zero - Prolog

1K 107 18
                                    

Langkah kaki membawaku berjalan ke tempat biasa aku datang. Menunggu sebuah bus penumpang yang akan aku naiki. Keadaan sekolah sudah sepi. Tetapi, ini adalah pemandanganku sehari-hari. Biasanya, memang seusai pelajaran sekolah, aku tak langsung pulang. Tapi, menunggu seseorang dari kejauhan.

Aku tidak persis tahu tentang dirinya. Untuk sekedar mengetahui namanya saja aku tidak mempunyai kesempatan. Aku hanya memperhatikan diam-diam. Sambil berharap keajaiban datang kepadaku dan dia mengajakku berkenalan. Ah, tidak mungkin juga.

Bus yang aku tunggu sudah datang. Dari kejauhan, juga ada dia dan teman-temannya baru saja keluar dari gerbang sekolah. Sekilas, terukir senyum dari bibirku. Aku memasuki bus dan melihat keadaannya sepi. Dan aku memilih duduk di barisan kedua.

Pintu bus terbuka, pertanda seseorang masuk ke dalamnya. Tak kusangka, itu ternyata dia. Masih dengan seragam yang kotor serta tas ransel tersampir di punggung kirinya. Aku kembali tersenyum kecil. Entah, aku baru tahu saja ia juga suka menaiki bus untuk pulang. Setahuku, ia lebih suka dijemput dengan mobil, atau bahkan membawa motor mewahnya sendiri.

Dia tidak sendirian. Dia dengan kedua temannya yang biasa terlihat bersama-sama. Yang aku ingat si pirang itu adalah—Niall, mantan kekasiku, dan yang keriting itu—Harry. Niall dan Harry adalah teman sekelasku di tahun ajaran kemarin, jadi wajar saja jika mereka menyapaku ketika berpas-pasan seperti ini.

"Eh, Ruby!" sapa mereka dan aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil.

"Louis, gue duduk pojok ah!"

Terdengar rengekkan Niall seperti biasa. Aku hafal dan terbiasa dengan keadaan ini. Aku terkekeh pelan lalu menengok ke arah belakang, tempat dimana mereka duduk.

"Berisik lo yel, jaim dikit kek depan mantan." kata Harry setengah berbisik tetapi tetap saja terdengar olehku karena suasana bus begitu sepi.

Tak lama, bus berjalan. Aku menikmati perjalanan, sesekali juga aku menikmati ocehan-ocehan ataupun lelucon yang terdengar dari barisan dia dan teman-temannya. Seakan-akan mereka juga mengajakku berbicara. Aku selalu tersenyum mendengar suara hangatnya yang merdu. Itu selalu membuat pikiranku tenang. Cukup senang, ketika akhirnya aku bisa satu bus dan mengetahui namanya. Tapi dia sangat dingin dengan orang-orang yang tidak dia kenal. Lalu, bagaimana bisa dekat denganku?

"Lou,"

"Hm,"

"Lo kenal sama Ruby mantan gue gak?"

Ia tidak menjawab. Suasana mendadak tegang.

"Yang di depan kita.."

"Oh,"

Hanya oh?

"Tau doang, gak kenal."

Ini memang sakit, tapi setidaknya ia tahu sosokku itu hidup di dunia.

"Lo lagi suka sama seseorang gak?"

"Kaga."

Harapan-harapan itu muncul. Setidaknya, hatinya belum menuntukan seseorang. Setidaknya, hatinya masih bisa untuk ditempati. Setidaknya, setidaknya, setidaknya.

Terlalu banyak pengandaian yang tidak pasti muncul dikenyataan. Tapi yang bukan siapa-siapa, apakah mungkin bisa jadi apa-apa?

***

Edited on 24 April 2017.

nothing x louis t.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang