Skenario Allah

1.1K 46 0
                                    

"Goblok kamu ya..." Kata Suamiku sambil melemparkan buku raport sekolah Doni. Kulihat suamiku berdiri dari tempat duduknya dan kemudian dia menarik kuping Doni dengan keras. Doni meringis.

Tak berapa lama Suamiku pergi ke kamar dan keluar kembali membawa penepuk nyamuk. Dengan garang suamiku memukul Doni berkali kali dengan penepuk nyamuk itu. Penepuk nyamuk itu diarahkan ke kaki, kemudian ke punggung, terus dan terus memukulnya. Doni menangis.

''Ampun Ayah...ampun Ayah..." Katanya dengan suara terisak-isak. Wajahnya memancarkan rasa takut. Dia tidak meraung. Doni-ku tegar dengan siksaan itu. Tapi matanya memandangku. Dia membutuhkan perlindunganku. Tapi aku tak sanggup karena aku tahu betul sifat suamiku.

"Lihat adik-adikmu. Mereka semua pintar pintar sekolah. Mereka rajin belajar. Ini kamu anak tertua malah malas dan tolol mau jadi apa kamu nanti? Mau jadi beban adik-adik kamu ha!'' Kata suamiku dengan suara terengah engah kelelahan memukul Doni.

Suamiku terduduk dikursi. Matanya kosong memandang kearah Doni dan kemudian melirik kearahku ''Kamu ajarin dia. Aku tidak mau lagi lihat lapor sekolahnya buruk. Dengar itu.'' Kata suamiku kepadaku sambil berdiri dan masuk kekamar tidur.

Kupeluk Doni. Matanya memudar. Aku tahu dengan nilai raport buruk dan tidak naik kelas saja dia sudah malu apalagi dimaki-maki dan dimarahi didepan adik adiknya. Dia malu sebagai anak tertua. Kembali matanya memandangku. Kulihat dia butuh dukunganku. Kupeluk Doni dengan erat
''Anak Bunda tidak tolol. Anak bunda pintar kok. Besok tambah rajin ya belajarnya."

''Doni udah belajar sungguh-sungguh Bunda, Bunda kan lihat sendiri. Tapi Doni memang enggak pintar seperti Ruli dan Rini. Kenapa ya Bunda?" Wajah lugunya membuatku terenyuh.
Aku menangis, ''Doni, pintar kok. Doni kan anak ayah. Ayah Doni pintar tentu Doni juga pintar.''

''Doni bukan anak ayah." Katanya dengan mata tertunduk, "Doni telah mengecewakan Ayah, ya Bunda?''

Malamnya, adiknya Ruli yang sekamar dengannya membangunkan kami karena ketakutan melihat Doni menggigau terus. Aku dan suamiku berhamburan kekamar Doni. Kurasakan badannya panas. Kupeluk Doni dengan sekuat jiwaku untuk menenangkannya. Matanya melotot kosong. Kurasakan badannya panas. Segera kukompres kepalanya dan suamiku segera menghubungi dokter keluarga.

Doni tak lepas dari pelukanku "Anak bunda, buah hati Bunda, kenapa sayang. Ini Bunda..." Kataku sambil terus membelai kepalanya. Tak berapa lama matanya mulai redup dan terkulai. Dia mulai sadar. Doni membalas pelukanku. ''Bunda, temani Doni tidur ya." Katanya sayup-sayup.

Suamiku hanya menghelap nafas. Aku tahu suamiku merasa bersalah karena kejadian siang tadi.

*****

Doni adalah putra tertua kami. Dia lahir memang ketika keadaan keluarga kami sadang sulit. Suamiku ketika itu masih kuliah dan bekerja serabutan untuk membiayai kuliah dan rumah tangga. Ketika itulah aku hamil Doni. Mungkin karena kurang gizi selama kehamilan tidak membuat janinku tumbuh dengan sempurna.

Kemudian, ketika Doni lahir kehidupan kami masih sangat sederhana. Masa balita Doni pun tidak sebaik anak-anak lain. Diapun kurang gizi. Tapi ketika usianya dua tahun, kehidupan kami mulai membaik seiring usainya kuliah suamiku dan mendapatkan karir yang bagus di BUMN. Setelah itu aku kembali hamil dan Ruli lahir, juga laki-laki dan dua tahu setelah itu Rini lahir, adik perempuannya.

Kedua putra putriku yang lahir setelah Doni mendapatkan lingkungan yang baik dan gizi yang baik pula. Makanya mereka disekolah pintar pintar. Makanya aku tahu betul bahwa kemajuan generasi ditentukan oleh ketersediaan gizi yang cukup dan lingkungan yang baik.

Tapi keadaan ini tidak pernah mau diterima oleh Suamiku. Dia punya standard yang tinggi terhadap anak-anaknya. Dia ingin semua anaknya seperti dia. Pintar dan cerdas.

Kumpulan Kisah Inspiratif GoogleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang