Beautiful Liar

6.7K 311 86
                                    

Gelap.

Ruangan yang kutempati sangat gelap. Tapi tidak lebih gelap dari diriku. Dari hatiku. Kugenggam lagi botol kaca berisi cairan panas itu. Menuangnya banyak-banyak ke dalam mulutku. Cairan yang akan membakar habis kerongkonganmu kala kau meneguknya. Cairan yang akan membuatmu melihat dunia seakan berputar. Cairan yang dapat menenangkanku.

Bayangan wajah dihiasi senyuman manis terbias di depanku. Wanita dengan gaun sebatas lutut itu seakan memanggil namaku, seakan menyerukan cinta yang ia ucapkan tiga tahun lalu. Aku berusaha menggapainya, tapi kabut hitam sesegera mungkin menenggelamkan ia hilang. Tak peduli seberapa jauh aku berlari, seberapa kuat ku menggenggam, ia tetap pergi. Tidak lagi kembali.

"Ini."

Aku mendongak, menatap sepasang mata yang menyiratkan kekosongan. Meski yang kurasakan lebih kosong darinya. Mataku turun melihat tangan kanannya yang terulur dengan jemari menggenggam sebuah kartu.

'Wedding Invitation' tercetak jelas di sana.

"Apa maksudnya?"

Suaraku lirih, begitu lirih hingga aku tak yakin Elaine akan sanggup mendengarku.

"Aku sudah mengambil keputusan, Leo. Aku berhenti untuk menentang kedua orang tuaku. Aku sudah lelah."

Wanita itu menunduk dalam. Aku masih duduk dalam keterkejutan. Mungkin dibanding terkejut, aku lebih kepada hampa. Rasanya oksigen semakin menipis setiap kali aku mencoba menarik napas. Kejadian ini, aku bahkan tidak pernah ingin memimpikannya.

"Kau tidak bisa begini! Kau janji padaku akan selalu berusaha! Kau bilang aku napasmu, huh? Bukankah berarti kau tidak akan hidup lebih lama lagi setelah ini?"

Aku menggeram. Marah. Wanita itu dengan mudahnya berkata ia menyerah atas segala yang telah aku dan dia perjuangkan selama ini. Janji yang ia pernah ucapkan bersama helaan cinta di setiap katanya dihancurkan begitu saja hari ini. Di depan mataku. Hingga tak bersisa.

"Aku tidak bisa lagi, Leo. Aku adalah harapan mereka satu-satunya. Tidak mungkin bagiku untuk terus bertahan bersamamu selagi orangtua ku sendiri menderita, hanya aku yang bisa membantu――"

"Dengan menjualmu?" bentakku murka. "Mereka memperalatmu, Elaine. Mereka bukan orang tuamu! Mereka takut perusahaan mereka bangkrut hingga tak bisa lagi berfoya-foya sedang kau terkekang dengan embel-embel 'berbakti pada orang tua'!"

Udara menghempas pipiku menjauhi wajah Elaine yang berurai air mata. Sakit dari tangan wanita itu tak ada bandingnya dengan luka menganga yang hadir hanya karena sebuah kartu yang datang di pagi hari ini.

"Berani kau berkata begitu, huh! Bagaimanapun mereka tetaplah orang tuaku! Jika saja kau mencoba menyangkalnya, tidak akan ada yang berubah!"

Elaine mendesis tajam. Buliran air mata yang jelas-jelas melewati pipi pucatnya menghentak aku dalam kesadaran. Bahkan selama tiga tahun bersamanya, aku tidak pernah sekalipun menjadi alasan bagi Elaine untuk bersedih. Untuknya menangis.

Wanita-ku bergaun hitam hari itu. Ikut berkabung untuk perasaan kami berdua. Ia berjalan ke arah lemari. Mengobrak - abrik baju miliknya yang tersimpan rapi di sana. Menjejalkan semua pakaian itu sekali hentak dalam kopernya.

Aku menekuk lututku, menenggelamkan kepalaku di antara keduanya. Sedang kartu pembawa bencana itu kubiarkan di sampingku. Aku tidak bisa menangis walau kudengar Elaine kini mengerang di sudut kamar. Sampai akhirnya ia membanting pintu, pergi dari lingkup dekapku menuju pelukan orang lain.

Beautiful LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang