Kau tahu?
Bagian terindah dari gelapnya malam dan bulan yang bernyanyi adalah disaat kenangan menelusuk dalam pikiranmu. Ada perasaan di setiap rintik hujan yang membasahi jalan setapak. Ada secercah harapan di antara lumbung padi yang basah. Ada kehangatan dalam gelutan angin malam. Ada seseorang. Seseorang yang akan memelukmu dari balik kegelapan, membawa cahaya, untuk menerangi sisa ruang di hatimu.
Malam ini hujan datang lagi. Membawa kabar dari cinta yang tak sampai. Aku mematung, memeluk diriku sendiri walau coat musim dingin sudah membaluti tubuhku. Syal yang kupakai juga tak cukup hangat untuk menyingkirkan rasa dingin kali ini. Terlebih saat kenangan itu kembali terlintas di kepalaku, saat seseorang yang sempurna tengah berlari dengan sekujur tubuhnya basah kuyup, membawa tas plastik berisi coat merah muda berbulu yang langsung ia pakaikan padaku.
"Tch! Apa yang kau lakukan?"
"Memastikanmu tetap hangat, Rose."
"Kak--oh, maksudku Mr. Mason Wells. Dengarkan aku baik-baik karena aku tak akan mengulanginya. Ada dua hal di dunia ini yang aku benci-- itu adalah merah muda dan kau. Jadi tolong jauhi aku karena aku benar-benar muak."
"Ternyata benar, aku terlalu berharap banyak akan pernyataanmu. Itu yang terakhir, Rose--" Mason menunjuk coatnya yang masih kupakai.
"--kau buang atau kau simpan itu adalah hakmu. Dengarkan aku karena aku tak akan mengulangnya. Aku mengangkat bendera putih di hadapanmu. Kau memang seperti bintang yang bersinar dalam gelapnya malam, tapi kau terlalu jauh untuk kuraih. Aku pergi, Rose Carter."
Dan dia benar-benar pergi. Mason Wells menghilang sejak saat itu. Awalnya aku pikir itu menyenangkan. Beberapa hari memang terasa lebih bebas di sekolah, tanpa ada gangguan kakak kelasku itu. Latihan basket kulalui dengan lancar. Begitupula saat teman-teman lain yang selalu membantuku menjalankan tugas menjaga UKS. Tak terkecuali saat Kak Emily, kakak kandungku yang terus saja menyuruhku membuatkannya spageti dan susu pisang, sementara dia hanya terlelap di sofa ruang tamu memimpikan kekasihnya, Kak David.
Semua berjalan sebagaimana seharusnya. Hari-hari berlalu seperti sebelum aku mengenal seorang kakak kelas bernama Mason Wells. Kakak kelas yang selalu berdiri tegap di pilar gedung kelas dua menatapku yang sedang berpeluh keringat di lapangan basket. Tak jarang ia bersiul menyenandungkan melodi indah hanya untuk menggusur rasa jenuhnya menungguku. Setiap langkah yang ia ambil terlihat begitu tegas menuju tempat dimana aku menyandarkan bahu. Dan tiba-tiba saja aku akan merasakan sensasi dingin di pipiku karena sentuhan minuman kaleng yang dipegangnya.
"Kak! Sudah kubilang jangan berikan aku minuman seperti ini! Ini tak bagus untuk kesehatanku!"
"Mason. Panggil aku Mason. Dan aku pikir minuman ini akan menyegarkanmu. Tapi setelah aku tau ini buruk, baiklah, aku tak akan--"
"Pergilah, kak. Aku tak tertarik denganmu."
Lagi-lagi Mason Wells akan pergi dengan raut wajah sendunya, tapi aku masih melihat seulas senyum yang dia berikan sebelum beranjak menjauh. Dan tepat disaat dia pergi, seorang pria datang menghampiriku dengan tangannya yang mengepal. Memelukku penuh rasa emosi yang tampak jelas di netranya. Dia mememelukku erat dengan lengannya yang melingkar di tengkukku, hingga aku nyaris kehabisan nafas. Pria itu adalah Jackson, kekasihku.
Hei, lihat! Hujan semakin deras saja di sini. Kenapa dua anak kecil di seberang sana malah terlihat bahagia bermandikan hujan? Mereka bisa sakit jika tidak melindungi tubuh mungil mereka yang bergetar itu. Bibirnya juga mulai terlihat pucat. Aku pikir menyeberang sebentar tak apa. Aku tak mau membayangkan ekspresi orang tua mereka yang melihat anaknya sakit dan terbaring lemah di ranjang.