Chapter 9

5.6K 509 43
                                    

Pertanyaan Marvin segera dijawab Aldric.

"Kami sudah bertunangan dan lamaran." Aldric berhati-hati. Sangat berhati-hati sehingga apa yang dikatakan selanjutnya akan jauh lebih jelas. "Tapi, entah mengapa. Setelah lamaran, keraguan semakin datang. Bukan hanya untuk Hazel, namun untuk saya sendiri."

"Saya pikir kamu mencintai Hazel." Marvin menelan ludah, begitu susah payah mengatakannya.

"Cinta saja tidak cukup kan? Hazel ragu begitupun saya. Kami membicarakan hal itu dua hari setelah lamaran."

Marvin semakin tidak mengerti jalan pikiran Aldric. Bukankah setelah lamaran, mereka siap menyusun rencana untuk menikah?

"Bagaimana pendapat keluarga kamu?"

Pertanyaan itu tidak bisa dicegah. Marvin menggeleng karena merasa tidak pantas menanyakannya.

"Semua keputusan ada di tangan saya." Aldric menjawab begitu mudah. Sampai-sampai Marvin berpikir bahwa Aldric tengah berbohong. "Mereka memang kecewa, tapi setelah dijelaskan, mereka bisa mengerti."

Aldric melanjutkan.

"Mungkin orang lain akan menilai apa yang saya dan Hazel putuskan bersama ini sudah benar-benar gila. Apalagi yang kami tunggu, sampai memutuskan hubungan justru setelah saya melamarnya."

Marvin kini malah menjadi kebingungan. Dia tidak tahu harus memberikan komentar seperti apa. Ternyata hubungan Aldric dan Hazel kini hanya sebatas teman saja.

"Kamu nggak berpikir sikap kamu itu akan mempermalukan keluarga kamu?" tanya Marvin. Dia sudah khatam dengan segala kesalahannya di masa lalu, sehingga dalam pikirannya kini, rasa malu keluarga adalah hal yang paling dijunjung tinggi.

Aldric hanya tersenyum.

Marvin mengutuk dirinya. "Maaf. Saya hanya masih belum bisa mengerti semua ini."

"Nanti juga kamu akan mengerti." Aldric menandaskan black coffeenya. "Udah ya. Saya duluan."

"Tapi, kamu belum bilang alasan kamu memberitahu saya soal ini."

Aldric menepuk bahunya.

"Saya tahu Hazel masih menunggu kamu. Dan soal Marvel. Dia pasti senang kamu memperkenalkan diri sebagai ayahnya."

Ada hening sejenak, sebelum Marvin menganggukkan kepala.

***

"Bunda. El mau ke sana,"

Marvel menunjuk ke arah wahana bermain anak ketika mereka baru saja tiba di lantai tiga. Hazel hanya mencubit pipi Marvel dan memberitahunya bahwa mereka harus ke tempat lain.

"Nanti ya. Bunda sama tante Vio mau lihat sepatu dulu. Sabar ya, Sayang?"

Vio yang berjalan lebih dulu, langsung mencolek tangannya.

"Kak, itu bukannya mbak Meryl?"

Hazel langsung menoleh ke belakang. Ternyata memang benar. Meryl baru saja menjejakkan kaki setelah eskalator tempatnya berpijak sampai ke atas.

"Iya, Vi." Hazel langsung merasa tidak nyaman, tapi menyadari bahwa sikap tersebut juga akan membuat Meryl tidak enak hati.

"Hazel," Meryl menjabat tangannya dan langsung menempelkan pipi kanan dan kiri. "Udah lama banget ya kita nggak ketemu? Apa kabar?"

"Baik, Mbak." Hazel tersenyum. "Mbak gimana?"

"Baik dong," Meryl langsung berpaling menatap Marvel yang berpegangan erat pada sang bunda. "Eh, Marvel. Ini tante Meryl. Masih ingat kan sama Tante?"

"Iyah!" jawab Marvel.

"Pinter," Meryl merunduk untuk mencubit ke dua pipi keponakannya itu. "Nah. El ke sini mau bermain ya?"

"Iya. Mau," Marvel menyangka Meryl sedang mengajaknya.

"Zel, Mbak mau meeting sama klien di kafe itu," Meryl menunjuk sebuah kafe yang sepertinya hanya diperuntukkan bagi mereka yang rela merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk secangkir kopi luwak atau sepotong brownies.

"Oh, oke Mbak."

"Ayo sekalian ikut ke sana. Meetingku juga nggak lama kok. Aku pesenin dua meja ya?"

Hazel melirik Vio yang saat itu sudah tidak sabar untuk melihat-lihat tas di sebuah distro di lantai itu.

"Mm, gimana ya?" Hazel berpikir-pikir.

"Vio ke distronya sendiri aja, Kak. Atau sekalian Vio ajak El?"

Marvel menggeleng ketika Vio mengajaknya pergi. "Mau sama Bunda,"

"Ayo. Iya, nggak pa-pa kalo Vio mau jalan dulu." Meryl tersenyum kepada Vio yang sudah berpamitan kepada Hazel.

Hazel pun mengikuti langkah Meryl menuju kafe bernuansa warna hitam. Masih ada tiga meja yang kosong. Meryl segera membooking meja, sementara orang yang akan meeting dengannya sudah menunggu di meja yang lain. Mereka, dua orang laki-laki dan perempuan dengan penampilan khas eksekutif muda.

"Kalau mau milkshake untuk Marvel juga ada kok." Meryl mengarahkan Hazel untuk duduk. "Aku meeting dulu ya. Nggak lama kok."

"Iya, Mbak."

Meryl mengeluarkan ponselnya dengan cepat. Mengirimkan SMS singkat kepada Marvin.

***

Marvin mengerutkan kening.

"Ngapain lagi mbak Meryl SMS?"

Third Perfection (SUDAH DIBUKUKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang