Beautiful Liar (End)

3.1K 244 65
                                    

Dia gila. Dia benar - benar gila.

Itulah yang sedang berputar di kepalaku sejak aku melarikan diri dari apartemen milikku. Meremas rambutku sendiri tatkala aku menerka - nerka apa yang ada di pikiran pria itu. Mencintaiku? Pria itu mencintaiku? Mencintai seseorang yang juga adalah pria? Dia gila. Sangat amat gila!

Aku menyalakan ponsel-ku dan seketika benda itu bergetar ringan. Menandakan sebuah pesan masuk.

'Aku tidak tahu apakah akan ada waktu lain selain hari ini, Leo. Pukul delapan ini, kumohon.'

Meski nomor dari pesan itu tidaklah kukenal, aku tahu dengan pasti siapa pengirimnya. Dengan segera ku hentikan taksi yang kebetulan lewat, memberitahu sang supir alamat yang kutuju. Walau ini sudah terlambat dua puluh menit, kuharap 'dia' masih di sana.

Kafe kecil dengan banyak pengunjung di sudut kota adalah tujuanku. Itu Elaine. Dia sudah berada di meja paling pojok belakang kafe. Persis seperti kesukaan kami, dulu. Wanita itu menggunakan gaun hitam selutut. Mengingatkanku pada hari di mana ia memutuskan untuk pergi meninggalkanku. Cintaku.

Ia diam. Menunduk dalam. Sekitar kami sangat bising, namun telingaku seakan tak mendengar apapun selain detakan jantung yang memompa tak beraturan.

"Bibirmu ..."

Itu adalah kata pertama saat Elaine akhirnya memutuskan untuk menatapku. Aku mengusap ujung bibirku. Rasanya agak perih dan ada sedikit darah yang mengering. Ah ... Elton.

"Terkena ujung kaleng beer," dustaku. Aku tidak cukup sinting untuk mengatakan apa yang baru saja Elton lakukan padaku. Elaine menunduk kembali, memainkan cangkir kopinya yang sudah tak hangat lagi.

"Apa yang ingin kau katakan?" tanyaku, to the point. Satu sisi dari diriku mengatakan tidak ingin ini berlangsung lama, namun sisi yang lain seolah memerintahku untuk menahan Elaine agar tak pergi. Membuatku sangat pusing.

"Aku tidak yakin apa aku dapat bertemu lagi denganmu setelah esok. Aku pun sama sekali tidak memaksa kau untuk datang. Tapi jujur, hatiku jujur ... sulit untuk melupakanmu. Sulit untuk membayangkan hari - hari tanpa melihatmu. Satu bulan ini ... bagai satu abad di neraka, Leo," lirihnya. Mengiris hati kecilku yang juga masih sangat amat mencintainya. Hati kecilku yang hingga kini sulit untuk kuajak berkelit.

"Kau tahu dengan pasti, tak ada gunanya aku datang ke pesta besok," kataku, berusaha tenang. Menyesap kopi pesananku dengan rasa creamer yang samar.

Ia menggeleng, "Kau boleh bilang aku tidak tahu diri, tapi aku memang berharap dapat melihatmu di pesta besok." Elaine tersenyum kecut, "Hanya berharap," tambahnya.

"Dan aku akan membawamu pergi bersamaku," ucapku sinis. "Karena aku juga boleh berharap."

Manik mata sejernih lautan milik Elaine tampak membeku. Iya, tatapanku sedingin itu.

"Itu tidak mungkin. That's too impossible to be happen!"

"Maka begitu pula jawabanku."

Aku sudah mati - matian untuk tidak terjebak dalam perasaan yang begini mematikan. Elaine, berada di hadapanku, dengan semua daya pikatnya. Suatu keajaiban aku masih duduk di kursiku, tanpa membawanya kabur sekarang.

"Ini." Elaine menyodorkan sebuah kunci keperakan. Wajahku menunduk, menatap kunci itu tak mengerti. "Sebelum aku pindah ke apartemen-mu, aku memiliki sebuah rumah kecil di pinggir kota," katanya. Ia mendesah berat. "Hanya dengan cara ini aku masih punya kemungkinan untuk bertemu denganmu di kemudian hari. Jaga rumah itu untukku, Leo, kumohon ...."

Mungkinkah Tuhan memang menginginkan Elaine menjadi milikku? Namun kenapa Dia punya beribu cara untuk membuatku semakin frustasi dengan keadaan ini? For God's sake, aku sudah sangat lelah!

Beautiful LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang