four

459 70 0
                                    

Jessy dan aku sudah sampai di kelas. Aku duduk bangku lalu menutup mata perlahan. Berpikir-pikir tentang hubungan Niki-Niall-Louis. Hanya tak menyangka, jika Niki harus terpaksa menerima Niall untuk dijadikan sebagai pelampiasan semata. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku tahu, aku tidak terkait dengan masalah ini tapi akan gawat, jika akan ada salah satunya yang terluka.

"Lo kenapa sih by?" Aku membuka mata dan melihat Jessy dihadapanku dengan tatapan khawatir. "Gue ngerti kok lo tadi ga ngebiarin gue supaya niall tahu kan kalo Niki suka sama Louis? Terus kenapa lo jadi gini?"

"Kasian Niall. Dia bakal dibohongin terus-terusan sama Niki. Gue cuman gak pengen ngebiarin itu."

"Niki bangsat banget."

Aku menghela nafas lalu melihat sesosok wanita tua berkacamata dengan tubuh gemuknya. Guru kesenian telah datang dan kini aku harus terfokus pada pelajaran dan melupakan segenap masalah-masalah yang mencekam.

***

Semua murid berhamburan keluar kelas setelah menyanyikan beberapa lagu wajib yang kini harus dilakukan seusai pelajaran berakhir. Aku masih duduk dibangku dan membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Jessy telah pamit pulang karena sudah ditunggu kakaknya. Sisalah aku dan beberapa murid yang memang sudah biasa pulang terlambat.

Keadaan kelas sepi. Liam. Anak popular yang dulu sekelas dengan Louis juga dekat, ia menyalakan lagu Break Free dari Ariana Grande menggunakan speaker yang ia bawa. Tiba-tiba tatapan Liam mengalir ke arahku. "Lo ngapain sih pulangnya suka telat? Emang ada eskul?"

"Enggak. Gue cuman bingung nanti di rumah mau ngapain," jawabku pelan lalu dibalas anggukan dan oh ria dari Liam.

Aku berpamit padanya lalu beranjak untuk keluar dari kelas. Memandangi Louis dari atas balkon yang sedang bermain futsal. "Eh," aku menoleh ternyata Liam lagi. "Gue gak yakin sama alasan lo tadi. Lo diem-diem suka sama Louis ya?"

Aku terdiam dan berpikir sejenak untuk membals perkataan Liam.

Lalu aku pergi tanpa menggubris kata-kata Liam yang kenyataannya menjadi selalu terekam di otakku.

Masalahnya, Liam pasti akan membocorkan hal ini pada Louis.

Lantas, aku membalikkan badan dan meneriakkan nama Liam dengan keras. "LIAAAAAAM, LIAAAM!" Ia menoleh lalu menautkan satu alisnya. "Jangan kasih tau siapa-siapa ya,"

Aku menatapnya dengan penuh berharap. Liam berpikir sejenak sambil mengarahkan padangan ke atas. "Gak bisa janji." Lalu ia memasuki kelas dan menutup pintu rapat-rapat. Pasti pintunya ditahan.

Sial, sial, sial.

Sangat tidak mungkin jika Louis mengetahuinya secepat itu. Aku hanya akan terus berharap dan meminta pada Liam untuk menutup mulut. Aku belum siap atas respon Louis nantinya. Makanya, aku memilih menyembunyikan ini walau pada akhirnya semua akan terbongkar juga.

***

Pagi ini tidak secerah hari biasanya. Aku sendiripun tidak tahu mengapa cuaca sangat bertepatan dengan perasaanku saat ini. Dari tadi malam, aku memikirkan tentang Liam yang bisa saja suatu saat membocorkan hal ini pada Louis dan Niall yang cepat atau lambat akan mengetahui semuanya. Bagaimana? Aku hanya tidak ingin orang-orang dan diriku sendiri tidak terluka dengan satu cara yang ampuh bersamaan. Walaupun sebenarnya aku tidak terlalu peduli soal Niall, ia sudah baik kepadaku dan apa salahnya jika aku membalas itu?

Dari arah jam 3, terlihat Liam dan Louis berjalan bersamaan. Aku berpura-pura membereskan isi loker agar tak terlihat Liam dan mengingatkannya akan hal itu.

Bel berbunyi dengan nyaring. Tepat di belakang loker ini terdapat guru piket yang terduduk manis dan menekan bel dengan kemayu. Aku menghela nafas dan menekan jari-jari tangan hingga berbunyi suatu hentakan. Melemaskan beberapa anggota tubuh dan bersiap untuk melewati tempat Louis dan Liam bersenda gurau.

Tidak. Jangan sekarang.

Aku harus sangat menunggu Louis dan Liam kembali ke kelas.

Mereka lama. Mereka tetap berdiam diri di sana dan membicarakan sesuatu tanpa menghiraukan orang-orang yang berjalan di sekitar dan menyapanya.

Keadaan semakin sepi, aku baru teringat tentang pelajaran pagi ini dimulai dengan fisika. Lalu aku berjalan dengan menahan nafas panjang melewati Louis dan Liam yang masih di posisinya.

Radius tujuh meter..

Lima meter..

Satu meter..

Aku berusaha tak mencuri pandangan pada Louis dan melihat ke depan. Merilekskan tubuh agar tidak terlihat tegang ketika sedang berjalan melewati mereka.

Tapi tetap saja, mataku tak tahan dan tidak sengaja melihat ke arahnya. Jangan salahkan aku, salahkan mataku.

Liam menunjukku.

Aku tidak salah. Liam menunjukku. Aku memang tidak mendengar pasti apa yang Liam bicarakan, tapi yang jelas Liam menunjukku dan Louis mengarahkan tatapannya padaku tadi.

Haruskah Louis mengetahuinya sekarang juga?

***

nge stuck tae

Edited on 14 February 2016

nothing x louis t.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang