Aku berusaha sekuat tenaga ku untuk menahan air mata sialan ini. Persetan dengan semua orang yang memperhatikan ku saat ini. Peduli apa mereka? Mereka bahkan tak tau berapa lama aku menahan ini semua.
Aku melangkahkan kaki ku semakin cepat. Tidak peduli penampilan ku yang berantakan ini. Sampai di depan pintu berwarna putih itu, dengan tangan ku yang bergetar dan sisa tenaga yang aku miliki, aku membuka pintu itu. Memperlihatkan sosok yang terbaring lemah di sana. Sekuat tenaga aku melangkahkan kaki ku mendekat ke arahnya, sialan. Air mata yang selama ini ku tahan akhirnya melaju jatuh jua.
"Zen" ujarku membelai pipinya lembut. "Reina" ia membalas dengan suara yang nyaris tak terdengar. Sekali lagi aku mengumpat pada diriku sendiri.
"Rein,aku gak mau mati" zein berujar dengan air mata yang menetes indah dari mata birunya, mata yang selama ini memancarkan kebahagian dan ketenangan ketika aku menatapnya, tapi sekarang mata itu kosong, gelap.
Isak tangis ku semakin terdengar memenuhi ruangan ini. Ku genggam tangan nya erat. Tak akan ku lepas lagi apapun yang terjadi berikutnya.
"Kamu gak bakal mati zein, kamu pasti sembuh" aku berujar mantap kepadanya. Ia hanya menggeleng lemah, oh, maafkan aku yang sekarang sudah menyumpah serapahi sang agung, tak peduli berapa besar dosa yang akan aku tanggung kelak. Yang ku fikirkan sekarang adalah Bagaimana cara nya agar zein sembuh dari penyakit sialan ini.
Berulang kali aku meyakinkan diriku sendiri, ini semua tidak akan terjadi seandainya aku tau lebih cepat, demi apa yang akan terjadi kelak aku menyumpahi kebodohan ku selama ini, seandainya aku tau lebih cepat zein.
Aku menggelengkan kepala ku,berusaha menyingkirkan semua fikiran buruk yang melintas di otak ku, air mata mengalir deras membasahi pipiku.
Zein tersenyum hangat, tapi aku tau itu hanya topeng bagi nya, zein maaf kan aku.
Mata birunya mulai meredup dan genggaman tangan nya di tanganku semakin mengendur. Isak tangisku semakin keras merasakan itu. Oh tuhan, berapa banyak cobaan yang kau berikan kepada ku kali ini? Kenapa engkau begitu tidak adilnya terhadap ku?
Aku menjerit merasakan tangan zein yang mulai dingin,dan deru nafasnya yang semakin kecil hingga akhirnya hilang.
Sekali lagi aku menyumpah serapah sang agung terhadap apa yang telah ia lakukan terhadap ku dan zein. Kebodohan ku yang terlambat membawa dan mengetahui penyakit zein ini. Zein maaf kan aku.
Aku berujar keras terhadap zein, tapi kurasakan ini semakin percuma, tak peduli seberapa keras dan banyak aku meneriaki nama nya, dia tetap tidak akan mampu membuka mata dan tersenyum kepada ku lagi. Aku terduduk di lantai putih ruangan ini.
Air mataku semakin deras mengaburkan pandangan ku, kemudian semuanya mulai gelap.
Zein bawa aku bersama mu.