Aku menatapnya, seorang pria berkumis tipis dengan lengan yang tegap dan kokoh.
Kumisnya melintang, namun tak membuatnya terkesan perfeksionis, justru membuatnya tampak berwibawa.
Senyumnya menghangatkan. Mengingatkanku akan bagaimana caranya menyalurkan kehangatannya kepadaku ketika ia melingkarkan tangannya di punggungku. Mengusap puncak kepalaku perlahan, pertanda ia sangat amat menyayangiku.
Matanya teduh. Menenangkan siapapun yang menjadi pusat perhatiannya. Dan aku bangga karena aku pernah mendapatkannya.
Namun semuanya terenggut begitu saja. Ia bilang aku harus melanjutkan perjuangannya.
Tak hanya dia saja yang meninggalkanku. Semuanya meninggalkanku termasuk malaikat tanpa sayap yang menyayangiku.
Hidupku seolah runtuh seketika. Merekalah yang menjadi pelita dalam keremangan duniaku yang terbatas dan pekat.
Sekarang pelita itu padam,menyiksakan ruang hampa tanpa setitik cahaya.
Angun sepoi mengacak surai yang barusan kusisir. Air mata yang jatuh membuat netraku menggelembung dan bedak tabur yang kukenakan luntur.
Semuanya benar-benar memburuk.
Pelitaku telah redup,
tumpuanku hilang di telan waktu,
alasan untuk hidup direnggut dengan cara yang tak pantas.
Sudah berapa liter air mata yang kukumpulkan karena hal ini?
Sudahkah kering luka lama ini sementara garam terus saja ditumpahkan diatasnya?
Sudahkah semua singgsana di hati tertempati?
Jawabannya adalah tidak.
Cklek! Pintu berdebam. Tatapanku beralih, aku memutar kepalaku kearahnya.
Iris sekelam jurang menerjangku, menelanjangiku dari atas sampai bawah dengan tatapan tajamnya.
Hal itu tak membuatku takut karena sebuah senyum terpatri di wajah putih nan mulusnya.
"Makanlah!" Perintahnya.
Aku diam, memutar kepalaku kembali seperti semula.
"Perihal tadi siang, aku bisa mentolerirnya. Namun, jika sekarang kau tak menurutiku, aku dengan sangat amat menyesal akan menyeretmu ke meja makan." Ia berucap panjang lebar.
Berlebihan sekali.
Aku mengangguk. Aku rasa aku perlu asupan makanan agar tidak jatuh sakit yang tentu akan merepotkanku pada akhirnya.
"Ayo!"
***
Aku sudah mengira hal ini akan terjadi. Akibat beberapa perbedaan pendapat dan orang-orang yang melenceng masuk ke parlemen pemerintahan, semuanya akan kacau.
Itu terbukti karena saat ini rakyat tengah meringkuk dibawah selimutnya dengan badan bergetar. Semua celah rumah terkunci rapat.
Jalanan sepi, sesekali jeep milik mereka berlalu lalang.
Aku sendiri melakukan hal yang sama. Namun mala mini aku tak meringku dikasurku, aku duduk membelakangi jendela. Sesekali aku melongok, melihat keadaan.
Gadis beriris kelam itu sudah sering memperingatkan agar aku tak mengintip seperti itu.
"Sudahlah! Jangan membuat singa kelaparan menemukan daging segar seperti kita."
Aku terkekeh. Pipinya menggelembung.
Aku mengambil alat tulisku, lalu menulis diatasnya.
"Kau tak ingin kembali ke Jepang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshoot: Jas Merah
Historia CortaTema kali ini: Aku adalah pejuang Peserta dituntut untuk menceritakan sebuah kisah dari sudut pandang pejuang kemerdekaan. Genre umumnya adalah historikal, sehingga peserta akan mencoba untuk menghidupkan kembali atau bahkan mencari celah konfontira...