Beautiful Liar (2)

3.2K 241 39
                                    

Ini buat Kak Kin yang kemarin sudah baik hati jadi yang pertama mampir di cerita ini dan juga sudah follow back aku! Ugh, so so so happy! Thank you so much, Kak Kin^^

Enjoy!



Elton benar tentang aku yang sebaiknya tidak pergi bekerja.

Kepalaku masih sakit dan layar benda persegi yang memancarkan cahaya bertubi - tubi itu malah berubah menjadi jarum - jarum kecil nan lancip, menyerang mataku lalu kepalaku, membuatku ambruk seketika di meja kerja dengan mengenaskan. Ketika sadar, aku sudah di ruang kesehatan. Dengan mata berkunang - kunang, ku angkat kepalaku. Bayangan wajah cantik samar - samar menjadi satu dan jelas saat aku sepenuhnya sadar. Di sanalah dia, menatapku dengan pandangan bercampur aduk. Elaine.

"Kau ... pingsan," cicitnya pelan. Menarik kursi di samping ranjangku untuk duduk di sana. "Kau agak demam sepertinya. Ku sarankan kau pulang saja, Leo."

Dengan sekuat tenaga ku tahan sakit di kepalaku, duduk di ranjang ruang kesehatan. Menatap Elaine yang menundukkan kepalanya. Sudah hampir satu bulan aku tidak melihat wajah indah Elaine semenjak terakhir kali ia menangis dan pergi dari apartemenku.

"Aku tidak melihatmu di kantor akhir - akhir ini. Kemana saja kau?" ucapku, mengacuhkan kata - kata Elaine sebelumnya.

"Aku akan menikah, Leo. Semua itu butuh persiapan."

Hatiku teremas luar biasa hebat. Elaine mengingatkanku kembali akan alasan yang membuat dirinya pergi dari sisiku.

"Lalu, untuk apa kau bekerja hari ini? Bukankah pernikahanmu berlangsung besok pagi?"

Ini seperti adegan di mana aku mengambil sebilah pisau dan menusuknya tepat pada jantungku. Memaksa organ itu untuk tidak berdetak lagi. Kalimat yang ku ucapkan membunuh diriku sendiri. Sakit. Sangat. Bahkan mungkin lebih baik pisau yang menyiksaku agar lukanya terlihat, agar mudah di obati, agar ada penyembuhnya.

"Aku ...-" kalimatnya tercekat ketika aku meraih jemari tangan kanannya. Benda bersinar keperakan itu masih di sana. Masih setia melingkar seolah pemiliknya pun masih setia pada seseorang yang memberinya benda itu.

"Aku tidak bisa untuk tidak melihatmu lagi, Leo ...," lirihnya. Setetes air mata jatuh menuruni pipinya. Dorongan untuk menghapus air mata wanita itu membuatku mengulurkan ibu jari, sebelum aku tersentak, itu bukan lagi tugasku.

"Apa yang kau inginkan?"

Tadi itu bukan diriku. Aku berani bersumpah. Aku tidak pernah memakai nada dingin pada Elaine, tidak juga memberinya tatapan tajam. Membuat Elaine mengerut di bangkunya. Elaine menarik nafas, menegakan bahunya untuk terlihat kuat.

"Temui aku di kafe biasa, Leo. Sebelum semuanya terlambat."


***


"Astaga!"

Kepala seseorang menyembul dengan cepat dari balik sekat dapur. Aku hampir saja menabrak dinding dan membenturkan kepalaku. Pria dengan apron putih itu malah tertawa senang, menarik tanganku untuk duduk di ruang tengah. Aku tidak tahu harus bahagia ada yang mau memasakkanku makanan atau marah karena ia dengan tidak sopan memakai dapur tanpa se-izinku.

Beautiful LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang