The First Met and The Witch

56 2 0
                                    

Kelvin Shane bukan termasuk laki-laki populer di kampus. Hm, mungkin dia berpotensi untuk menjadi laki-laki populer. Kau tahu, dia tinggi, putih, tetapi agak pucat, rambutnya pirang dan sedikit ikal, dan memiliki senyum termanis yang pernah kutahu selama hidup di galaksi ini. Mungkin karena dia terlalu cuek, segala potensinya itu gugur hingga ia menjadi laki-laki yang tak dikelilingi para wanita.

Walaupun tetap saja ada satu wanita yang fanatik dengannya.

Wanita itu bukan aku. Bukan juga ibunya, sahabatnya, atau saudara-saudara wanitanya yang lain. Wanita itu bernama Abigail. Dia selalu menatapku dengan tatapan penuh rasa benci, sinis, iri, dan, ah, campur-campur pokoknya. Apalagi saat ini dia pasti sudah tahu kalau aku berpacaran dengan Kelvin, karena berita ini sudah cukup menyebar di kalangan teman-teman Kelvin dan aku. Dan aku tak yakin bahwa tatapan yang lebih dari benci itu, yang ditujukan padaku saat ini, bukan karena aku berpacaran dengan Kelvin.

"Tak perlu dilihat." Kelvin menutupi mataku dengan satu tangannya.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku sambil menyingkirkan tangannya.

"Menutupimu dari nenek sihir," jawabnya asal, kemudian tertawa.

Tawanya itu menular sekaligus mengobati, kau tahu?

Ini sudah beberapa minggu sejak aku berpacaran dengannya. Kami kini ada di perpustakaan, mencari buku-buku untuk bahan kuliah. Sekitar lima belas menit kemudian kami selesai mencari buku dan memutuskan untuk mengambil duduk di samping jendela. Jendela perpustakaan ini cukup besar. Dan di tempat ini pula pertama kali aku bertemu dengan Kelvin. Ya ampun, kalau mengingat kejadian itu rasanya aku ingin tertawa.

Apa kau penasaran?

Tentu kau harus penasaran! Karena kalau tidak cerita ini tidak akan berlanjut.

Ini terjadi mungkin sekitar dua bulan yang lalu. Ah, tepatnya dua bulan lima hari yang lalu. Ya, ya, aku begitu mengingatnya karena kejadian ini tak mau pergi dari ingatanku. Saat itu, aku duduk di bangku ini, ya, benar-benar sama seperti sekarang. Perbedaannya, dulu aku duduk sendiri, sedangkan sekarang ada Kelvin di depanku.

Saat itu aku hendak pergi, tetapi kemudian Kelvin—yang dulu aku tak tahu siapa namanya—mendadak berkata, "Eits! Stop, stop! Jangan pergi! Kau terlihat sangat cantik dari sana." Dan dengan tololnya aku menuruti kata-kata Kelvin dan duduk kembali di bangku itu.

Ajaib kan, seorang Kelvin yang cuek dan pemalu bisa berkata seperti itu?

"Sepertinya waktu itu aku mabuk," katanya waktu aku bertanya kenapa dia bisa berkata seperti itu.

Tetapi aku hanya memutar bola mata mendengar jawabannya. Aku tahu kau pasti terpesona padaku, kan?

"Kenapa ketawa-ketawa sendiri?" tanyanya melihatku yang hanya membolak-balik buku tanpa peduli pada apa isinya.

Aku mengangkat bahu. "Hanya teringat saat pertama kali kau dan aku bertemu."

Dia menyahut, "Aku sudah bilang waktu itu aku mabuk."

"Oh ya?"

Kelvin mengangguk. Kelvin, Kelvin, why are you so cute like that? Dia kemudian bertanya, "Kau akan datang ke pesta keluargaku hari Sabtu malam besok kan?"

Aku berpura-pura berpikir. "Ya ampun, aku lupa kalau hari itu aku ada janji dengan sahabatku! Sepertinya aku tak bisa menemanimu kesana. I'm so sorry, Kelvin," ujarku diikuti permintamaafan yang begitu dalam.

Kelvin langsung memasang ekspresi sebal di wajahnya. "Kau bilang kau akan menemaniku. Kau tahu aku pasti mati kutu di sana, Lea."

Aku langsung menarik pipinya, kebiasaanku ketika tak tahan melihat betapa lucu wajahnya itu, terutama ketika merajuk. "Aku bercanda, Kelvin. Aku akan menemanimu. Memangnya aku tega membiarkanmu mati kutu sendirian di sana?" Aku tertawa.

Kelvin menghembuskan napasnya lega, tetapi dengan ekspresi yang masih sedikit sebal. Dia kemudian membuka buku yang dia ambil dari salah satu rak di seberang. "Kalau kau sih, sepertinya tega," katanya tanpa menatapku.

"Oh, begitu? Memangnya aku pernah tega padamu?" sahutku dengan nada menantang.

Kelvin mendongak. "Pernah. Kau tega membuatku cinta mati padamu."

Oh, Kelvin Shane, berhenti menggodaku! Aku terbang!

Kurasa seharusnya malam ini adalah malam yang terbaik. Seharusnya.

Malam ini aku tampil menawan. Gaun berwarna biru yang lembut membalut tubuhku kali ini. Semua orang memujiku. Papa, mama, Kak Anna, adikku Andrew, Kelvin, bahkan keluarganya juga memujiku. Rambutku yang berwarna coklat emas tergerai dengan beberapa bagian yang dikepang. Manis sekali.

Sayangnya, semua ini tak terasa manis lagi ketika melihat Abigail ada di pesta keluarga Kelvin. Oke, aku akan biasa-biasa saja kalau dia datang dengan biasa, menatapku dengan biasa, dan melakukan semua hal dengan biasa! Tetapi kalau dia melihatku dengan sinis dan tatapan menyebalkan itu maka aku pun juga tidak bisa bersikap biasa.

Sekali lagi Kelvin selalu melakukan ritualnya ketika aku melihat Abigail, yaitu menutup mataku.

"Kelvin, stop melakukan ini," kataku sedikit kesal.

Dia melepaskan tangannya. "Aku tak mau bidadari melihat nenek sihir."

"Haha," responku datar. Kini aku sudah kebal dengan kata-kata itu.

Kelvin menggenggam tanganku. "Ayolah, Lea. Jangan biarkan satu orang tidak penting merusak malam ini," katanya. "Mau dansa?" tawarnya kemudian.

Aku mengangguk. Kelvin menarikku ke tengah ruangan, tempat para tamu undangan berkumpul dan melakukan dansa dengan pasangannya. Kami pun segera berdansa, diiringi alunan musik lembut yang menenangkan. Kutempelkan kepalaku di dada Kelvin. Rasanya hanya genggaman tangannya yang hangat ini yang bisa membuat suasana manis ini terasa lagi.

Tetapi mungkin aku belum bisa merasakan manis-manis dulu.

Seorang pelayan, yang entah bagaimana bisa menyenggolku, menumpahkan beberapa minuman yang dibawanya ke gaunku. Beberapa tamu undangan kaget melihat itu. Kelvin terperangah, aku apalagi!

Pelayan itu segera meminta maaf padaku. Sedangkan Kelvin segera mencari tisu, atau pun sapu tangan untuk membersihkan tumpahan minuman di gaunku. Terlihat Abigail di dekat pelayan itu. Dia menatapku dengan penuh kebencian, dan senyuman yang menyebalkan tersungging dari bibirnya. Bukan bermaksud menuduh orang sembarangan ya, tetapi bagaimana bisa kau tak menuduh seseorang yang menatapmu penuh kebencian dan tersenyum senang ketika ada minuman tumpah di gaunmu?

Aku dan Kelvin segera pergi dari pusat ruangan itu. Kami menjauh. Kelvin mengajakku ke salah satu balkon rumahnya yang menghadap ke taman belakang yang cukup luas. Tumben sekali ada banyak bintang dan ada bulan di langit malam ini. Langit cerah, tapi suasana hatiku tak cerah sama sekali.

"Kau baik-baik saja?" tanya Kelvin sambil meremas tanganku.

"No," jawabku sambil menggeleng pelan. "I'm not okay."

Kelvin mendesah, kemudian mendongak. "Well, ini akan terdengar sangat egois, tetapi aku hanya bisa berdoa kalau kau akan selamanya bersamaku, meskipun ada ribuan orang seperti Abigail di galaksi ini."

Kelvin dan aku memang suka menyebut galaksi untuk mengungkapkan dunia yang tak akan pernah aku lihat ujungnya ini.

Aku menyandarkan kepalaku di bahunya. "Aku harap semua ini tak akan menjadi lebih buruk."

Kelvin mencium puncak kepalaku lembut. "Memangnya apa yang bisa lebih buruk?" tanyanya.

"Hmmm... Mungkin ada komet yang tiba-tiba jatuh di rumahmu dan kita semua akan menjadi debu?" celetukku asal. Kelvin tertawa, dan otomatis mood-ku naik seribu kali lipat. "Atau," lanjutku lagi, "ada bidadari yang lebih cantik dariku dan mengambilmu dari sini."

Kelvin tertawa lagi. "Atau, ada pangeran berkuda putih dari negeri dongeng yang tiba-tiba datang dan mengambil Lea si Tuan Putri yang hilang."

Kelvin Shane, you're the prince!

"Atau," kataku melanjutkan permainan atau-atau yang tak jelas ini, "ada laba-laba hitam besar di tanganmu!" seruku cepat lalu segera berlari meninggalkannya.

"Dimana laba-laba?! Tunggu—Lea! Hei!"

Kelvin ShaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang