Part 12

3.1K 145 2
                                    

"Time changes everything except something within' us which is always surprised by change"
-Thomas Hardy-

* * *

Aku keluar dari taksi dengan
menenteng beberapa kantong plastik besar yang memenuhi kedua tanganku. Berjalan menuju gedung tinggi didepanku.

Aku baru saja akan melangkah masuk setelah ada tangan yang mencekal lenganku.
Aku menoleh kebelakang dan mendapati sosok tinggi menjulang yang sedang menunduk menatapku.
Jantungku jatuh ke perut.
Oh dia tokoh utama yang ditunggu-tunggu dari kemarin. Bumi.

"Need some help?" Tanyanya seraya mengambil semua kantong plastik dari tanganku tanpa menunggu balasanku.

Aku mendengus. Aku yakin rencanaku tidak akan berjalan lancar. Harusnya aku sudah tahu akan seperti ini sejak dia datang lagi dalam kehidupanku. Dia selalu seperti ini. Datang tiba-tiba. Pergipun tiba-tiba.
Pupus sudah.
Aku menjatuhkan kepala kebawah mengikuti bumi menuju apartemenku.

*

Aku sedang memutar kunci saat bumi menarik bajuku.
Aku menggeram sebal sebelum menjawabnya. "Apa?" Dia menelusuri matanya dari atas hingga bawah tubuhku. Aku mengernyit tidak paham.
"Apa kau selalu begini jika sedang keluar diluar jam kerjamu?"

"Maksutmu?"

"Maksutku" dia melambaikan tanganya yang kosong menunjukku. "Kaos tipis tanpa lengan yang hanya kamu tutupi kain panjang dan celana pendek"

Aku melebarkan mataku.
Apa urusanya dengan bajuku?
Aku berdecih dalam hati.

"Bajuku tidak tipis dan ini namanya long cardigan" jawabku menunjuk kain panjang yang disebutkan.
"Dan celana ini selutut yang artinya tidak pendek, bumi"

Dia mengangguk "kaos itu tipis. long long apalah namanya itu bagus dan tetap saja kakimu terlihat. Ini sudah malam dan kamu pergi keluar apartemenmu dengan pakaian seperti itu. Sendirian. Sangat riskan"

Aku memutar bola mataku. "Cerewet" balasku singkat.
Aku membuka pintu didepanku.
"Kau mau masuk atau tetap bertahan disana dengan ceramahmu?"

Dia menatapku pasrah. Melangkah masuk. Aku melepas sneakersku dan meletakanya dirak. Berganti dengan sandal rumah.
Melepas long cardiganku menyampirkan pada gantungan diatasnya. Mengikat rambutku keatas. Menjadikan gumpalan yang berantakan.

"Taruh sepatumu dirak dan jaketmu disana juga" ucapku menunjuk gantungan.
"Oya, tolong bawa semua kantong plastik itu kedapur" lanjutku menunjuk dapur dibelakangku. Dia mengangguk.
"Mana sandal untukku?" Tanyanya setelah melepas sepatu dan menggantung jaketnya.

"Aku hanya punya satu. Kamu tidak apa-apa tanpa alas kaki?"

"Jadi liam tidak pernah kesini?"

"Tidak. Dia selalu menunggu didepan"

"Okay. Tanpa alas kaki kurasa ide bagus"

Aku berada didapur menyiapkan semua bahan yang akan aku masak dan memasukkan buah dalam lemari es. Meraih celemek disebalahnya.
Memulai mengupas beberapa macam bawang.
Entah kenapa aku ingin memasak sesuatu yang pedas malam ini.
Menghidupkan kompor. Menuangkan minyak zaitun kewajan.
Sambil menunggu panas aku memotong daging salmon segar hingga menjadi dadu besar. Menyiramnya dengan perasan lemon. Menyimpannya dalam lemari pendingin untuk beberapa menit.

Berbalik kembali kedepan kompor. Meraih cacahan bawang putih, bawah merah dan bawang bombai. Beberapa cabai rawit dan rempah-rempah lainnya.
Memasukkannya dalan wajan yang memanas lalu mengaduknya dengan spatula.

Dapurku tidak besar tapi aku sangat nyaman disini. Aku jarang sekali memasak tapi bukan berarti aku tidak bisa atau tidak suka tapi semenjak kerja aku hampir tidak pernah memasak. Apalagi pasca kenaikan jabatan yang terjadi padaku akhir bulan ini. Itu sangat membuatku nyaris tidak pernah menyentuh dapur. Maka saat aku mempunyai kesempatan seperti ini aku tidak akan menyiakanya begitu saja.
Aku juga menghidupkan lagu dari handphone untuk menambah semangatku.
Mengikuti menyanyikan lagu dan kadang bergoyang.

