Tamu Tak Diundang

213 22 6
                                    

Suara anak-anak seangkatan, membuatku gerah. Ujian Nasional memang udah selasai dari lima menit yang lalu. Dengan dua puluh paket soalnya yang isinya membuat kepala hampir mau pecah. Ditambah mengisi lingkaran hitam lebih dari lima puluh. Dengan ujian seberat itu, untungnya sekarang kami sudah merdeka. Tinggal dua puluh lima persen lagi, dijajah dengan bayang-bayang lulus atau tidak.

Mana tadi ada lima soal yang tidak bisa aku jawab. Sekelas dengan Qidham, tidak membuatku gampang. Dia duduk tepat serong kanan dan di hadapan guru pengawas. Apalagi bapak-bapak yang berkumis hitam lebat. Beliau seperti bisa membaca pikiranku.

"Jangan bayangin gebetan kamu terus, Mayang. Kasihan kertasnya kamu diamin aja." Pak Parno yang baru saja aku tahu namanya, mendekati mejaku. Seketika semua murid yang sedang berkonsentrasi mengerjakan soal, menoleh ke arahku. Terutama Qidham yang menautkan kedua alisnya. Seakan berkata 'Serius lo?'

Aku hanya menyengir kuda. Menunjukkan deretan gigiku yang putih serta gigi gingsul di bagian kanan atas.

"Sudah yang lainnya lanjutkan." Terdengar suara tertawa dari beberapa anak yang duduk di belakangku, dan sebagiannya langsung mulai mengerjakan lagi atau ada yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Bertanya kanan kiri.

"Memangnya dengan membayangkan dia, kamu bisa mengisi soal itu?"

"Ya bukan begitu. Cuma sebagai penyemangat aja." Balasku.

Aku kembali melihat soal peluang. Soal itu dengan baik hatinya, menghilang begitu saja. Tanpa memberiku ingatan sedikitpun untuk mengerjainya.

"Penyemangat? Dia saja sedang mendiamkanmu, masalah origami."

"What? Bapak tahu darimana?" teriakku, yang membuat semua mata menatapku.

Aku hanya membisikkan kata 'maaf' yang entah bisa terdengar oleh semuanya.

"Di kertas buram kamu, tertulis banyak kata Origami." Seketika aku menatap kertas buramku. Memang benar sebagian besar dari kertas itu hanya kata origami yang menghiasi daripada coretan hitung-hitungan. "Selesaikan dahulu, baru kamu boleh galau sepuasnya."

"Kenapa lo?" Alya melingkarkan lengannya di leherku. Menarikku menjauhi lapangan. Dia teman dekatku, selain Qidham. Kenal sejak awal masuk SMA.

Waktu itu, motor papa mogok di jalan. Tidak ada satu pun bengkel yang buka karena masih pagi. Papa menyuruhku jalan kaki, yang mau tidak mau harus aku lakukan. Bukan masalah malu dengan penampilan. Di sekolahku masih terbilang wajar. Para senior tidak menyuruh kami untuk berdandan dengan ketentuan dan syarat yang berlaku. Kami hanyak memakai seragam SMP, putih biru, dengan rambut yang terkuncir dan sebuah pita merah putih yang melingkar di lengan kananku.

Aku berjalan dengan lemas mencoba bisa mencuri tidur sedikit saja. Mungkin jalanku sudah sama seperti siput. Sepuluh menitan aku sampai dan sayangnya upacara sudah dimulai. Aku hanya berdiri di depan gerbang dengan tersenyum bahagia. Alya ternyata juga terlambat.

"Lo ingat pertama kali kita kenalan?" aku mengimbangi jalan Alya yang cepat.

Alya berhenti sejenak dan menatapku. "Lo tidur sambil berdiri di depan gerbang dan gue jualan kacang sendirian."

Aku memutar bola mataku, "bukan bagian itu."

"Lalu?" tanyanya sambil melanjutkan jalannya.

"kenapa lo langsung peluk gue dan mengucapkan terima kasih?"

Bukannya menjawab, dia malah meninggalkanku. Aku tahu, mungkin ada yang disembunyikan dariku, atau mungkin aku mirip dengan artis Korea yang bernama IU jadinya dia senang bertemu denganku. Duh kalau benar mukaku sudah mirip, rasanya tidak perlu lagi aku menjalankan ritual ajaran sesat yang kuperoleh dari teman sekelasku. Mandi kembang tujuh rupa ditambah segelas susu setiap sore.

Kalau saja, siswa siswi tertawa lepas di lapangan, mungkin parkiran akan ramai. Kali ini parkiran sekolah tidak begitu ramai. Hanya beberapa anak yang mengambil motornya. Sedangkan Qidham sudah duduk di atas motor besarnya yang berwarna merah.

"Ayo May." Helm merah muda itu diserahkan ke tanganku. Qidham dengan senang hati mengantarku pulang jika aku tidak membawa sepeda kesayanganku.

"Dipakai bukan dilihatin." Katanya lagi sambil merebut helmku. Aku mencibirkan bibir. Sepertinya dia masih ingat kalimat tadi saat ujian. Dengan cekatan Qidham memasangkan helm itu. "Nah, ayo naik. Kita mampir di Kang Jo dulu, beli somay."

Aku langsung naik ke motor Qidham. Berdoa agar rok sekolahku tidak robek karena motornya yang terlalu tinggi. Dan maaf aku tidak mau mengakui bahwa aku pendek.

Perjalanan dari sekolah ke tempat Kang Jo mangkal tidak terlalu jauh. Lima menit jalan kaki juga sampai. Tempat Kang Jo memang sederhana namun nyaman untuk nongkrong anak muda. Bersih dan tidak panas, dengan banyak pohon di sekitarnya. Hanya saja tidak ada wifi.

"Kang, kayak biasa. Bumbu kacangnya dibanyakin ya."

Aku dan Qidham langsung duduk di bawah pohon besar yang sudah diberi alas tikar.

Kang Jo mengacungkan jempolnya. "Yang buat Neng Mayang gak pakai kentang sama pare kan?"

"Iya Kang. Sekalian buat Qidham tambahin racun tikus, Kang!" Qidham melempar sapu tangannya ke arahku.

"Terima kasih!" balasnya.

***

Tiga kata. Tamu tak diundang. Bulan ini terlalu sial buatku mungkin. Keponakan mama yang tidak lain sepupuku, datang ke rumah. Perempuan menyebalkan itu membawa koper besarnya. Ini pertanda buruk. Berarti dia jadi tinggal di rumahku ini.

Bulan kemarin, mama sudah bilang, bahwa Tania akan tinggal di sini, selama yang dia mau. Apalagi, sejak orangtuanya pindah ke Bandung, dia kost bersama teman-temannya. Mama dan Budhe Ratih khawatir akan membawa hal buruk bagi Tania bila diteruskan. Lagian, siapa suruh jauh sama orangtua. Padahal Tania sudah kuliah. Dia hanya beda satu tahun di atasku, namun umur kami sama. Hanya karena dia mengambil kelas akselerasi.

"Kamar kamu, sebelah kamarnya Mayang ya." Mama membuka pintu kamar bercat putih itu. Semuanya sudah dibersihkan tadi pagi. Kamarnya juga bernuansa merah muda, sama seperti kamarku.

"Iya Tante." Senyum itu terukir di wajahnya.

"Kalau butuh apa-apa kamu bilang aja sama Tante, atau gak Mayang. Dulu kalian dekat banget."

Dekat apanya? Dia itu tukang siksa. Sepupu kampret!

"Mayang pasti bakalan repot karena aku." Dia melirikku.

Iya, repot karena permintaan kamu yang menyebalkan tingkat dewa. Apalagi dia selalu merebut apa yang aku suka. Awas saja, kalau dia merebut gebetanku meski aku mulai mencium bau-bau neighborzone, tetapi tetap saja itu tidak boleh terjadi!

Dan sepertinya aku juga harus menjauhkan Qidham dari dia. Secara dahulunya dia terobsesi menjadi teman dekat Qidham. Pakai acara modus. Bilang dia sakit gara-gara kehujanan, antarin aku mencari jangkrik untuk praktik Biologi. Aslinya, aku yang kehujanan karena payungnya dipakai sama dia sendiri. Saat sudah dekat dengan komplek, payung itu diberikan kepadaku.

"Mayang ke kamar dulu ya Ma." Aku langsung masuk kamar. Mencari ketenangan.

Ternyata tak sampai lima menit, ketenangan itu hilang seketika. Tania, dengan gayanya masuk ke kamarku tanpa izin dan mengeluarkan handphone terbarunya.

"Mayang, gue punya hadiah buat lo." Katanya sambil berbaring di sampingku. Dia memutar rekaman suara. Suara yang sangat familiar di telingaku.

Lantunan lagu If Ain't Got You diiringi petikan gitar. Itu suaranya Qidham. Asli, original tanpa bajakan. Aku menggigit bibir bagian dalam. Qidham, tidak pernah mau bila aku memintanya menyanyikan lagu kesukaanku. Tetapi, Tania mempunyai rekamannya. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia memaksa Qidham. Sedangkan aku yang sampai mengeluarkan jurus andalan pun tak pernah dia hiraukan.

"Sekarang lo udah tahu kan? Kalian hanya friendzone!"

#TBC

Last RomeoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang