NAGA DI TANAH JATAYU

1.1K 21 6
                                    

Letih, lapar, haus, terluka, dan sendiri jauh dari kaumku Naga Akasha, dan tanahku Sarpaloka. Akupun tersenyum getir, setengah mengejek nasibku, Naga muda, di tanah para Jatayu, musuh kami bangsa Naga.

Belum genap satu dithe (minggu dalam bahasa para manuu) yang lalu aku mangikuti ritual khuren, ritual bagi kaum Naga yang menginjak usia lima belas Saka (tahun). Puncaknya adalah persembahan hadiah dari kami naga muda untuk para guru. Dan aku, Anantasaka, yang terlahir sebagai putra Sang Anantareja -pemimpin kaum Naga Akasha-, cucu sang Anantaboga -leluhur bangsa Naga-, ingin persembahan  istimewa untuk guruku yang tak lain adalah ayahku.

Aku tidak ingin seperti naga muda - naga muda lain, yang "hanya" mempersembahkan kulit Singhakumala ("Singa emas"), tulang Simaweshi(Singa besi), ataupun batu Pusthika. Aku ingin mempersembahkan hadiah yang belum pernah Naga muda manapun persembahkan, yaitu daun dan buah Dewandaru. Menurut legenda, ramuan daun Dewandaru yang dicampur getah dari buahnya dapat menutup dan menghentikan semua luka, serta meyembuhkan semua racun dalam sekejap mata. Namun untuk mendapatkannya dibutuhkan keberanian atau lebih tepatnya kenekatan, kebodohan dan kecerobohan, karena Dewandaru yang akarnya menghujam jauh ke dalam Hyang Bhumi (Sang Bumi) hanya tumbuh di tanah permukaan Girikliyang, tempat bangsa Jatayu bermukim.

Bangsa Jatayu, para penguasa langit, tuan dari Hyang Bayu (Sang Angin) telah membantai ribuan Naga -Jantan maupun Betina, bocah ataupun sepuh- hanya karena tak ingin mendiami dan berbagi keindahan Girikliyang dengan kami, yang dari pinggang ke atas bertubuh Manuu dan dari pinggang ke bawah bertubuh Sarpa -ular-. Wujud kami inilah yang mereka anggap menjijikkan. Selain itu, seluruh tubuh kami terlindungi oleh sisik-sisik sekeras karang yang tak dapat ditembus ataupun dilukai oleh senjata dari logam apapun. Namun sayangnya, bangsa Jatayu menguasai sebuah ajian yang disebut Bayusayakha -panah angin- yang dapat dengan mudah menembus sela-sela sisik kami. Sebaliknya, tak ada satu senjata dan ajian kami yang bisa melukai para Jatayu hingga parah. Setiap luka yang kami berikan pada tubuh Jatayu akan segera merapat dan menutup, tanpa pernah menjadi parah.

"Ukh..." Dengan perlahan, terus kupaksakan tubuh ini melata kembali ke Dwarapratala, menyisakan jejak hitam darahku yang tercecer, sementara kedua tanganku menggenggam daun dan buah Dewandaru yang berhasil kupetik, atau tepatnya kucuri. Hingga akhirnya aku berhenti di sebuah telaga jernih, yang airnya berasal dari sela-sela akar sebuah pohon aneh, yang meluber menganak-sungai, mengalir menuju Sembhalun, kota utama bangsa Jatayu. Kuletakkan daun dan buah Dewandaru, kutangkupkan kedua telapak tanganku lalu kucelupkan dalam beningnya telaga. Seteguk demi seteguk air telaga membasahi kerongkonganku.

"Akkhhhh...." Airnya jauh lebih segar daripada air yang biasa kuminum di Sarpaloka.

Setelah dahagaku terpuaskan, perlahan ku-melata menuju sisi lain pohon ini yang tidak memunculkan mata air. Setelah meletakkan hasil curianku, kupejamkan mata, kurapal mantra Hyang Bhumi.

Tanpa henti, sebagai tuan dari Hyang Bhumi, kurapal mantra Ajian Lebur Bhumi Sakheti, salah satu ajian penyembuh yang kami miliki. Melata pada tanah terkutuk yang hijau disesaki sesuatu yang baru kali ini kulihat. Sesuatu yang mungkin disebut rerumputan, suket atau apalah namanya. Berharap tanah ini mau bermurah memberikan sedikit perlindunganya padaku, menyembuhkan luka-lukaku akibat sisik-sisik yang tercabut, menghilangkan sakit di sekujur tubuhku, akibat pukulan dan tendangan Jatayu semalam -seorang Garuda dan beberapa Sempati pengawalnya serta puluhan Jatayu Alit. Namun, tanah terkutuk ini -yang menurut guru-guru Naga, sedalam sepuluh tombak telah ternodai mantra kotor para pemantra Jatayu, Mantra Bayu Bala' Bhumi- tetap menolak untuk patuh padaku.

NAGA DI TANAH JATAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang