"Galena Maretha." Suara dosen dari balik meja kayu yang berwarna hitam membuat perempuan berkerudung hitam itu mengangkat tangan kanannya dan tersenyum. Lengan bajunya tertarik, menampakkan warna kulitnya yang cerah dan terlihat begitu kontras dengan kemeja yang ia kenakan.
Suasana kelas tidak begitu ramai karena tiap-tiap mahasiswa menunggu namanya dipanggil untuk absensi mata kuliah terakhir hari ini. Semua buku yang tadi terletak di atas meja sudah dimasukkan ke dalam tas. Beberapa anak laki-laki yang duduk di belakang mulai mengobrol dan menertawai hal-hal yang hanya dimengerti oleh mereka-mereka saja.
"Kavi Prasetya."
Seorang laki-laki berkulit sawo matang dan berkumis tipis itu langsung berhenti tertawa dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi agar dosen dapat mengetahui keberadaannya. Kemeja kotak-kotak yang ia pakai tidak dikancing sampai atas sehingga kaos putih yang ia kenakan terlihat. Lengannya tergulung sampai sikut dan satu gelang berwarna hitam serta jam tangan dengan warna yang senada melingkari tangan kirinya. Ia memakai sepatu biru gelap bertali dan celana jeans yang warnanya sudah memudar. Alisnya tebal, rambutnya tidak diatur sedemikian rupa agar terlihat rapi dan tangan kanannya sudah menggenggam ponsel yang dililit kabel earphone.
"Saya Pak!" Sahut Kavi. Senyumnya mengembang sampai menampilkan deret giginya yang putih.
Ketika nama Kavi dipanggil, Galena menoleh ke arah bagian kursi di sebelah kiri kelas. Ia menunggu sepersekian sekon sampai laki-laki itu mengangkat tangannya lalu kembali mengobrol dengan beberapa orang teman yang duduk di sebelah kanan dan belakang kursinya.
Galena menghela napas. Perasaan aneh dari tadi pagi masih menghantuinya meski waktu sudah menunjukkan pukul dua siang.
Mimpi semalam belum ia ceritakan ke siapa-siapa. Ia sendiri masih bingung kenapa ia bisa-bisanya memimpikan seseorang yang belum pernah berbicara dengannya sama sekali. Yang ia tahu tentang laki-laki itu hanyalah namanya. Itupun karena di beberapa mata kuliah, para dosen memilih untuk mengabsen mahasiswa secara langsung seperti yang sedang dilakukan oleh Pak Buswari saat ini.
"Gal, kamu mau ikut makan dulu nggak?" Suara Tania dari arah kanannya membuat Galena lagsung berpaling.
"Hah?"
"Kamu mau ikut aku makan dulu nggak? Aku diajak Nadine sama Fia. Katanya kamu ngantuk..."
Galena mengangkat tangannya dan merapikan jilbab yang ia pakai. Ia memasukkan satu dua elai rambutnya yang mulai keluar-keluar dari bagian sisi wajahnya. "Yaudah tapi kamu duluan aja. Aku mau ke kamar mandi dulu." Jawabnya.
"Okay!"
Tepat setelah dosen selesai mengabsen dan meninggalkan ruangan, anak-anak berdiri dari kursi masing-masing dan suasana kelas langsung ramai. Suara tertawa, teriak, panggil-memanggil nama dan sebagainya terjadi pada waktu yang sama. Galena buru-buru keluar dari kelas dan berjalan melewati lobby lantai enam menuju kamar mandi.
Setelah buang air kecil dan mencuci tangan, ia berdiri di depan cermin kamar mandi yang lebarnya hampir menutupi seluruh tembok. Wastafel berwarna putih dengan keramik hitam sebagai penyangganya menempel di cermin. Terdapat satu pot tanaman hijau di antara dua wastafel tersebut dan satu botol sabun untuk cuci tangan.
Galena menurunkan ujung-ujung jilbabnya ke depan perut dan mulai merapikan jilbab yang ia pakai. Peniti yang mengaitkan kain tipis itu ia lepaskan sebelum ia memasukkan helaian rambutnya ke dalam. Kemudian setelah ia merasa jilbabnya sudah rapi, ia menyampirkan dua ujung jilbabnya ke atas bahu dan mengambil tas bercorak bendera Inggris miliknya.
Ia melangkah keluar kamar mandi menuju lift. Pandangannya lurus ke ujung flat shoes biru tua yang ia pakai sampai akhirnya ia berhenti di belakang segerombolan anak laki-laki yang sedang menunggu lift juga.