Halo mas mantan, apa kbr? Ak lg di kotamu nih & sangatsangatsangat bth bantuan dr km. Segera! Kita ktmuan di stasiun jam 4 sore, ya!
–Bila–
*
Siang ini sangat damai, dimana sinar matahari tidak terasa begitu menyengat, angin berhembus lembut. Bahkan jalanan tidak dipenuhi oleh berbagai jenis kendaraan bermotor, membuat dunia serasa lebih sunyi dari biasanya dan udara terasa lebih bersih dari sebelumnya. Namun kedamaian di siang ini runtuh setelah sms itu tiba. Setelah membaca sms itu, dunia rasanya tiba-tiba di mute sehingga terasa benar-benar bisu, lebih bisu daripada yang mungkin dapat dirasakan.
Tirta Hara baru saja memotret seorang siswa SMA yang sedang membaca buku sendirian dengan bersandar di monumen kereta api uap yang ada di samping Lawang Sewu, salah satu bangunan simbolik Kota Semarang, ketika membaca pesan tersebut. Mau tak mau, ia merutuki datangnya pesan itu. Kenapa harus hari ini? HARI INI?! Dari sekian banyak hari yang ada...
Tirta menghela napas. Dihapusnya peluh yang mengalir menuju matanya. Ia terduduk di halte yang berada di samping pagar Lawang Sewu. Setelah meletakkan kamera profesionalnya ke dalam tas dengan sangat hati-hati, kedua tangannya meremas rambut dengan gemas. Ada gerak kesakitan disana. Bukan kesakitan fisik, namun batin. Kenangan yang tiba-tiba menyeruak karena sms itu, sunguh... begitu indah, namun juga sangat perih.
Sekali lagi, Bila sukses memporakporandakan hatinya.
*
Seorang gadis dengan rambut sebahu sedang duduk sendirian di kamar hotelnya yang memiliki akses pemandangan langsung menghadap Lapangan Simpang Lima, yang merupakan jantung dari Kota Semarang. Nabila Parisya–nama gadis itu–memilih untuk tinggal di hotel alih-alih menginap di rumah keluarganya di daerah Banyumanik. Hari ini, Bila datang bukan untuk urusan keluarga. Urusan keluarganya sudah selesai beberapa hari lampau. Khusus untuk hari ini, Bila ingin berkonsentrasi terhadap satu hal yang belum tuntas di masalalu.
Untuk seseorang yang ia bangkitkan dari keterpurukan, namun kembali ia jatuhkan dengan kejam.
Bila tahu, ia tak pantas mendapatkan pengampunan dari Tirta. Walau bagaimanapun juga, Bila ingin memastikan semuanya sendiri. Hari ini, dan harus hari ini. Maaf karena hanya hari ini yang menjadi pilihan...
Sembari memastikan kembali penampilannya–terusan tanpa lengan selutut berwarna biru muda dan wedges berwarna senada–gadis itu keluar dari kamar hotelnya, dan bergegas menuju Stasiun Semarang Tawang.
*
Stasiun Semarang Tawang. Satu setengah jam lebih awal daripada waktu yang dijanjikan. Sengaja, karena ini bukan pertemuan yang mudah buat Tirta. Semuanya butuh persiapan, terutama hati.
Setelah turun dari mobil yang sudah terparkir sempurna, sejenak... Pria itu bingung harus menuju kemana. Segala sudut di stasiun ini benar-benar penuh kenangan. Dan itu artinya benar-benar segalanya. Termasuk parkiran ini. Juga tempat membeli tiket. Juga tempat makan di dalam stasiun. Segala sudutnya adalah kenangan. Dan ini semua membuatnya frustasi. Karena semua kenangan itu yang telah membuat Tirta sebisa mungkin tidak menginjakkan kaki di stasiun ini selama empat tahun terakhir.
Setelah memejamkan mata sesaat, perlahan Tirta mengedarkan pandangan ke segala penjuru stasiun dari parkiran ini. Arsitektur bangunan salah satu stasiun kereta api tertua di Indonesia ini sukses membuat mata siapapun yang memandang terpukau oleh keindahannya. Di hadapannya langsung terdapat Polder Tawang yang tak kalah indahnya, yang airnya berkilau karena sinar matahari. Cantik. Sangat cantik. Secantik senyumannya.
Hhh... Baiklah. Persiapan hati ini akan dimulai dari sini.
*
Dari kejauhan, Bila dapat melihat Tirta. Sosoknya tidak berubah dan gampang dikenali.
Bila sudah dapat menebaknya, bahwa Tirta akan sampai lebih cepat di tempat ini. Stasiun kereta api. Tempat dimana segala pertemuan dan perpisahan terjadi.
Melihat Tirta lagi–walau hanya dari kejauhan–membuat gadis itu didera gelombang rasa bersalah. Ia merasa bersalah karena telah memahami Tirta sebegitu dalamnya, dan menyakiti pria itu sebegitu dalamnya pula. Pertanyaannya: sanggupkah Bila menyuarakan semua yang telah ia persiapkan di hadapan Tirta?
Tiba-tiba Bila merasa tidak yakin bahwa hatinya akan siap dengan segala kejadian satu jam ke depan.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertemuan di Stasiun Kenangan
General Fiction-Tirta Hara- Seorang pria yang membenci hari Rabu. Sempat mengira bahwa Rabu Kelabu sudah pergi berkat kedatangan Bila dalam hidupnya, namun ternyata sama saja. Bila datang hanya untuk menoreh luka di hari Rabu, di tempat yang penuh dengan kenangan...