THREE

134 8 3
                                    

Cherry POV

Setelah asyik seharian diajak Rafa berkeliling kota minyak ini, akhirnya aku pun tiba di rumah tercintaku. Home sweet home

Aku membuka pintu pagar kayu bercat putih yang hanya sebatas pinggangku saja, sesaat aku memasuki halaman rumah. aku melihat ada dua motor terparkir di halaman rumahku.

Kak Gerry ada tamu, tumben banget kak Gerry bawa temen ke rumah. Yah setelah insiden 7 tahun yang lalu, kak Gerry tak pernah lagi membawa teman ataupun sahabatnya kerumah. Ia takut insiden itu akan terulang lagi, kejadian dimana masa-masa remajaku harus terpuruk karena lelaki berengsek itu.

Setelah kejadian itu, kak Gerry merasa dirinya lah yang paling bersalah. Bahkan dengan geramnya saat itu kak Gerry hampir membunuh lelaki berengsek itu. Dan sejak saat itu aku mulai membenci namanya lelaki.

Tapi apa mungkin tamu ibu, yah memang mungkin ini tamu ibu. Lagian tak mungkin kak Gerry bawa temannya itu.

Langkah kakiku sudah semakin dekat menuju pintu hingga sebuah makian terdengar dari dalam rumah

"JANGAN HARAP KAMU BISA MENDAPATKAN MAAF DARI KAMI" ku dengar suara kak Gerry yang memaki, apa yang terjadi? Mengapa kak Gerry sangat marah, kak Gerry yang ku tahu adalah cowok pendiam dan penyabar. Satu hal yang membuatnya tempramental adalah lelaki berengsek itu.

Aku mempecepat langkahku jangan bilang kak Gerry marah karena...
Mataku melebar ketika ku lihat seorang lelaki berambut gondrong yang ia kuncir kuda. Aku tahu, aku tahu siapa lelaki itu, ia tengah berlutut di hadapan kak Gerry dan juga ibu.

Seketika aku kehilangan nafasku, rasa takut dan gelisahku pun hadir kembali. Luka yang susah payah ku sembuhkan dengan berbagai cara pun kembali terkuak saat aku melihat kembali wajahnya itu.

"BAJINGAN!" teriakku, lalu semuanya terasa begitu gelap dan badanku pun melemah, aku kehilangan daya untuk menompang tubuhku. Dan semuanya hilang begitu saja dari pandanganku.

****

Aku membuka mataku perlahan, dan seketika itu pula sakit kepala menyerangku ketika mataku sudah terbuka sepenuhnya.

Aku meringis kesakitan lalu memijat pelipisku pelan, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan.

Aku bernafas dengan lega begitu ku lihat aku berada di kamarku bukan di rumah sakit, hal yang selalu ku benci karena bau obatnya yang membuatku mual.

Pintu kamarku diketuk dan beberapa saat Ibu masuk sambil membawa segelas air putih.

"Cherry kamu gak apa-apa sayang?" Tanya Ibu dengan tergesa-gesa menghampiriku. Ibu menaruh segelas air putih itu di nakas samping tempat tidur

"Nda, bu. Cherry nda apa-apa" aku mengangguk dan memandang Ibu sendu

Ibu mengelus rambutku yang terurai, matanya berkaca-kaca lalu memelukku.

"Nak, maafin Ibu karena nda bisa menjagamu saat itu" Ibu kembali merasa bersalah, kejadian tujuh tahun yang lalu jelas bukan salah Ibu. Itu murni karena lelaki bajingan itu.

Saat aku mengingat lelaki itu, yang ku rasakan adalah marah, benci, sakit, takut, dan cemas. Aku kembali menepis ketika kejadian itu kembali terputar ulang di kepalaku.

Ahhh tidak aku harus melupakan itu, hidupku sudah lebih baik saat ini. Dan aku tak ingin kehidupanku menjadi buruk seperti tahun tahun lalu.

Aku membutuhkan angin segar untuk menyegarkan fikiranku.

"Bu, Cherry mau keluar boleh?" tanyaku dengan suara serak.

Ibu melepaskan pelukannya dan menatapku "mau kemana nak?"

"Emm, ke rumah Rafa. Cherry mau konsultasi sama dia " kataku, tapi sebenarnya bukan itulah rencanaku. Yah aku berbohong, karena bila Ibu tahu aku akan pergi tak punya tujuan pasti mama akan marah.

"Baiklah, kalau begitu biar kak Gerry mengantarmu" kata mama seraya beranjak dari tempat tidurku.

"Nda usah bu, Cherry bisa sendiri kok kesana sendirian" aku menahan tangan Ibu yang sudah ingin berjalan keluar kamarku.

Ibu menoleh dan menatapku "Cherry" katanya tegas.

"Bu, Cherry mau sendiri. Pliss" kataku memasang mata puppy eyesku

"Baiklah, Ibu izinkan. Tapi jangan pulang terlalu malam" kata Ibu dengan senyum, lalu mengelus rambutku pelan. Hal yang selalu ku suka saat Ibu memanjakanku.

"Makasih bu!" Seruku lalu memeluknya erat, Ibu terperanjat namun ia pun juga ikut tersenyum karena tingkahku yang ajaib.

****

Hate is LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang