• an Unexpected Little Hole

455 32 4
                                    

Rue Pov

Pukul 16:15

Tas selempang kulempar sembarangan ketika sudah memasuki kamar kosan.

Tuhan, rasanya melelahkan sekali. Kegiatan pengenalan kampus yang diadakan dalam beberapa hari menghabiskan tenagaku. Baru sehari dan meski hanya duduk seharian dalam aula, hal itu tetap membuat lelah luar biasa. Punggungku pegal. Biasanya ibu akan memijat kaki dan punggungku jika pulang sekolah terlalu larut dahulu. Aku merindukan si gendut itu.

Aku mengusap wajahku dengan satu tangan. Ingin rasanya segera rebahan di tempat tidur tapi tubuhku juga sudah kegerahan. Tak tahan lagi, kulepas semua pakaianku dan mandi. Usai membersihkan tubuh, aku duduk di tepi ranjang dengan handuk melilit di kepala.

Kupandangi kondisi kamar yang tertata rapi kecuali tas selempang yang kulempar sembarangan. Kini tas itu tergeletak di atas lantai dengan isinya yang berhamburan.

Bodo amat.

Tiba-tiba seperti mendengar sesuatu, aku menoleh ke kiri dan kanan. Suasana kos yang hening membuat bulu kudukku merinding. Aku bangkit hendak menyalakan musik tapi sesuatu terdengar kembali. Jantungku berdetak kencang. Was-was sekaligus takut.

Sesuatu itu terdengar seperti suara tangisan. Entahlah tapi yang jelas benar-benar menakutkan. Mulutku komat-kamit membaca doa.

Cukup lama sayup-sayup suara tangis tersebut hilang. Tapi lalu muncul lagi. Aku memasang telinga. Sepertinya suara itu berasal dari sebelah kamarku. Berbagai pikiran melintas dalam benakku. Hal yang tidak masuk akal hingga jorok pun terlintas.

Seolah dapat keberanian lebih dan juga penasaran, kudekati dinding yang menurutku menjadi tempat sumber suara berasal. Dan benar saja, semakin dinding itu kudekati, suara tangis tersebut semakin jelas meski masih sayup-sayup. Aku merinding kembali. Hendak kujauhi tapi ujung mataku menangkap sebuah lubang kecil--nyaris sebesar kelereng--di dinding. Kugigit bibirku lalu berbalik menjauh.

"Sakit..."

Aku menoleh melewati bahu. Kali ini bukan tangisan lagi.

"Perut aku sakit banget..." kata itu terucap dengan suara bergetar. Lirih. "Mom..."

Mataku mengerjap. Langkahku perlahan mendekati dinding dan dengan sedikit berjongkok kuberanikan diri mengintip melalui lubang kecil tadi. Gelap. Hanya itulah yang kulihat.

"Perut aku..." Orang itu menangis lagi. "Kenapa obatnya gak dimasukin juga?" katanya seperti meracau dan menangis lagi.

Aku menelan ludah. "Permisi?"

Tiba-tiba tidak ada suara lagi. Hening. Kemana perginya?

"Halo? Ada orang di sebelah, ya?" sahut sebuah suara. Kecil tapi masih bisa terdengar.

"I-iya."

"Bisa denger aku?"

"I-iya bisa, bisa kok. Kenapa?"

"Syukur kalo gitu..."

Aku terkekeh. Tak tahu kenapa.

"Cewek ato cowok?"

"Oh, cewek."

Hening cukup lama.

"Bisa minta tolong gak?"

"Boleh." kataku ragu karena berbagai pikiran buruk masih memenuhi otakku.

"Punya obat?"

Hah?! Obat apaan? Nyabu maksudnya? Gila!

"Ada obat pereda nyeri gitu?"

Keningku berkerut. "Pereda nyeri apaan?"

"Nyeri haid...ada gak?"

Between the WallWhere stories live. Discover now