MIRANDA POV
Ting... Tong... Ting... Tong...
Aku melepaskan headphone dan menaruh majalah yang berisi tentang konferensiku kemarin dibawah meja kaca yang penuh dengan tumpukkan majalah lainnya. Dengan penasaran dan takut, aku melirik pintu utama yang bel nya dibunyikan dengan tidak sabar. Tiidak mungkin itu Daniel, cowok itu tidak pernah menekan bel karna lebih memilih menelpon untuk dibukakan pintu.
"Siapa ya?" gumamku sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 2 siang. Ah, penjahat mana yang mau beraksi sesiang ini? Terus, penjahat mana yang dengan sopannya menekan bel seperti itu? Aku menggeleng atas pemikiran bodohku barusan. "Tapi, penjahat itu bisa siapa saja, kan? Contohnya saja orang yang dianggap teman, kejahatannya melebihi kang begal."
TING TONG TING TONG TING TONG
Aku tersentak mendengar bel yang dibunyikan dengan brutalnya, "Nih orang kayaknya kagak pernah mencet bel, ya?" ucapku dengan kesal dan beranjak untuk membukakan pintu untuk tamu anarkis diluar.
"Enggak punya adab bert-" aku membeku dan lidahku terasa kelu melihat seseorang didepan pintu. Tiba-tiba saja jantungku rasanya ingin melompat dan keringat dingin mulai bercucuran. Aku yakin, tamu tak diundang ini bukanlah setan. Bahkan, terlalu bagus untuk dibilang setan dengan pakaian rapi dan wajah datar seperti papan -yang hebatnya terlihat cocok dengannya-.
"Miranda, kan?" aku dengan reflek menegapkan tubuhku dan mengepalkan tanganku yang gemetar dan berkeringat dingin hanya karna mendengar suara berat dan tegasnya. "Masih mengingat saya?"
"O-ol-oliv-v-ver..." gagapku yang diiringi tawa super garing, "Ng-nga-ngap-ngapain d-di-s-sini? P-p-pada-hal ak-ku m-m-mau men-c-car-cari-mu b-be-be-sok. Ak-aku b-b-baru s-sa-ja m-ma-mau m-m-menca-ri ta-hu t-ten-t-tang-mu..."
Oliver hanya menatapku datar dengan mulut yang sedikit terbuka mendengar suara gagapku, "kamu ini bicara apa? Lalu, kenapa wajahmu pucat dan dibanjiri keringat begitu? Kamu sakit atau kebelet boker?" pertanyaan beruntun bernada datar dengan akhir tidak elit itu membuatku cengo. "JANGAN BILANG KAMU TEPECIRIT, YA?" tuduh Oliver dengan berteriak sambil menatapku ngeri yang membuatku membelalakkan mata dan balas berteriak kearahnya.
"ENAK SAJA! AKU TIDAK SAKIT APALAGI TEPECIRIT! AKU CUMA KAGET KEDATANGAN TAMU SEPERTIMU!" aku mengembungkan pipi dan membuang muka, "Sepertinya kita memang ingin bertemu satu sama lain," gumamku sambil membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Oliver masuk. "Silahkan masuk, kurasa kita akan sedikit mengobrol lama, ya?"
Bukannya masuk atau membalas ucapanku, Oliver menaikkan sebelah alisnya sambil melipat tangan didadanya, "Tadi perasaan kamu berbicara dengan gagap kayak nahan boker, kenapa jadi lancar begini? Kemana gagapmu, Miranda?"
"Apakah itu semua penting? Lagian gara-gara topik bokermu, aku jadi tidak gugup lagi," ucapku sambil menatapnya heran dan berkacak pinggang.
"Berterima kasihlah dengan boker kalau begitu, Miranda."
Ucapan tak berbobot dengan nada serius itu membuatku jengah dan menarik tangan lelaki sarap itu untuk masuk kedalam apartemenku, "Hentikan pembicaraan bokermu dan jangan membuang waktu lagi!" seruku sebelum menutup pintu dan lelaki itu hanya menghela nafas pasrah.
"Hm, terserah."
***
OLIVER POV
Aku memperhatikan ruang tamu yang menyatu langsung dengan dapur. Apartemen yang lumayan besar ini benar-benar memberi kesan perempuan yang sangat kental. Bagaimana tidak? Dari wallpaper, karpet, rak buku, sofa, meja makan, kulkas, kompor, perkakas dapur dan hiasan-hiasan rumah lainnya yang semua dominan sama warna pink. Dari pink ngejreng sampai pink lembut bisa dilihat disini. Aku sangat yakin kamar dan ruang kecilnya juga berwarna serupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
PainKiller
General Fiction[17+] PAIN SERIES: #1 INGAT! POKOKNYA BIMBINGAN ORANG TUA KARNA BANYAK ADEGAN KURANG BAGUS UNTUK DICONTOH! (NO ADEGAN SEX!) Dibalik semua bencana ada sebuah rencana dari Tuhan yang sudah tersusun rapi. Rencana yang mampu merubah duniamu, memberikan...