Terakhir - End

143 6 2
                                    


"Semua surat sudah diurus," suara seorang wanita paru baya pada cermin diriku.

Aku mendesah pelan.

"Termasuk kepindahan sekolahmu."

Aku mendesah lagi. Besok atau lusa atau hari-hari berikutnya. Aku akan ... akan kesepian.

"Ni, jaga kesehatan ya, kakak bakal balik lagi," ucapnya yang entah sudah yang keberapa kali.

Aku diam tanpa ekspresi. Menatap kosong ke matanya. Matanya begitu sendu. Aku ingin menangis, tapi air mata ini tidak menetes sedikitpun. Dan akhirnya aku melihat dia pergi dengan mobil mewah yang mulai menjauh.

Selamat tinggal, Driana Wasky, kakak kembarku tersayang.

Aku kembali masuk ke panti asuhan, rumahku. Selangkah aku masuk, semua diam. Menunduk, seakan aku adalah orang yang ditakuti. Aku memang orang yang ditakuti, dengan catatan saat sedang bersedih. Air mata ini tidak mengalir tapi hati ini sakit.

Itu 8 tahun yang lalu, saat kami berumur 8 tahun. Ironisnya, selama 8 tahun dia hanya mengunjungiku sekali. Saat kami berulang tahun yang ke sepuluh. Entah kenapa orangtua angkatnya menolak untuk mengangkatku sebagai anaknya juga.

"Hey! Melamun aja!" teriakan seseorang yang disertai pukulan di mejaku.

Kaget, jantungku berdetak 100 kali lebih cepat! Ok lebay. Aku baru sadar, aku masih di sekolah.

"Lo ngagetin aja, nanti masuk rumah sakit lagi gue!"

"Yaelah, gue juga yang nemenin lo setiap jam."

"Tapi lo gak bayar biayanya!"

"Lo kan udah dibayar sama donatur panti yang lo bilang kece baday!"

"Diem Intan!" bentakku.

Aku jadi teringat rumah sakit. Terakhir kali 2 bulan lalu, saat aku benar-benar drop dengan pekerjaan paruh waktu. Sejak itu aku mengurangi jam kerjaku. Donatur panti, Vian, dia yang membiayai semua urusan kesehatanku yang kian memburuk.

"Udah, pulang yuk!" ajaknya.

Aku menurut bagai anak kecil. Sekolah sudah mulai sepi. Dan saat perjalanan pulang, hatiku retak! Aku melihat Driana, cermin diriku, berkendara berdua dengan donaturku! Jantungku sakit kembali. Kutahan karena sebentar lagi aku sampai rumah.

"Ni, udah sampe, bye," sahut Intan seraya melambaikan tangan.

"Bye," jawbaku lirih sesegera mungkin masuk kerumah.

Ugh! Aku tak kuat. Lalu semua gelap! Lagi.

***

Dua suara, ah... tidak, tiga suara. Terlalu silau untuk membuka mata. Setelah mengerjapkan mata berkali-kali aku merasa dapat kembali membuka mata. Begitu banyak alat-alat yang terpasang ditubuhku.

"Driani?!" teriak seorang gadis yang kukenal.

Cermin diriku, Driana. Air matanya mengalir. Tapi tidak denganku. Aku masih diam melihatnya masih membenamkan wajah di dekat tanganku. Aku mengelus kepalanya, cara yang sama untuk menenangkannya.

"Entah sudah berapa kali aku masuk rumah sakit. Kakak gak pernah dateng. Bahkan untuk berkomunikasi, aku gak bisa," sahutku parau.

"Aku takut! Takut dengan keadaanmu yang semakin memburuk. Tapi aku gak bisa dateng! Aku dilarang bertemu denganmu. Tapi aku akan kembali ke panti. Aku gak bahagia kalo terus mikirin keadaan kamu dari jauh. Tanpa tau yang pastinya. Bahkan aku kabur dari rumah setelah tau kalo keadaanmu sangat buruk," jawabnya masih menangis.

"Kak, aku mau minta 1 permintaan. Baru kakak boleh pergi."

"Aku gak akan pergi lagi, selamanya!"

"Kalo gitu, biar aku yang pergi. Kakak harus sama orangtua kakak, pliss turuti aja permintaanku yang terakhir."

Yang terakhir....

"Aku mau main di taman kayak dulu. Kita main sampe capek, trus beli es krim, duduk-duduk di bangku favorit."

"Keadaanmu gak mendukung. Aku menolak!"

"Plis kak, untuk yang terakhir." Dia diam, lalu mengangguk. Hanya mengangguk.

Aku meminta izin untuk pulang. Dapat dikatakan mengemis izin. Dan, yahh, hati mereka luluh, aku diperbolehkan pulang dengan syarat aku tidak boleh lelah.

***

Aku berjalan di terangnya sore menuju taman dekat panti. Taman ini selalu ramai saat sore hari. Dan kini taman sepi, aku duduk sendirian di ayunan.

Kenangan masa laluku dengan Driana terulang begitu saja. Kami bermain bersama, bahkan aku pernah pura-pura sakit saat tengah bermain, dengan akhir aku melihat dia menangis sejadinya.

Aku merasa ada yang mengintaiku sejak tadi. Ada orang di belakangku.

"Waa!" teriakku setelah menyadari bahwa kakakku memenuhi kakiku dengan pasir, sama seperti dulu. Dan sekarang sepatu yang kupakai sudah penuh dengan pasir.

Aku membalasnya. Mengambil pasir dari tempatnya dengan ember kecil. Ia pun melakukan hal yang sama. Lempar-lemparan pasir.

"Udah, istirahat dulu," katanya seraya menyuruhku duduk didekat keran untuk mencuci tangan.

Sepertinya aku tau harus ngapain. Aku mengambil ember kecil tadi dan mengisi penuh dengan air. Hal selanjutnya adalah berubah menjadi anak kecil, menyiram kakakku. Dia berubah basah kuyup. Sedangkan aku masih kering.

"Udah ah! Beli es krim yuk!" ajaknya ceria.

"Beliin dong, aku vanilla ya!"

"Ok, tunggu bentar!"

Dia berlari masih dengan baju basah kuyup namun ditutupi dengan jaket.

Akh!

***

Driana POV

Es krim vanilla, es krim vanilla, es krim vanilla~

Es krim kesukaan Driani. Sesegera mungkin aku kembali.

Saat memasuki taman, aku tak melihat Driani di ayunan, tapi dia tergeletak di tanah. Es krim yang kupegang tak lagi kupedulikan. Jantungnya! Detak jantungnya lemah. Aku segera menarik dan menggendongnya menuju panti.

Beruntungnya aku, Vian masih di panti. Aku segera meminta Vian agar cepat menuju rumah sakit.

Dalam perjalanan aku menangis, bahkan sampai Driani masuk UGD, sampai dokter keluar menyatakan keadaan bahwa adikku, Driani Wasky...

Yang terakhir....

***

"Ni, kakak bawain es krim vanilla," lirihku pada sebuah makam di hadapanku.

"Kakak juga bawa surat kamu yang kamu buat 3 tahun lalu."

Kak, Driani pengen kita bareng lagi. Seru-seruan di taman kayak dulu sama anak-anak lain. Aku kangen kakak. Ngapa kakak gak pernah dateng lagi?

Bahkan jika tangan ini tak mampu mengandeng tanganmu lagi. Kaki ini tak mampu melangkah bersama. Mata ini tak bisa terbuka lagi. Jantung ini tak kuat berdetak lagi. Aku masih tetap merindukan dan menyayangimu.

Jika nanti aku telah tiada, kuharap kau datang untuk kembali padaku sebentar saja. Cukup sebentar saja.

Driani Wesky, kembaranmu.

***

Surat dari Driani membuatku mematung setiap saat membacanya. Tenanglah, kau akan selalu jadi bagian dari hidupku.

Terakhir - Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang