Selama seminggu aku berkutik dengan segala mata pelajaran yang memusingkan. Dan selama seminggu itu juga aku berdiam diri merasakan rindu yang mendalam ala anak remaja cantik dengan seribu pesona yang tertolak sang doi. Bagaimana iya, kak Furqon baru pulang semalam dari acara kencannya dengan pekerjaannya. Semoga saja dia tidak kencan dengan tarzan atau nenek-nenek yang suka memangsa anak muda. 'Cemburu adek, bang!'
Kali ini sekolah sepi seperti biasa. Karena jam pelajaran sedang berlangsung, tetapi aku sebagai murid teladan yang baik malah asik duduk di kantin menikmati sepiring nasi goreng ayam kremes dan belasan bungkus coklat. Bukan dari fansku. Tetapi dari fans Qidham yang nyebelin setinggi langit.
Pagi-pagi sekali saat tiba di sekolah, perempuan-perempuan itu sudah mengantri di depan kelasku. Memberikan coklat berbentuk love dengan malu-malu. Cih, malu-malu gila iya. Lagian apa pesonanya Qidham sih. Hanya anak basket yang kebetulan nilai akademiknya selalu bagus. Sampai dua kali memenangkan olimpiade tingkat nasional. Lalu, ketua osis. Ya walaupun mukanya juga lumayan, tetapi kan masih gantengan kak Furqon.
"Muka gak usah ditekuk gitu, May!" ujarnya dengan mencomot kerupuk udang dari piringku. "Coklat udah banyak juga."
"Banyak? Bagaimana kalau itu semua isinya racun? Lo mau tanggung jawab? Gue masih mau hidup dengan tenang dan menjalin kasih dengan Kak Furqon!"
Tahun lalu setelah Qidham memberikan seluruh coklat yang dia dapat kepadaku, aku malah tertimpa sial. Saat istirahat dan kebetulan selesai pelajaran olahraga, para perempuan gila itu menyekapku di kamar mandi. Mereka memaki-makiku dan memaksaku untuk menjauhi Qidham. Dan untung saja aku masih ingat jurus andalanku di saat genting seperti itu. Aku langsung berteriak sekencang-kencangnya dan menangis histeris. Sampai beberapa anak masuk dan menanyai apa yang terjadi. Sedangkan para perempuan gila itu sudah kabur entah kemana. Pernah juga mereka mengempesi ban sepeda tersayangku.
"Ya tinggal gue bacain yasin." Jawabnya enteng.
Aku langsung melempar kepalanya dengan sendok.
"Aduh!" jeritnya. "Kira-kira dong May. Sakit tau!"
"Lo mau gue cepat mati?"
"Ya gak. Nanti betina garang gue siapa lagi?" katanya sambil memasang wajah memelas.
"Betina garang? Jadi selama ini lo anggap gue betina? Lo pikir gue hewan apa?"
Kali ini Qidham sudah memasang wajah seriusnya.
"Seindah senja dan sehangat mentari. Itu yang gue rasa."
Oke. Jika dia bukan sahabat perjuangan dari jaman TK mungkin hati ini sudah terbang ke angkasa. Sayangnya dia sahabatku dan otaknya yang seringkali rusak jika bersamaku.
"Lalu?"
"Dan lo perempuan yang paling baik, jika lo peka terhadap perasaan gue."
***
Seperti sore sebelum-belumnya. Aku membantu mama menyiram berbagai bunga yang tumbuh di halaman depan. Dulu, mama selalu bilang bahwa bungalah yang berkata-kata. Bunga dan hati dapat dijadikan satu kesatuan bila orang memahaminya. Seperti halnya mama saat masih muda dulu. Kisah cinta kedua orang tuaku tertulis dalam bunga-bunga yang tumbuh ini. Mereka menjadi saksi bisu sampai saat ini.
Namun aku ikhlas membantu mama menyiram, sedangkan mama malah asik mengobrol dengan ibu Nay di depanku. Secara aku bisa dengar info terbaru tentang kak Furqon.
Mataku melirik ke kanan. Melihat ujung jalan yang masih sepi. Padahal jam empat tadi, dia pergi bermain futsal dengan remaja lingkungan komplek ini.
Setengah jam aku menyiram dan membuang daun-daun kering, tak ada info menarik. Mama dan ibu Nay masih asik membicarakan tentang arisan RT yang dikocok sebulan sekali. Kebiasaan ibu-ibu. Mending juga berharap kak Furqon cepat pulang.
"Assalamualaikum."
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Seperti pribahasa. Baru juga aku mengharapkan, dia sudah datang.
"Waalaikumsalam." Jawab kami serempak.
"Duh yang ganteng, darimana?" lanjut mama.
Aku dapat melihat mama melirikku sekilas, seakan beliau meledekku. Kalau kata guruku, mata dan hati itu saling berbicara. Dan keduanya adalah yang paling jujur daripada mulut.
"Abis main futsal, Bu."
Kak Furqon mengelap kening dan lehernya dengan handuk putih. Baju hitamnya basah dengan keringat. Bahkan mukanya yang putih itu terlihat memerah. Rambutnya juga basah karena siraman air. Seperti pemain bola terkenal yang sering aku lihat di tv bersama papa.
"Duh Gusti, gak kuat." Jeritku.
Seketika aku melihat tiga pasang mata menatapku, seakan bertanya apa yang terjadi. Aduh! Gali kuburan ini namanya.
"Kenapa May?" tanya ibu Nay.
Aku menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak terasa gatal. "Anu bu, lagi hapalan."
Bu Nay masih menatapku tidak percaya. Bahkan kak Furqon juga menatapku seakan aku adalah tikus yang baru saja tergilas mobil di jalan raya. Sedangkan mama bukannya menolongku, malah menahan tawanya.
"Hapalan? Hapalan apa?" tanyanya lagi.
Hapalan cinta untuk anakmu!
"Eng.. hapalan ah, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Kan sebentar lagi Mayang ujian praktek bu." Jelasku.
Sejak kapan praktek hapalannya panjang? Pelajaran Agama hanya praktek Sholat dan membaca Al-Qur'an saja. Berbohong tidak baik, namun apa boleh buat jika sudah seperti ini. Tapi memang benar, laki-laki yang sedang berdiri di samping ibu Nay adalah nikmat di sore hari. Berarti aku tidak berbohong banyak.
"Oh iya, kapan kamu ujian?" tanyanya lagi
"Seminggu lagi, bu."
Lega kan May? Iya. Alhamdulillah.
Kak Furqon hanya mengangguk dan menyampirkan handuk putih itu di bahunya. Aku menggigit bibir bawahku, agar aku tidak kelepasan seperti tadi. Demi kodok di rawa-rawa, aku makin jatuh cinta dengan tetanggaku sendiri.
Seandainya dia peka terhadapku, dan menyapaku seperti dia menyapa yang lainnya, aku pasti melemparkan kode yang lebih ekstrim lagi. Tetapi tidak dengan memberinya makanan.
Oh dia beda jauh dari Qidham yang selalu menerima banyak coklat. Yang ini berbeda seratus delapan puluh derajat.
Kak Furqon gak akan nerima apa pun makanan dari perempuan yang menurut dia, perempuan itu mengejarnya. Bu Nay pernah bilang, bahwa kak Furqon lebih suka mengejar daripada dikejar. Yang artinya aku jangan terlihat mengejarnya.
"Oh iya Bu, di kamarku banyak banget origami. Udah Mas kumpulin sih ditaruh tempat sampah dapur. Memangnya akhir-akhir ini banyak anak kecil di sekitar sini ya?"
What?! Itu origami berisi doa gue ada di tempat sampah. Ya Allah, kapan kamu peka kak? Itu origami aku.
Setelah selama seminggu ini aku senang, bahwa origamiku tidak terbuang oleh ibunya, tetapi malah dibuang dengan tangannya sendiri. Rasanya air mata sudah ingin menelusuri pipi chubbyku.
"Memangnya kakak gak suka origami?" tanyaku pelan. Berharap dia bisa mendengar.
Kak Furqon menatapku sebentar, lalu tersenyum hangat. "Aku menyukainya bila anak itu memberinya secara baik-baik. Bukan melemparnya ke sembarang tempat."
Kali ini dewi batinku saling mengeluarkan pikirannya. Membuatku galau. Apa aku harus menangis sedih atau menangis bahagia. Secara dia baru saja menjawab pertanyaanku dan memberi senyuman yang dapat membuatku meleleh seketika.
Aku harus bilang sesuatu. Iya sesuatu. Biar dia mau mengobrol terus denganku.
"Memangnya kenapa?"
Dia hanya menatapku sebentar dan langsung berlalu ke rumahnya.
#TBC