Not a fanfiction. "Kim" is an original character. Not in formal language.
Enjoy!***
"Oi, Kim!"
Sudah dipastikan. Terdeteksi suara sangar dan arogan bapak satpam sekolah yang sukanya mangkal di warung kopi pas jam pelajaran. Tapi kalau jam masuk sekolah, siap sedia depan gerbang buat mergokin siswa siswi terlambat. OSIS nggak terlalu ngaruh, masih seumuran juga sama murid-murid yang terlambat. Apalagi kalau OSIS nya kelas satu, yang terlambat kelas tiga, habis deh itu anak dicegat di gang sempit sebelah sekolah buat dikelitikin sampai ngompol.
Jadi, ya hanya pak satpam yang berani negur anak-anak itu. Ibu bapak guru kan tidak mau turun tangan langsung ke lapangan, katanya sih buat apa begitu, buat apa begini, yang panas lah, yang ini, yang itu lah. Banyak alasan. Bilang saja memang ingin ngadem di ruang guru yang lebarnya nggak sampai satu are tapi punya empat AC ditambah kipas angin cantik mini yang dengar-dengar made in Korea.
"Kalau dipanggil itu mbok ya noleh gitu lho, Kim," pak satpam negur lagi dengan logat Jawa nya yang masih kental banget. Asli Jogja sih dibilangnya.
"Iya iya ini noleh. Ada perlu apa, Pak? Saya sudah telat nih. Takut disetrap Bu Pipit. Tahu kan, guru kimia yang galak itu lho."
"Pakai nanya lagi ada perlu apa. Kamu itu terlambat lho, tole. Bapak nggak mau bukain gerbang gitu aja buat kamu."
Tole lagi Tole lagi. Padahal wajah blasteran Korea gini, masih saja pak satpam itu memanggilku dengan sebutan Tole. Emang sih, dianya orang Jawa, tapi tetap saja, aku kan bukan orang asli Jawa.
"Goceng deh, Pak. Saya masuk, ya?"
"Goceng itu apa, le?"
"Eum, orang Jakarta bilangnya gitu, katanya itu lima ribu."
"Dasar, orang Korea. Lima ribu dapat apa? Gudang Garam aja nggak dapat."
Si bapak satpam mulai kebablasan. Yang niat awalnya ingin menyogok, malah jadi diperas. Bekal sekolah cuma sekotak nasi goreng buatan Ibu, ditambah uang jajan sepuluh ribu. Ini semua berkat keteledoran siswi menyebalkan yang mengirimkan fotoku pada Ibu saat tanding balap motor dua hari yang lalu. Uang jajanku dipotong langsung 90 persen, ditambah paksaan memakan bekal buatan Ibu yang membuatku tampak seperti anak TK.
"Pak, saya cuma bekal sepuluh ribu. Kalau Bapak ambil lima ribu saja, uang saya sudah sisa sedikit. Terus nanti saya pulang nggak bisa naik bus dong."
Pak satpam terlihat lama berpikir. Ambil tidak ambil tidak. Ingin sekali aku langsung saja lari ke kelas meninggalkan bapak tua ini yang berpikir panjang seperti mengerjakan soal ujian.
"Nggak usah deh. Kasian kamunya le, masuk aja sana, udah telat setengah jam kamu."
"Sialan! Bilang dong dari tadi!"
Berlari secepat Usain Bolt. Sesekali tersandung batu-batu kecil yang entah dengan kurang ajarnya berada dimana-mana. Sejak kapan ada renovasi di sekolah? Belum lagi kelas berada di pojok belakang sekolah. Jauh. Jauh sekali dari peradaban kantin dan perpustakaan ( kata halus dari tempat ngadem). Tapi, ya, karena aku juga seorang atlet, lariku tak main-main. Tak main-main---