Aku memutar tubuhku untuk mengambil salmon dalam lemari es. Aku terlonjak saat melihatnya bersandar pada tembok disebalahnya sedang menatapku dengan senyuman memukaunya. Tanganya didagunya. Dengan gerakan sesekali mengusapnya disana.
Aku benar-benar lupa kalau dia disini.

"Kamu terlihat energik" katanya bertahan ditempatnya. Aku mengendikkan bahuku. Mengambil salmon. Menyampurkannya dengan rempah-rempah lainnya saat kurasa ada yang menyengat tanganku. Aku terpekik menjatuhkan apapun yang ada ditanganku.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanya bumi yang entah kapan sudah disebelahku. Mengambil tanganku yang kukebaskan keudara. Berharap sakitnya hilang.

Aku mengangguk "aku baik-baik saja. Ini biasa terjadi saat memasak. Aku hanya kaget"

Dia menggeleng seraya mematikan kompor sigap.
"Aku tidak setuju. Jangan diteruskan. Kita bisa delivery"

Aku menarik tanganku. Menggeleng tegas.
"Tidak mau. Aku hampir selesai. Kalau kau mau memesan makanan. Pesan saja. Aku akan tetap makan masakanku"

Bumi menghembuskan nafas keras.
"Okay. Tapi aku akan membantumu"

Aku mengakat sebelah alisku "kau bisa memasak?"

Bumi nyengir kuda.
"Tidak. Tapi aku pasti bisa kalau kamu menunjukkan caranya"

"Sayangnya" aku menghidupkan kompor kembali. Meraih wadah dan spatula dari lantai. "Ini akan matang beberapa menit lagi"

Dia meraih spatula dari tanganku. Mendorongku kebelakang.
"Kamu hanya perlu menunjukkan caranya"

Aku memutar mataku.
Dia selalu seperti ini.

"Aku tau kamu memutar bola matamu, nona"

"Kau benar, sir" aku mencebik dibelakang bahu lebarnya.
"Biarkan sebentar lalu balik perlahan setelah warnanya kecoklatan" jawabku ketus.

"Terus?"

Aku menggeram "ya tentu saja makanan itu harus kau pindahkan kepiring"

Dia mengangguk "okay"
Aku meletakkan wadah di sebelah sisa kulit bawang dan sampah lainnya hendak membersihkannya saat suaranya menginterupsiku lagi.

"Duduklah. Aku pusing melihatmu mondar-mandir tidak jelas"

Apa ! Tidak jelas katanya. Batinku meraung.
Aku hampir meledak tapi yang kulakukan malah melangkah mengentak keras kakiku menuju meja makan didepan dapur. Melepas celemekku. Menghempaskan diri disana.
Meringis saat tanganku berdenyut samar. Aku melatih pernafasanku.
Aku luar biasa sebal.

Seingatku dulu dia tidak seperti ini. Dalam artian dia masih menyebalkan tapi semakin parah kali ini.
Tunggu, apa aku membandingkan denganya yang dulu dan sekarang?

Jadi kau mempertimbangkannya asfa? Sahut suara lain dari tubuhku.
Aku melihat senyum jahatnya.

Tidak ! Teriakku padanya.
Aku membuka mataku.

"Kamu kenapa?" Tanya bumi yang sudah duduk disebalahku sambil meletakkan dua piring dihadapan kami. Ku lihat hanphoneku ditengah meja. Lagunya telah berhenti.

"Masih sakit?" Tanyanya lagi menatap sebelah tanganku.
Aku menggeleng. Meraih sendok dan garpu. Memulai makan.

"Hhmm cukup enak untuk pemula sepertimu"

Bumi terkekeh "Aku mendapakan 10 persen dari percobaan memasakku" sahutnya memulai makan juga.
"Ini enak. Kamu pintar memasak dan sejak kapan kamu suka pedas?"

Oh masih ingat dia ternyata.

Aku mengendekikkan bahu "hanya kalau ingin saja. Well, Aku bisa membuat lebih enak jika kau membiarkanku melanjutkan masak"

"Ssttt ingat, table manner, asfa"

Aku memutar mataku entah untuk keberapa kalinya.

*
*
*
*
*
Alhamdulillah yah, sesuatuh #asek.

Gak banyak cuapcuap deh.
Lelah hayati.

Next chapter for pengakuan dosa bang bumi.

Makaseh banyak semuanye, MUACH !

ComebackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang