa dia merasa dirinya tetap sama?

Noire menaiki tangga yang menghubungkannya ke jendela. Kemudian mengetuk pelan kaca itu. Tak ada lagi suara isakan. Dia mendorong perlahan jendela tua itu, dan mendapati putri-nya sedang menangis. Dia menutup wajahnya, tapi Noire yakin dia menangis.

"Pergi."

Noire tak menggubris suara dinginnya.

"Pergi...", kali ini sang putri tidak berhasil menyembunyikan isakannya.

Itu adalah suara putri yang dikenalnya. Noire merasa mendapatkan kebahagiaannya kembali.

"Apa yang terjadi padamu? Ceritakan padaku, nona Claire."

"...Tidak!"

Claire mendadak menjadi histeris, namun Noire tetap tenang. Akhirnya Claire menyerah.

"Baiklah. Aku memang biasa menangis. Kau puas?"

"Tidak."

"Aku... setiap melihat ini, hatiku sangat sakit. Aku tidak tahu mengapa..."

Claire memperlihatkan dua lembar foto, yang sudah sangat kusam.

"Ada apa dengan foto itu?"

"Ini foto keluarga. Aku hanya rindu pada ibuku. Kau puas?"

"Tidak. Aku bisa melihat, melihat bahwa kebohongan terpancar dari matamu."

Claire kehilangan kendali atas dirinya. Dia melempar foto itu pada Noire dan berlari keluar. Menangis. Noire memungut foto itu, dan seketika wajahnya menjadi pucat.

☺☺☺

"Duke yang memberitahukan ini padamu?"

"Ya."

Claire berdiri tegak di tepi tebing. Rambutnya melambai-lambai indah. Noire tidak tahu harus berkata apa.

"Maafkan aku..."

Noire tetap diam.

"Ini semua salahku..."

"Jangan menyalahkan dirimu, nona."

"Aku yang seenaknya menyukaimu, dan aku juga yang merasa terluka. Aku sungguh egois... Pergilah, ini hukumanku."

"Aku akan menjalani hukuman bersamamu, karena aku juga menyukaimu, Claire."

Claire sedikit terkejut,tapi kemudian berbalik dan berlari, memeluk Noire erat.

"Maafkan aku, kak..."

Setelah Claire merasa tenang, Noire menggenggam tangannya dan membimbingnya ke tepi tebing. Mereka terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.

Noire termenung. Ternyata dia adalah putra dari ibu kandung Claire. Putra yang dibuang oleh keluarganya, karena sakit-sakitan dan tidak menguntungkan keluarga.

"Bukankah hal ini pernah terjadi, dulu?"Claire mendongak dan memandang ke Noire.

"Ya, kemudian Kai datang dan bergabung."

Tepat saat itu Kai datang dan duduk di samping Claire, tanpa basa-basi.

"Kai! Sejak kapan kau di sini?"

Kai tersenyum, " Baru saja. Aku ...entah mengapa... merasa harus pergi ke tempat ini."

Claire menarik napas lega. Namun, detik berikutnya raut wajahnya berubah. Murung.

"Aku... akan kembali ke kota besok."

LA MERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang