14. Hujan yang Menyerbu

952 55 4
                                    

14. Hujan yang Menyerbu

Saat Kara dan Fikri akhirnya mengentaskan diri—Kara sambil menyeret kursi apungnya dan Fikri sibuk memungut pakaiannya di sekeliling kolam—dan Tiana masih kering serta disamperi Elian, mendung mulai muncul di langit.

"Cepet! Dasar lelet!" Elian mengibas-ngibaskan tangannya di udara, memberi isyarat pada pasangan mantan kekasih itu untuk meghampirinya cepat-cepat. "Ayo, habisin steak-nya! Gue udah susah-susah ngehias bareng Tiana nih. Sebelum kita kehujanan!" Elian meraih piring terdekat dan mulai melahap dagingnya dengan barbar.

Tiana diam saja, menikmati kepanikan Elian yang menyayangkan deretan steak di meja bundar. Dia nggak ikut berteriak heboh dan menikmati dagingnya sendiri. Giginya mengunyah daging empuk itu, merasakan cairannya yang juicy dan menyebar di sekujur permukaan lidahnya. Memanjakan selera makannya. Seolah dia nggak punya masalah kesehatan tadi pagi.

Tiana merasakan kehadiran Fikri. Cowok itu melempar kemejanya ke bawah meja, membuatnya melirik penuh minat—nggak hanya sekilas, malah sampai beberapa detik lebih lama dari yang dia harapkan—ketika Fikri mulai berseru.

"Wah, Ra! Lo tadi ke sini pake sweter abu-abu itu?! Yang lo pake pas kencan pertama bareng gue?!" Fikri berkata dengan antusias, namun menampilkan kontradiksi melalui pandangan sayangnya. "Yah, telanjur gue lempari baju-baju gue yang kena air kolam. Basah deh."

Kara masih tersenyum ceria. Menurut Tiana, dia hanya senang Fikri memperhatikan hal sekecil itu, barangkali berharap Elian bakal cemburu atau apa. "Masih ada hari Minggu kok. Kita bisa slumber party sampe besok!" seru Kara, bersemangat.

Tiana mengerling ke arah Kara. "Senin gue ada bab baru."

"Yang gue yakin udah lo kuasai," tambah Elian, cepat. "Ide bagus, Ra. Kita bisa slumber party sampe besok! Terus berangkat sekolah di hari Senin bareng-bareng!"

"Elian!" Tiana membentak. Dia menyuap satu potong daging terakhirnya, kemudian meletakkan piring kosongnya keras-keras, nggak takut barang itu bisa pecah kapan saja. "Gue ke kamar tamu. Mau tidur." Percuma mendebat mereka bertiga. Dia bakal kalah suara. Dia nggak mau refreshing. Ini lebih membuatnya stres daripada rileks. Mending dia tidur aja dulu, membiarkan mereka larut dalam euforia sesaat—tanpa sadar bahwa kenyataan UTS telah mengadang di depan mata. Barangkali dengan begini, Elian bisa sedikit peka dan mau menyatakan kepeduliannya sebagai seorang sahabat.

Kepedulian yang sudah lama tidak Tiana temui. Dan sangat, sangat dia rindukan.

***

Tiana masih meniti pertengahan anak tangga menuju lantai tiga ketika matanya menangkap pemandangan di bawah, dekat kolam renang, melalui jendela kaca lebar yang sengaja dipasang di belokan yang sedang dia lewati. Baik Elian, Kara, maupun Fikri tertawa lebar, mungkin suara mereka juga kencang. Fikri memegang iPhone-nya, tampak mengambil video dari tingkah polah Elian yang makan dengan lahap, merebut bagiannya, dan Kara yang ternyata narsis dengan maju di depan Elian, mengadang kamera Fikri.

Dia nggak peduli. Tiana punya hak untuk itu. Dan dia memilih untuk melanjutkan perjalanan, merelakan waktunya untuk istirahat yang sesungguhnya ketimbang menghabiskan energi dengan tertawa-tawa tanpa tujuan jelas.

Tiana meraih ponselnya dari saku, mengusap layarnya.

Pukul 11.30.

Tiana rasa, nggak ada salahnya untuk tidur sejenak. Barangkali harapan gilanya agar Elian setidaknya peka pada apa yang dia rasakan bisa hilang.

***

Tiana membuka matanya perlahan-lahan ketika merasakan sejumput rambutnya disampirkan di belakang telinga. Ketika kelopaknya membuka sempurna, sebuah ekspresi terkejutlah yang muncul pertama kali, dan orang di depannya tiba-tiba saja terjengkang, menimbulkan suara debam yang tergolong pelan. Mungkin kaget.

Chaos ChemistryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang